Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Generasi Muda Indonesia dan Tantangan Globalisasi Digital

Selasa, 28 Oktober 2025 11:43 WIB

Penulis:redaksi

SUMPAH PMEDA.jpg
Ilustrasi: Pemuda Indoensia: Antara Sumpah Pemuda dan Tren Digitalisasi (Kolase Floresku.com)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

SSETIAP tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda—momen bersejarah yang menandai lahirnya kesadaran kolektif kaum muda untuk bersatu, berjuang, dan menegaskan identitas kebangsaan. 

Sumpah yang diikrarkan pada tahun 1928 bukan sekadar deklarasi, tetapi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, perpecahan, dan keterbelakangan. Ia menjadi fondasi bagi berdirinya Indonesia modern: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu—Indonesia.

Namun kini, hampir satu abad kemudian, tantangan yang dihadapi generasi muda tidak lagi datang dari kolonialisme bersenjata, melainkan dari arus globalisasi digital yang merembes ke setiap aspek kehidupan.

 Dunia yang semakin terkoneksi telah menghapus banyak batas geografis, tetapi juga menciptakan bentuk penjajahan baru—penjajahan budaya, informasi, dan ekonomi.

Dalam konteks ini, refleksi atas Sumpah Pemuda menjadi sangat relevan: bagaimana generasi muda Indonesia memaknai semangat persatuan, identitas, dan kebangsaan di tengah dunia yang semakin cair dan terdigitalisasi?

Dari Sumpah Persatuan ke Tantangan Globalisasi

Generasi muda 1928 hidup dalam zaman pergerakan fisik dan ideologis. Mereka menghadapi penjajahan nyata, tetapi memiliki cita-cita yang jelas: kemerdekaan. 

Mereka sadar bahwa perpecahan adalah sumber kelemahan, sehingga menegaskan identitas kolektif sebagai bangsa. 

Dalam konteks itu, bahasa Indonesia menjadi simbol kesetaraan dan kebersamaan—alat komunikasi untuk menyatukan beragam suku dan daerah.

Sebaliknya, generasi muda era digital hidup di tengah kemerdekaan formal, tetapi menghadapi bentuk penjajahan baru: penjajahan pikiran dan nilai. 

Arus globalisasi membawa banjir informasi dan budaya global yang sering kali menenggelamkan akar lokal. Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi arena pertempuran identitas. 

Pemuda Indonesia kini tidak hanya berinteraksi dengan sesama sebangsa, tetapi juga dengan budaya dan ideologi global yang membentuk cara berpikir, gaya hidup, bahkan orientasi nilai mereka.

Potret Pemuda Indonesia di Era Digital

Menurut data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, jumlah pemuda Indonesia pada tahun 2024 mencapai 64,22 juta orang, atau sekitar 22,99 persen dari total penduduk Indonesia (Databoks, 2024).

 Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada pada puncak bonus demografi—sebuah peluang besar yang, jika dikelola dengan baik, dapat mengantarkan Indonesia menuju negara maju. 

Namun, di sisi lain, potensi ini juga bisa menjadi beban jika generasi mudanya tidak memiliki kompetensi dan karakter yang kuat.

Sayangnya, di tengah kemajuan teknologi, tingkat literasi digital di kalangan muda masih belum optimal. 

Hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Katadata Insight Center menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia tahun 2021 berada pada skor 3,49 dari skala 1–5, yang berarti berada di kategori “sedang” (Katadata Insight Center, 2021). 

Lebih spesifik lagi, survei tahun 2024 mencatat bahwa tingkat literasi digital tertinggi berada pada kelompok usia 16–24 tahun, yakni sekitar 33 persen (Databoks, 2024).

Data ini menunjukkan paradoks yang menarik: generasi muda Indonesia adalah pengguna internet paling aktif, tetapi belum sepenuhnya memiliki kemampuan kritis untuk memanfaatkan teknologi secara produktif. 

Artinya, mereka melek teknologi, tetapi belum tentu melek informasi.

 Pemuda Global, Identitas Lokal

Globalisasi digital melahirkan generasi global, yakni anak muda yang berpikir lintas negara, berkomunikasi tanpa batas, dan memiliki akses yang sama terhadap informasi dan teknologi. 

Mereka lahir dalam budaya serba cepat, instan, dan visual. Namun di balik keterbukaan itu, muncul ancaman: hilangnya kesadaran lokal dan nasional.

Pemuda Indonesia kini menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjadi bagian dari dunia global—kompetitif, inovatif, dan melek teknologi. 

Di sisi lain, mereka diharapkan tetap setia pada jati diri bangsa, pada nilai gotong royong, sopan santun, dan solidaritas sosial yang menjadi akar budaya Nusantara. Ketika banyak generasi muda lebih hafal tren media sosial luar negeri daripada pahlawan nasionalnya sendiri, kita perlu bertanya: ke mana arah nasionalisme digital kita?

Tantangan Literasi dan Etika Digital

Tantangan terbesar bagi generasi muda Indonesia hari ini bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, melainkan kemampuan memahami dan mengelola dampaknya. Di era digital, informasi begitu mudah diakses, tetapi tidak selalu benar. 

Fenomena disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi di media sosial telah merusak cara berpikir dan berinteraksi masyarakat. Banyak pemuda menjadi korban algoritma—terperangkap dalam ruang gema (echo chamber) yang hanya memperkuat pandangan pribadi tanpa membuka ruang dialog.

Inovasi, Kemandirian, dan Kepemimpinan Digital

Di tengah tantangan global, Indonesia justru memiliki peluang besar. Dengan populasi muda yang besar dan penetrasi internet yang terus meningkat, Indonesia berpotensi menjadi kekuatan digital di Asia Tenggara. 

Namun potensi itu hanya akan menjadi kenyataan jika generasi mudanya tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta inovasi digital.

Penutup: Dari Nasionalisme ke Kosmopolitanisme Digital

Refleksi atas Hari Sumpah Pemuda di era globalisasi digital mengingatkan kita bahwa nasionalisme tidak harus bertentangan dengan keterbukaan. 

Generasi muda Indonesia dapat menjadi nasionalis sekaligus kosmopolitan, mencintai tanah air tanpa menutup diri dari dunia. 

Tantangannya adalah bagaimana tetap berpijak pada nilai lokal sambil melangkah ke arah global.***

*Pemimpin Redaksi Floresku.com. ***