Puasa: Di Saat Mesti Membangun Kemah Hati

Selasa, 18 Maret 2025 16:07 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

kons beo.jpg
Pater Kons Beo, SVD (Dokpri)

“Hati yang peduli, yang mendengarkan, seringkali lebih berharga daripada pikiran yang cerdas yang berbicara”
(Michael  Josephson).

P. Kons Beo, SVD

Ini semua berawal dari ketaknyamanan hati. Katakan itu juga sebagai kerisauan atau kegalauan hati. Doktrin orientasinya: ‘Untukku semuanya masih terasa serba kurang.’ 

Tak pernah berkecukupan! Sebab itulah gema hidup itu selalu dalam alur mencari dan terus mencari.

Kiprah hati seperti ini dipompa lagi dengan gairah untuk mengumpulkan dan terus mengumpulkan. 

Di hadapan mata dan terutama hati mesti ada apa yang disebut ‘timbunan demi timbunan’ yang memberi rasa nyaman. Selain kemunafikan, yang sunggguh ‘dibenci’ Yesus, ada alarm lainnya yang teramat serius diingatkan Yesus. Itulah kelekatan hati manusia pada harta dan kekayaan. Selalu saja ada ‘kehausan yang menuntut kepuasan.’

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Hati telah disantroni dan diborgol. Harga sebuah alam ketenangan hidup adalah garansi material. Dan itu adalah perbekalan berbentuk ‘uang dan segala jenis barang, harta kekayaan ini dan itu.’ Di sini dan di sana.

Adakah yang salah dengan sikap dan tindak ekonomik seperti ini? Tentu saja tidak! Jika teringat pada Perjanjian Lama, jumlah harta kekayaan seperti misal dalam bentuk hewan dan bahkan ‘sejumlah besar bujang, para pekerja’ itulah adalah tanda nyata berkat Yahwe.

Bagaimana pun…

Manusia tak boleh terjebak dalam jerat pemborosan. Tak dibenarkan! Hidup berfoya-foya  a la lukisan perumpamaan Anak Yang Hilang (Luk 15: 11-32) memang patut dicela. 

Hidup yang dimeterai dengan mentalitas carpe diem untuk isi kesempatan sambil berfoya-foya dengan apa yang dimiliki, -dan lalu nyaris mati kelaparan-, mesti ditantang penuh arif dan sejadinya.

Ketidaknyaman hati akan jaminan hidup ‘di sini dan kini’ juga berdampak pada perilaku teroris dan monsterik terhadap alam dan lingkungan. 

Bukankah rusaknya alam dan terbengkalainya lingkungan hidup disebabkan oleh ulah manusia yang diasap-panasi oleh hati yang tamak? Yang tak peduli pada dampak destruktif dan nasib kelam di hari-hari kemudian bagi generasi mendatang?

Masa Puasa, hari-hari tobat, tidak sebatas dipahami sebagai ‘momentum kekang diri penuh laku tapa’ untuk ‘tak makan dan minum berkelimpahan.’ Puasa adalah momentum sakral manusia sadar akan citra dirinya sebagai subyek! Bahwa manusia adalah ‘suyek dan bukan obyek’ atau korban dari keinginannya sendiri yang rapuh, tak terkendali dan liar akan hal-hal yang jasmaniah dan materialistik.

Ketidaknyamanan diri lahirkan sikap hati nan tamak! Sikap hati sekian tamak lalu berkeliaran dalam diam dan senyap dalam perilaku koruptif dan tak jujur. 

“Orang mengambil, -tentu dengan cara licik-, apa yang bukan menjadi haknya.” Akibatnya? Suasana dan keadaan tak adil segera dialami oleh sekian banyak orang. Kehidupan publik dan kebaikan bersama yang beradab jadi cemar.

Puasa adalah momentum formatif hati. Hati kembali dibentuk demi menatap cakupan kesejahteraan dan kebaikan yang lebih luas dan menyeluruh. Demi membatasi diri sejadinya dalam gairah mencaplok yang tak semestinya. 

Katanya, “Para koruptor sebenarnya tidak dipenjara untuk efek hukuman yang menyiksa dan batasi sungguh gerak fisik, tapi lebih pada diupayakannya arus dinamika retret hati nurani.

Mari kita lanjut pada perenungan di muara berikutnya...

Terasa mesrah hidup ini, dan kiranya “kemesrahan ini janganlah cepat berlalu.” Indah, bahagia, menyenangkan, penuh romantis, penuh nikmatnya, rasa terjamin, hati berbunga-bunga dan serba rasa yang membuat  hati kita terpikat untuk mengatakan, “Life is beautiful.” Hidup ini indah. Mungkin seperti itulah lukisan di masa kini untuk menafsir pragmatis hati Petrus yang berbunga-bunga bersama Yesus transfiguratif (Lukas 9: 28b – 36).

Namun, tak tahu kah bahwa hidup itu punya iramanya sendiri? Katanya, manusia tak pernah kuasai hidup itu apalagi menguasainya mutlak. Alam hidup itu nyata dalam perubahan dan gerak, dan manusia ‘dipaksa’ untuk sesuaikannya dengan irama kehidupan. Itulah pula  irama di bumi yang berputar!

Untuk sebuah penyesuaian yang wajar dan sehat tetap diyakini adanya gairah atau katatakan sebagai daya dari ‘spiritualitas cukup.’  

Manusia memang merasa bahagia dalam ‘meraih, menggapai, memperoleh.’ Namun, pada titiknya nyanyian suara hati ingatkan untuk berani merendah, ‘Ini sudah pas. Sudah cukup buatku.’ Yang selebihnya mesti diteruskan kepada yang lain.

Kebahagiaanku tidak pernah ‘disimpan dalam kemah hati yang kubangun demi diri sendiri.’ Rasa bahagia penuh sukacita bakal teralami saat karena ‘kehadiranku dan oleh apa yang kulakukan sesama alami harapan, kekuatan, rasa bahagia itu sendiri.’

Rasa baik, indah dan bahagia di gunung yang tinggi, yang dialami Petrus, Yakobus dan Yohanes hendak ‘disimpan’ dalam tiga kemah yang bakal dibangun! Tetapi, rasa bahagia, indah dan baik yang benar harus dialami dalam dinamika turun gunung. Demi menjumpai, demi mengalami, demi berbagi kebahagiaan bersama dengan sesama yang lain.

Puasa tidak hanya ditangkap sebagai kesanggupan spiritual tahan diri dari  selera ‘kemewahan dan kelimpahan makan dan minum sesaat.’ Tidak hanya itu! Sebab jika demikian, saat waktu tak lagi atau bebas puasa, kita bisa saja mereguk makan minum sejadinya. Demi mengisi dan jawabi lapar dan haus yang tak tertahankan.

Puasa mendidik insan beriman dan membangun kemah hati untuk berbagi. Untuk arahkan perhatian pada yang tak tentu nasib. 

Dalam Puasa, ‘Aku tidak hanya berkanjang dalam lapar dan haus dan dalam keperluan sewajarnya demi bersenasib dengan sesama yang berkekurangan. Tak hanya itu, tetapi bahwa Puasa menuntun gerak hati dan tanganku untuk berbagi. Dari gerak tangan ‘yang mengarah kepada diri’ kepada ‘tangan yang terulur buat sesama.’

Bagaimanapun, ini  bisa jadi perkara hati yang tak gampang. Yesus berbicara banyak tentang kualitas hati manusia berkaitan dengan harta kekayaan.

 “Di mana hartamu berada di situ hatimu berada” (Matius 6:21) dapat diringkas dalam alarm kelekatan atau pun kepanikan hati yang ‘tak pernah cukup dan tak pernah puas-puasnya.’

Satu lukisan menggertak nurani, “Di dunia ini, memang terdapat sekian banyak manusia, yang  sebenarnya telah mati dalam hidup. Memang semuanya masih bernafas. 

Namun mereka rela menjadikan dirinya sendiri bagai mumi, lalu sendiri membalsem diri dengan pengawet berupa harta dan kekayaan. Tanpa rasa solider. Tiada kepedulian. Sebab semuanya telah terlumur dan terlekat pada diri.”

Sungguh, hari-hari Puasa mesti disyukuri sebagai momentum berpikir, merefleksi, bermeditasi, berkontemplasi dan lalu untuk bertindak demi menuju sesama. Dan di sanalah siapapun alami kebahagiaan yang sesungguhnya!

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma. ***