Perahu Retak Megawati – Jokowi? (sekadar satu sepak pojok)

Minggu, 03 Desember 2023 09:15 WIB

Penulis:redaksi

Editor:MAR

kobeo.jpeg
(null)

 

P. Kons Beo, SVD

“Beberapa orang mengubah Partai demi prinsip mereka; yang lain mengubah prinsip mereka demi Partai mereka”

(Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris, 1874 – 1965).

Awal gemerlap

Semula semuanya ada dalam asa membara. Di balik Jokowi yang makin gemerlapan, ada harapan demi Indonesia yang lebih modern dan berdaya saing di tatanan global. Jokowi, yang semula berdaya pelita di Solo, mesti dibikin cemerlang di DKI Jakarta. Dan lalu mesti jadi mentari dan rembulan di seantero langit Negeri.

Itulah jalan sejarah bangsa yang telah terpatri. Mungkin tepatnya jalan politik tanah air yang penuh akrobatis taktis namun berarus deras, yang mesti disiasati penuh cermat. Dan itu pun mesti dengan penuh perhitungan politis. Simbiosis mutualisme politik, katakan begitu, antara Megawati – Jokowi (baca: PDIP – Presiden) sudah jadi kasat mata. Jelas terbaca. 

Seorang kader terbaik Partai telah merebut simpati khlayak. Jokowi telah jadi penguasa negeri. Dan PDIP, dalam keyakinan publik, telah dapatkan bonus suara mayoritas legislatif. Jadi partai pemenang Pileg dengan prosentasi meyakinkan untuk kuasai Parlemen. Telah datangkan keberuntungan politik. Setelah meredup di jalur oposisi sepuluh tahun sebelumnya. Namun, adakah yang masih kurang?

Aura suram perlahan mendera pasti

Di putaran-putaran akhir balapan politik negeri, Jokowi mesti bermanuver sendiri. Berzig-zag  politik lah ia dalam kekuatannya. Nampak Jokowi mulai ‘lepas kendali Partai.’  Semula semuanya ditafsir ringan-ringan saja. Biasalah! Yang namanya riak-riak politik, begitu sudahlah atmosfernya. Bukan barang baru.

Namun di hari-hari belakangan ini, saat momentum kampanye mulai dibuka, relasi jadi tak suam-suam kuku lagi. “Neo Orde Baru” adalah suara penuh ledakan yang digemakan Megawati. Tantangan buat seluruh keluarga Banteng untuk melawan. Sepertinya trauma politik dan beban sejarah Partai dihembuskan serius.

Tapi mari kita berandai sekilas untuk tak sebut sebagai analisis peta politik maha dalam. Tentu dengan sejuta tanya walau tak dapatkan jawaban pasti. Setelah 10 tahun memimpin Negeri (2024), Jokowi bakal ‘pulang kandang.’ Apakah Jokowi nantinya punya tempat yang pas plus menyejukkan? 

Mungkinkah Jokowi ‘pulang kampung Partai?’

Akan kah Jokowi bakal disambut penuh sorak-sorai sebagai  ‘petugas Partai’ yang telah bikin sejarah di pentas pembangunan bangsa dan tanah air? Atau kah sebaliknya, Jokowi justru telah merasa tak nyaman ‘untuk pulang.’ Sebab potensi sikap-sikap tak sedap dalam Partai bakal jadi nyata beraksi. 

Atau kah, bisa saja, rasa hati tak enak telah menggumpal di dada Jokowi? Diksi-diksi yang dirasa ‘tak beretika’ sebagai petugas partai plus melebar ke puteranya sendiri, Gibran, sebagai ‘anak ingusan’ tidak kah sudah menambah rasa sepat dan pahit di hati? Rasanya tak sedap ketika di seantero Negeri, di mana-mana ‘Jokowi dipuja-puji  bagai seorang ‘nabi,’ tetapi tidak sedemikian halnya saat ia kembali ke kampung asalnya, Partainya sendiri.’ Saatnya Jokowi mesti tunjukan bahwa tak benar diktum (sinisme?) Bu Mega, “Pak Jokowi itu kalau nggak ada PDIP kasihan dah….”

Kucoba hidup sendiri…

Kini, sekiranya, Jokowi lagi bersenandung dalam aksi nyata “Tak percaya lagi, tak kan  aku peduli. Biarlah kucoba hidup sendiri, walau tanpa kau lagi….” Kini, ada kah PDIP sudah ketiadaan kasih sayang pada Jokowi? Mungkin saja, Jokowi masih berlanjut, “Padamu tak sanggup harus begini, menghadapimu…..”

Oh iya, Bung Adian Napitupulu bolehlah menghitung jasa Partai. Sekian besarlah rasa kasih sayang Ibu Partai bagi kader tercinta. Anak tangga demi anak tangga menuju kuasa, jabatan dan popularitas telah ditapaki Jokowi demi semakin meninggi dan memuncak.

Bagaimanapun publik punya pengamatan sendiri: PDIP jadi ‘banyak dan besarnya’ juga karena faktor Jokowi. Tetapi itu kah yang membuat Jokowi ‘biarlah kucoba hidup sendiri walau tanpa kau lagi’ ? Ini benar-benar serius kah adanya keretakan relasi Megawati (PDIP) dan Jokowi, ibarat dalam sebuah perahu retak?

Demokrasi ‘tabrak lari.’

Tafsiran miris dan berat jatuh pada Jokowi. “Demokrasi tabrak lari,” katakan begitu, makin menebal dalam kesan publik. Sebab katanya, dalam bahasa abu-abu penuh klise, ‘Biarlah semuanya diserahkan pada hukum. Kita ini negara hukum.’ Namun, dalam pada itu, ‘Prabowo – Gibran’ dan seluruh armadanya sudah melaju deras dalam aksi demi ‘pemenangan.’ Sementara Mahkamah Konstitusi sudah terkapar tak berdaya. Diseruduk buldozer Dinasti Keluarga. Mungkin saja pada saatnya nanti ia akan dibikin mati benaran pada momentum paling krusial.

Benar kah Jokowi sudah ‘merasa besar kepala dan di atas angin’ bahwa hati mayoritas bangsa ada dalam kemudi dan kendali popularitasnya? Dan karenanya ia sungguh berani demi ‘kucoba hidup sendiri walau tanpa kau lagi?’ Dan karena itulah ‘amukan tandukan banteng mulai terlihat semakin menjadi-jadi, walau terkesan adanya sikap berwas-was pula?’

Sebatas tafsiran ka?

Siapapun boleh menduga-duga penuh pengandaian tentang semuanya. Semuanya sebatas tafsiran sana-sini yang bisa melenceng sana-sini pula. Di sinilah ‘asyiknya, seninya, indahnya’ ber-arung jeram dalam arus politik. Hanya Bu Mega dan Jokowi yang sebenarnya yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara keduanya. Iya, antara Ketua Umum Partai dan kadernya, antara mantan Presiden – warga negara dan sang Presiden, atau serasa lebih afektif antara seorang Ibu dan seorang anak putranya. Tetapi, yang ada benarnya, tentu Jokowi tentu miliki intensi politik juga di balik semuanya. Jika demikan, maka Bu Mega dan para kader PDIP, iya sudahlah. Berbesar hati mungkin jadi jalan terbaik.

Jokowi masih bermimpi demi negeri 

Biarlah semuanya, untuk Jokowi, insan PDIP bersenandung dalam kepasrahan, “Pergilah kasih kejarlah keinginanmu. Selagi masih ada waktu. Jangan hiraukan diriku. Aku rela berpisah demi untuk dirimu. Semoga tercapai segala keinginanmu....” Dan apakah sebenarnya keinginan Jokowi?

Mungkin saja Jokowi masih punya mimpin besar demi Indonesia Raya yang terasa tak cukup waktu produktif dalam sepuluh tahun, terus dipotong masa pandemi covid 19. Jokowi masih punya harapan di pundak Gibran, si sulung, yang bakal mengejar demi menggapai mimpi-mimpi tersisa. Iya, dari pada jika sekiranya hanya ‘terparkir atau jadi bebek lumpuh’ kalau memang harus pulang ke ‘Kandang Banteng?’

Akhirnya

Jika harapan Jokowi terwujud bahwa sang putra, Gibran, sunggguh jadi Wapres dampingi Pak Prabowo? Maka semakin melebar dan jauhlah jarak antara Jokowi dan keluarga besar Partai berlambang Banteng, PDIP. Namanya saja ‘nasib dan buah dari racikan strategi Politik.’ 

Oh iya, dan lagi, bisa saja terjadi bahwa nantinya Bung Fadli Zon didaulat jadi Menteri Dalam Negeri. Dan bukan tak mungkin pula bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bakal jatuh di pundak Bung akal sehat Rocky Gerung. Ini demi mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tak terjun bebas terus ke dalam rawa-rawa kedunguan, seturut telaah Bung Rocky.

Bagaimanapun Indonesia Raya mesti teduh, cerdas dan bijak demi menentukan nasib ziarah bangsa dan negara selanjutnya. Dalam hal ini siapapun tentu tak hendak disebut pemilih dungu.

Ada-ada saja! Ini pun hanya sebatas sepak pojok saja....

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro - Roma