Seri 2 – Flores dalam Pusaran Perang Pasifik: Pertempuran Senyap di Nusa Nipa

Rabu, 13 Agustus 2025 13:11 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

pesawat sekutu.jpg
Pesawat Sekutu yang menjadi andalan dalam Perang Asia Pasifik (Istimewa)

MENJELANG HUT ke-80 Kemerdekaan RI, bangsa Indonesia, termasuk warga Flores, perlu menjadikan masa pahit pendudukan Jepang sebagai refleksi, bukan untuk menumbuhkan dendam, melainkan kesadaran sejarah, empati, dan kewaspadaan. Kisah romusha, jugun ianfu, penyiksaan tawanan perang, pembatasan kebebasan, dan penderitaan rakyat sipil adalah pengingat betapa rapuhnya kemanusiaan saat kuasa disalahgunakan.

Dari sejarah itu, kita belajar bahwa kemerdekaan harus diisi dengan menjaga martabat manusia, menghormati hak asasi, dan membela yang lemah—agar kekejaman serupa tak terulang, baik di negeri sendiri maupun terhadap bangsa lain.

Perang Dunia II, Jejaknya Ada di Setiap Sudut Bumi

Sejarah Perang Dunia II sering diceritakan dari sudut pandang kota besar: Tokyo, Hiroshima, Pearl Harbor. Tapi kisah-kisah dari pulau kecil seperti Nusa Nipa (Flores) menunjukkan bahwa perang global punya jejak di setiap sudut bumi.

Nusa Nipa mungkin hanya sebuah titik di peta dunia. Tapi di sini, perang punya banyak arti dan aneka dampak. 

Di sini, perang berarti kehilangan ayah, suami, anak, atau saudara. Perang juga  berarti serdadu yang tiba-tiba datang mengambil semua apa yang berharga,  hasil panen, hewan ternak, bahkan anak gadis. 

Perang juga berarti menghafal suara mesin pesawat untuk tahu apakah harus berlari atau segera tiarap di tempat yang dianggap cukup aman.

Bagi generasi sekarang, mungkin mudah melihat peristiwa itu sebagai cerita masa lalu. Tapi bagi mereka yang pernah mengalaminya, perang bukan kisah sejarah semata—itu adalah kenangan yang hidup di tubuh dan tanah mereka.

Bayangan di Langit Timur

Akhir tahun 1943, langit di atas Flores tidak lagi hanya dihiasi awan putih. Kadang, dari kejauhan, terdengar raungan mesin pesawat terbang—bukan pesawat Jepang (lazim disebut Dai Nippon atau Nippon), melainkan pesawat milik Sekutu.

Bagi penduduk lokal, pemandangan itu menimbulkan campuran rasa takut dan harapan. Takut, karena setiap serangan bisa meluluhlantakkan rumah dan ladang. Harapan, karena itu berarti kekuasaan Jepang mungkin segera runtuh.

Buku harian seorang misionaris Belanda yang diinternir di Makassar menulis, “Kabar tentang serangan udara di Flores sampai kepada kami seperti bisikan dari laut. Orang-orang berdoa bukan hanya untuk keselamatan, tetapi juga untuk kebebasan.”

Kekejaman ‘Saudara Tua’ 

Pasukan Nippon memandang Pulau Flores sebagai posisi strategis vital dalam menghadang serangan Sekutu di wilayah timur Indonesia. Pulau ini menjadi pangkalan penting untuk pengawasan jalur laut dan udara, memperkuat pertahanan Jepang serta menjaga kontrol atas rute logistik antara Asia Tenggara dan Pasifik. Mereka pun tahu betul bahwa keberadaannya di Flores menjadi incaran pasukan Sekutu.

Oleh karena, sejak hari-hari pertama menjejakkan kakinya di Flores, pulau yang terisolir itu, mereka bertekad membangun sejumlah titik pertahanan strategis untuk memperkuat kontrol militer di wilayah ini. 

Tak heran, kalau peringai mereka mereka segera berubah 180 derajad. Saat mendarat di Flores dan pulau-pulau sekitarnya pada pertengah Mei 1942, para serdadu Jepang begitu ramah dan sangat bersimpati dengan warga lokal. Mereka memperkenalkan diri: ‘Nippon adalah saudara tua,”, dan gemar mengumbar slogan manis: “3A – Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia.”

Bahkan, tentara Jepang pun giat membagikan gula, kain, bahkan memutar film bisu di beberapa kota, mirip seperti yang dilakukan para politisi masa kini jelang hari Pemilu.

Akan tetapi, pada dua bulan berikutnya, para serdadu Jepang mulai memperlihatkan peringai aslinya. 

Betapa tidak, sejarah mencatat, pada Juli 1942, sekitar 325 orang Eropa, termasuk para imam dan misionaris Katolik dan 20 tahanan perang, yang berada di Flores, Sumba dan Sumbwawa dipaksa menaiki satu kapal yang berangkat dari Bima, Sumbawa (5 Juli), Waingapu, Sumba (14 Juli), dan Ende, Flores (15 Juli). 

Mereka diangkut  dan diperlakukan secara kasar bak hewan ternak menuju Makassar, tiba pada 19 Juli 1942. Perlakuan kasar, penahanan sewenang-wenang, serta penderitaan selama perjalanan mencerminkan kekejaman militer Jepang yang merenggut kebebasan dan menimbulkan trauma mendalam bagi warga sipil dan tawanan, menorehkan luka sejarah yang sulit dilupakan.

Ilustrasi: Potret warga pribumi Nusantara yang dipaksa menjalani Romusha olen pasukan Nippon (Sumber: Djawa Baroe, No. 23, 1 Desember 1943).

Kemudian, para serdadu Jepang mulai mengarahkan kekejamannya kepada kaum pribumi Flores. Mereka memperkenalkan romusha, memaksa rakyat bekerja tanpa berhenti untuk membangun barak, membuka jalan, membangun pelabuhan, membagun lapangan terbang, dan menggali tebing cadas untuk dijadikan bungker, gua persembunyian dan pertahanan.

Jepang menguasai Pelabuhan Reo, dan memfungsikannya sebagai pusat logistik utama, memudahkan distribusi persenjataan dan kebutuhan pasukan. 

Jepang juga menguasai Pelabuhan Marapokot, Mbay dan menjadikan ‘markas’ untuk kapal-kapal patroli kecil yang bertugas menjaga keamanan perairan sekitar. 

Untuk mendukung operasi udara, Jepang mengerahkan rakyat dan para tawanan Belanda,  membangun lapangan terbang Surabaya II, dengan landasan pacu 1.200 meter di Tonggurambang, Marapokot-Mbay, dan lapangan terbang di Ende, yang dipakai sebagai ‘markas’ pesawat tempur. 

Jepang juga memaksa rakyat untuk bekerja dengan peralatan seadanya, memahat tebing  di bukit Tonggurambang dan di pinggiran dataran Mbay, seperti Bukit Sangatoro dan Bukit Rane, sehingga tercipta tak kurang dari 24 bungker persembunyian dan pertahanan. 

Jepang juga menggunakan Teluk Mauembo, sebuah pelabuhan alam, sebagai gudang amunisi vital bagi pasukannya. 

Jepang juga memanfaatkan Pelabuhan Wairterang, Maumere, dan membangun lapangan terbang di Maumere.

Untuk maksud itu, pada April hingga Mei 1943, Jepang memindahkan lebih dari 2.000 tawanan perang Belanda dan Indo-Eropa dari Jawa ke Flores menggunakan tiga kapal untuk membangun landasan udara militer. 

Para tawanan itu tiba pada 9 Mei 1943 di perairan Maumere,  dan langsung menghadapi pekerjaan berat. Tugas pertama mereka adalah membangun tiga kamp di sekitar Maumere: dua kamp kerja bernama Blom dan Reyers, serta sebuah kamp rumah sakit/karantina bernama Wulff.

Kamp Blom, yang terletak di sebelah timur Maumere dan dinamai menurut nama Kapten Cadangan L. Blom, berfungsi sebagai pusat utama tempat tawanan yang masih sanggup bekerja dikirim untuk membangun landasan udara Maumere-Timur. 

Selain itu, lebih dari 300 tawanan juga ditempatkan di kamp kerja dekat Talibura, sekitar 60 kilometer sebelah timur, untuk membangun landasan udara tambahan pada pertengahan 1943.

Pada awal November 1943, landasan udara Maumere-Timur sudah siap beroperasi.  Oleh karena itu, sebagian dari para tawanan dikirim untuk membantu pembangunan dua proyek lapangan terbang lainnya, yaitu di Ende dan Tonggurambang, Mbay. 

Kisah Pilu yang Jarang Terungkap

Kekejaman ‘saudara tua’ tidak sebatas itu. Di balik narasi tentang kerja paksa membangun infrastruktur militer Nippon di Flores, tersimpan kisah pilu yang jarang terungkap. 

Banyak perempuan, besar kemungkinan asal Flores dan pulau-pulau di sekitarnya, menjadi korban kekerasan seksual brutal oleh tentara Nippon. 

Uki Tanaka dalam bukunya Japan’s Comfort Women yang terbit pada Desember 2021 lalu, mengisahkan satu dari banyak tragedi itu.

Siti Fatimah, seorang gadis asal Jawa Barat, percaya ia akan dikirim ke Tokyo untuk belajar. Namun, pada 1943 saat usianya baru 16 tahun, bersama empat gadis lain, ia justru diangkut dengan kapal dari Tanjung Priok menuju Flores. Sesampainya di sana, sikap tentara Jepang berubah tajam. Mereka dipaksa melayani setidaknya dua tentara setiap hari di sebuah kamp tersembunyi.

Setelah tiga bulan, Siti dan gadis lain dipindahkan ke Pulau Buru bagian utara, ke kompleks militer di mana penderitaan mereka berlanjut hingga perang berakhir. Kisah ini menggambarkan luka mendalam yang tak terlupakan, menjadi saksi bisu kekejaman masa kelam yang harus diingat.

Kiri: Sejumlah wanita yang dipaksa jadi ‘Wanita Penghibur’ , Kanan: Pasukan Nippon mengantre menunggu ‘jatah’ dilayani para wanita penghibur. (Sumber: Getty Images). 

Target di Pesisir dan Daratan

Meski Nippon terus menyusun kekuatan di bumi, Flores, pasukan  Sekutu tak sedikit pun mengendorkan serangannya. Serangan udara Sekutu menyasar titik-titik pertahanan Jepang ini. Arsip militer Australia mencatat operasi 1944–1945 yang menargetkan kapal-kapal Jepang di Reo, Terang, Bari, Mauembo, dan Wairterang.

Pada Agustus 1944 Kamp Blom di Maumere bahkan dibombardir dan akhirnya dievakuasi, sehingga para tawanan dipindahkan ke daerah yang lebih aman di dalam daratan.

Menjelang akhir Agustus 1944, hampir seluruh tawanan dipulangkan kembali ke Jawa, kecuali 20 orang yang baru berangkat pada September. Tragisnya, sebanyak 214 tawanan dari kelompok Flores ini tidak berhasil bertahan hidup akibat kondisi yang sangat berat dan kerja paksa selama masa tahanan mereka.

Serangan Sekutu yang sangat intesif berhasil menenggelamkan sejumlah  kapal Jepang. 

Pada 2016, Tim Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia menemukan bangkai kapal Jepang di Teluk Mauembo—diam membisu di dasar laut, saksi bisu pertempuran tujuh dekade lalu.

Flores. 11 Agustus 1945. Foto udara dari serangan pengeboman terhadap empat kapal layar motor Jepang yang berada di dekat pantai pulau tersebut selama operasi pencarian kapal ‘Able’. Hak cipta telah berakhir — Domain Publik. Disediakan oleh Australia War Memorial.

Benteng Alam dan Perlawanan Senyap

Tak ada pertempuran darat besar di Flores seperti di Iwo Jima atau Okinawa. Tapi ada pertempuran senyap yang berlangsung setiap hari.

Penduduk desa menjadi mata-mata tak resmi bagi Sekutu, meski penuh risiko. Seorang tetua di Boawae pernah bercerita, kakeknya memberi tanda dengan asap api di bukit untuk menginformasikan pergerakan kapal Jepang ke nelayan yang bersahabat dengan pasukan sekutu di Timor.

Gunung-gunung, gua kapur, dan hutan lebat menjadi benteng alam. Saat serangan udara datang, orang-orang mengungsi ke gua—ada yang berhari-hari tidak keluar, hanya makan ubi rebus dan minum air hujan.

Tawanan Perang di Pulau yang Sunyi

Di balik garis depan yang tak terlihat, ada kisah tawanan perang.

Setelah Belanda menyerah di Hindia Timur pada 1942, banyak prajurit Eropa dan Indo-Belanda ditangkap. Sebagian dibawa ke Flores untuk kerja paksa. Di Maumere dan Talibura, mereka membangun lapangan terbang dan jalan dengan cangkul, linggis, dan tangan kosong.

Surat dari seorang mantan tawanan Belanda—ditemukan di arsip keluarga di Rotterdam—menceritakan bagaimana penduduk lokal diam-diam menyelundupkan singkong rebus dan kelapa untuk mereka, meski jika ketahuan bisa disiksa.

Data resmi menyebutkan, 214 tawanan perang gugur di Flores, sebagian besar karena penyakit, kelaparan, dan penganiayaan. Nama mereka terukir di memorial kecil di Belanda, tapi hampir tak ada penanda di Flores sendiri.

Mundur Tanpa Kemuliaan

Ketika Kaisar Hirohito mengumumkan kekalahan Jepang pada 15 Agustus 1945, banyak tentara di Flores tidak langsung pulang. Beberapa baru meninggalkan pulau berminggu-minggu kemudian, menumpang kapal ke Kupang atau langsung ke Makassar.

Tidak ada parade kemenangan. Mereka pergi dalam diam, meninggalkan bunker kosong, kapal karam, dan tanah yang terluka.

Penduduk Flores yang selama tiga tahun hidup di bawah bayang pedang Nippon perlahan kembali ke ladang dan laut. Tapi trauma tetap ada,—dan kadang kala dalam diam, mereka masih memandang ke langit jika mendengar deru pesawat terbang yang melintas. (Map). *** (Bersambung).