Ramai Soal Bank Digital, Apa Untungnya Bagi Nasabah?

Rabu, 03 Maret 2021 21:38 WIB

Penulis:MAR

bank digital.jpg

 Perubahan perilaku konsumen mendorong banyak lembaga keuangan berbondong-bondong menyiapkan bank digital. Tak bisa dipungkiri, keinginan perbankan nasional masuk ke bank digital cukup tinggi.

Baru-baru ini, PT Bank Kesejahteraan Ekonomi resmi berganti nama menjadi PT Bank Seabank Indonesia (Seabank). Perubahan nama tersebut menandai transformasi SeaBank menjadi bank digital dari sebelumnya konvensional.

Saat ini ada beberapa bank yang akan fokus disiapkan menjadi bank digital seperti Bank Digital BCA yang sebelumnya bernama Bank Royal yang diakuisisi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Lalu, ada PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang juga menjadi bank digital setelah Gojek masuk menjadi pemegang saham. Lainnya, anak usaha BRI, PT BRI Agroniaga Tbk (AGRO) juga disebut-sebut sedang dalam proses pendaftaran ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi bank digital.

Hadirnya banyak bank digital tersebut, apakah ada pengaruhnya kepada tingkat bunga kredit konsumsi seperti bunga KPR?

Ekonom Senior INDEF Aviliani menjelaskan, bank digital bisanya melakukan penyaluran kredit dengan nominal yang kecil. Karena jika melakukan penyaluran kredit dengan skala besar seperti kredit modal kerja atau investasi, atau bahkan kredit KPR sistem teknologi di Indonesia belum mumpuni.

"Bank digital itu kreditnya yang kecil-kecil, gak mungkin yang besar-besar. Yang besar-besar tetap ditangani manual, karena kalau digital nanti database belum bisa dipercaya 100%," jelas Aviliani dilansir dari CNBC Indonesia, Senin (1/3/2021).

Oleh karena itu, menurut Aviliani, hadirnya bank digital dalam melakukan kredit, tidak akan berpengaruh terhadap suku bunga kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional.

Sebagai informasi, industri perbankan memiliki tiga jenis pembiayaan berdasarkan penggunaan, di antaranya kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi.

Kredit modal kerja dan investasi pada umumnya digunakan untuk aktivitas produktif, seperti modal usaha atau pendirian proyek baru. Sedangkan, kredit konsumsi adalah fasilitas yang diberikan kepada perorangan untuk barang konsumsi.

"Jadi mereka (Bank Digital) sekarang ini tidak mungkin gede-gede. Yang terjadi lebih banyak pinjaman untuk ritel, UMKM, individu juga bisa. Tapi kalau yang besar-besar seperti corporate, commercial, masih menggunakan aturan-aturan yang ditetapkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," tuturnya.

Senada dengan Aviliani, menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, bank digital pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.

Perbedaan hanya terletak dalam pelayanan, dimana bank digital semua layanannya berbasiskan secara daring atau online. Sementara bank konvensional masih memiliki kantor cabang yang pelayanan bisa bertatap muka.

Pun dengan hadirnya Bank Digital ke dalam tingkat pertumbuhan kredit tidak akan banyak mengalami perubahan signifikan.

"Pertumbuhan kredit tetap rendah bahkan negatif, termasuk kredit konsumsi. Artinya tidak ada pengaruh dari bank digital untuk mendorong konsumsi. Yang membantu konsumsi itu adalah layanan digital dari e-commerce," jelas Piter.

"Itu juga bukan untuk meningkatkan konsumsi. Cuma menahan turunnya konsumsi di tengah pandemi. Kondisinya akan berbeda kalau nanti pandemi sudah berlalu," kata Piter melanjutkan.

Berbeda pandangan dengan Aviliani dan Piter, menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira kredit konsumsi diyakini akan terdorong naik dengan kehadiran bank digital. Karena, sesuai permintaan pasar, konsumen biasanya punya permintaan yang spesifik.

"Kredit konsumsi pasti terdorong naik dengan kehadiran bank digital. Ini sesuai demand di market dimana konsumen punya preferensi spesifik."

"Bank digital bisa membaca pola kebutuhan tiap konsumen dengan big data dan artificial intelligence. Apalagi bank digital hasil merger dengan startup e-commerce atau transportasi online," jelas Bhima. (kabarsiger.com)