Puisi
Sabtu, 06 Agustus 2022 12:14 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Mata ku terekat di kemegahan mu
Menyaksikan senja yang ditinggal merah langitnya
Menjuntai bait-bait patah yang datang bersama ribuan pasang mulut yang di penuhi rumah, sapi gembala yang sarung tangannya adalah sirih pinang serta brankas belis berlendir.
Hey. . .
Pantai Cincin
Tunas imajinasiku melambung bersama pelangi di setiap benak penikmat indah mu lalu tenggelam di lengkung hangat bibir cincin mu seperti termos yang menumpahkan darah
Yang indah hanya hayal fiktif konsumtif ku
Kesedihan adalah nasib mu
Gemerlap teduh di rimbun pepohonan yang menjadi kanopi di wajah mu
Panas dalam sejarah
Liar mengambang di cakrawala
Masa depan membungkus mu dalam sehelai karcis
Semua tentang mu adalah anomali
Aku ingin hidup lima puluh tahun lagi
Terusir, tergusur dan terpinggir karenamu.
Di hancurkan pembangunan di dagu di pipi di lidah mu yang menjulur karang lautan
Sebab cantik mu adalah luka anak cucu ku
Nur adakah mini yang masih berarti
Untuk ku bingkai
Di dalam kamar punggung ku
Yang terbuat dari adonan kue Jahe kesukaan mu.
Setelah sekian abad terenyuh
Bersama kaca keringat bawah hidung mu
Aku terkubur bersama nisan tahi lalat di wajahmu
Di sela hembusan malam Pantai Losari yang pekat
Pada suapan terakhir pisang epek berselai coklat
Catatan:
Irfan Limbong atau Ahmad Irfan, Sarjana Sastra Inggris dari Universitas Putra Batm. Irfan berasal dari Ende, NTT, tinggal di Mataram, NTB.