Puisi
Kamis, 08 Juni 2023 13:16 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Kelam penjajahan melatah
Bukan sekadar meriam dan pistol yang menyesakkan
Layu pikiran dalam kepedihan hidup
Kesimpulan terkapar liar
Buah perlawanan bergabung, tumpah dalam satu
Sisi yang memanas memihak tanpa ampun
Toleransi mengulur diri
Ide mengambang, terpinggirkan dalam kaca-mata
Persatuan di uji perbedaan jadi samaran penuh cela
Kekerasan menyeruak tanpa habis
Perbedaan pendapat dipermainkan sebagai sandiwara berbahasa kasih
Prasangka menari penuh kemunafikan.
Apologi dipahami sebagai renungan
Hukuman tembak dan pengasingan jadi gurita menakutkan
Namun perlawanan tetap berdentam
Menolak..
Membunuh..
Tertusuk..
Bendera perlawanan berkibar
Terpingkal-tingkal melawan
Sejarah terpahat dengan catatan perlawanan tak berkesudahan
Pulau Ende 30-5-2023
Di tepian laut biru yang terasing
Nelayan dan kapal-kapal menjadi potret hidup yang terlupakan
Yang menjadi nyanyian sang samudra.
Suara mesin dan hiruk-pikuk bergerak
Di dalamnya terhanyut suara angin dan burung
Mewarnai pelabuhan, tanda-tanda kehidupan yang tak terucapkan
Menembus ombak yang membelah angin
Mereka melipat dengan harapan dan ketakutan
Melampaui batas-batas, menjalani takdir
Jejak waktu terukir di sepanjang lambung,
Dinding waktu tergores dalam cat yang lusuh
Mereka telah melahap samudra dengan nafas yang berat
Di antara deru ombak dan bisikan angin
Nelayan dan kapal menjadi satu entitas
Bersama mereka, mengarungi takdir yang berkecamuk
Kapal-kapal berlabuh dengan perlahan terselubung
Masyarakat terhimpun, membagi cerita yang berserak
Mengenang cinta yang rapuh di lautan yang gelap
Pelabuhan adalah jejak ketidakpastian
Masyarakat nelayan bermain dalam kekosongan
Mereka hanyut mengharapkan penyesalan yang tak terucapkan
Sebagai penghormatan gelap
Kepada kapal yang tak terucapkan
Di lautan yang tak terjamah, dengan hati yang terpenjara
Pulau Ende 30-5-23