Seri 3: Flores dalam Pusaran Perang Pasifik, dan Tragedi Bom Sekutu yang Renggut Nyawa Ma’u, Siga di Aekana, Nangaroro

Jumat, 15 Agustus 2025 00:24 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

pesawatskkk.jpg
Ilustrasi: Pesawat Sukutu pada Perang Asia Pasifik 1942-1945 (Istimewa)

MENJELANG HUT ke-80 Kemerdekaan RI, bangsa Indonesia, termasuk warga Flores, perlu menjadikan masa pahit pendudukan Jepang sebagai refleksi, bukan untuk menumbuhkan dendam, melainkan kesadaran sejarah, empati, dan kewaspadaan. Kisah romusha, jugun ianfu, penyiksaan tawanan perang, pembatasan kebebasan, dan penderitaan rakyat sipil adalah pengingat betapa rapuhnya kemanusiaan saat kuasa disalahgunakan.

Dari sejarah itu, kita belajar bahwa kemerdekaan harus diisi dengan menjaga martabat manusia, menghormati hak asasi, dan membela yang lemah—agar kekejaman serupa tak terulang, baik di negeri sendiri maupun terhadap bangsa lain.

DI SETIAP lembar berita tentang Perang Gaza dan Ukraina akhir-akhir ini, selalu ada satu benang merah yang menyayat hati: perang tidak pernah membedakan manusia dalam hal jenis kelamin, usia, suku, agama,  maupun status sosial. 

Ledakan bom yang mengguncang kota dan desa tidak hanya meruntuhkan bangunan, tapi juga merenggut nyawa orang-orang biasa—mulai dari bayi dan anak-anak, remaja hingga kakek-nenek yang sudah renta. 

Sialnya lagi, sebagian besar dari yang terbunuh dalam perang adalah mereka yang pernah memegang senjata, tapi hanya berurusan dengan rutinitas hidup sehari-hari.

Kisah tragis seperti itu bukan hanya milik zaman sekarang. Di  Kampung Pauwua, yang terletak punggung bukit tanah Tonggo, -  delapan dekade silam, Sovia Sea mengalaminya dengan cara yang paling menyayat hati. 

 Romusha di Perkebunan Kapas Aekana

Tahun 1945, beberapa bulan sebelum kabar Kemerdekaan menyapu tanah air, perang masih berdenyut keras di pelosok Flores. Pesawat-pesawat Sekutu melintas di atas langit biru, membawa misi melumpuhkan pertahanan Jepang yang sudah terdesak.

Peta Lokasi Kampung Pauwua, berada di lereng buki tak jauh dari Pantai Mauembo (Teluk Embo). (Sumber: Google Maps)

Jauh dari hiruk pikuk pendaratan dan serangan, Sovia Sea dan para wanita Pauwua lainnya tenggelam dalam  kegiatan harian: menenun dan mengurusi urusan rumah tangga. 

Sementara itu, para lelaki dewasa  Pauwua mendapat giliran menjalani romusha di perkebunan kapas milik Jepang di dataran Nangaroro-Aekana, sekitar 7 km arah timur. 

Pada dini hari di suatu Senin  di bulan Februari tahun 1945, puluhan lelaki Pauwua bergegas menuruni bukit, lalu menyusursepanjang pantai berpasir hitam kelam ke arah timur, menuju Nangaroro, sekitar 7 km jaraknya. 

Mereka berjalan cepat-cepat, sebab kalau telat bisa dicambuki mandor Nippon. Meski begitu, mereka berjalan sembari bergurau, soalnya semua mereka masih bersaudara, berkerabat dekat.

Tiba di lokasi perkebunan, setelah mendengar ‘briefing’ dari para mandor mereka langsung tancap gas, bekerja membersihkan ladang kapas. 

Sekitar pukul 10.00 mereka diberikan kesempatan untuk mengaso, sambil menikmati bekal  talas rebus yang dibawa dari kampung. Yang tidak membawa bekal, diajak oleh kerabat yang berasal dari Kampung Aekana untuk menikmati singkong rebus sembari menyeruput kopi hangat. Namun, suasana ‘damai’ itu segera berubah drastis

Bom Sekutu yang Menyasar Jembatan 

Menurut kisah yang dituturkan, Yohanes Goba, saksi hidup dari kisah tragis itu, pagi hari menjelang siang, tiga pesawat sekutu  terbang rendah dari arah, timur, Ende. 

Ketiga ‘burung baja ringan’ itu meraung-raung menyusuri pesisir Pantai Nangaroro bererak ke arah barat menuju Teluk Embo, yang berada di kaki bukit Embo Wawo alias Pauwua. 

Teluk Embo yang berfungsi sebagai Pelabuan Alam.  Pada tahun 1945, sebuah Kapal Nippon ditenggelamkan di teluk ini.

Sepertinya mereka sedang mengincar sebuah kapal Nippon  yang sedang bersembunyi di Teluk Embo, yang kala itu digunakan sebagai pelabuhan alamiah. 

Menurut sebuah dokumen Jepang, di Teluk Embo itu ada gudang amunisi dan logistik. 

Memang, beberapa ratus tahun sebelum kehadiran Nippon, Teluk Embo sudah memainkan peran penting dalam perdagangan ‘global’, setidaknya sejak Nusa Nippa dan Nusa Tenggara dikenal sebagai tempat asal komoditi berharga seperti Cendana, Gaharu, dan Asam oleh para saudagar Tiongkok, Gujarat, India dan Jawa. 

Pada abad 16 M, ketika kapal para saudagar dan misionaris Portugis mondari-mandir di kawasan Nusa Tenggara, Embo sering disinggahi, baik untuk beristirahat atau sekadang ‘ngumpet’ dari para bajak laut Bugis-Bima-Bajo-Ende yang gemar menjarah kapal-kapal asing yang melintasi Laut Sawu.

Kembali ke cerita Yan Goba, ketika hendak membidik kapal Nippon di Teluk Embo, rupanya para pilot pesawat pengebom Sekutu jenis B-Liberator, melihat bahwa situasi lagi tidak kondusif di sana. Soalnya,  ada banyak anak dari Kampung Embo sedang mandi-mandi di di sekitar kapal Jepang itu. 

Kemudian, lanjut Yan Goba lagi, ketiga ‘burung baja ringan’ Sekutu itu pun mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan bomnya di sana. 

Kampung Nangaroro: Aekanal lokasi jatuhnya bom Sekutu berada di sudut kiri gambar.

Mereka kemudian terbang ke arah timur laut, menuju Aekana-Nangaroro. 

Tanpa dididuga, para pilot Sekutu itu menjatuhkan sejumlah bom atas jembatan yang terletak di antara Kampung Aekana dan Kampung Madambake, Nangaroro. 

Beberapa buah bom memang berhasil meluluhlantakkan jembatan besi yang kokoh tersebut. 

Namun, sejumlah bom justru jatuh di area perkebunan kapas, di atas lahan yang pernah menjadi milik pengusaha Belanda, Van Back.

Mengapa pasukan Sekutu menyasar jembatan itu? Alasannya tak lain karena pasukan Sekutu ingin memutuskan aliran pasokan amunisi dan logistik bagi pasukan Nippon yang bermarkas di dataran Mbay. 

Nahas Menimpa Meo, Siga dan Ma'u   

Yosef Naga (almarhum), seorang saksi mata tragedi pengeboman itu, menuturkan, pada tahun 1945, dirinya masih anak-anak, sekitar 7 tahunan, sehingga sudah mengerti dengan bahaya perang. 

“Waktu itu saya ikut dengan ayah, duduk-duduk di sebuah pondok kecil, sambil makan singkong rebus bersama beberapa teman dan kerabatnya, salah satunya di antaranya adalah almarhum Bapa Frans Ma’u. Tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh pesawat. Pesawat itu terbang begitu rendah, hampir menyentuh pucuk kelapa. Lalu, dari  langit muncul seperti kilatan api yang merobek udara, dan segera terdengar suara dentuman keras secara beruntun, boom, boom, boom” Yosef Naga, mengisahkan. 

Menyadari ada pesawat Sekutu itu menjatuhkan bom, kami panik dan meniarap di dibalik pohon besar. 

Rupanya, Bapa Frans dan dua orang lainnya (Meo dan Siga, red) sangat panik. Dalam kepanikan itu mereka  justru berlari justru ke arah jembatan. 

"Mungkin mereka bertiga hendak berlindung di bawah kolong jembatan. Celakanya, ketika bom berikutnya dijatuhkan, mereka justru terkena pecahan bom,” lanjut Yosef.

Setelah melihat bahwa jembatan yang jadi target sudah porak poranda, ketiga pesawat itu berbalik arah, menghilang ke arah selatan. Ternyata, mereka balik lagi ke Teluk Embo. 

Waktu itu, ternyata anak-anak yang ketakutan melihat pesawat datang mengintai, sudah kabur ke arah bukit. Ketika melihat situasi sudah kondusif-tak ada anak-anak lagi- ketiga pesawat itu menghujam kapal Nippon yang sedang berlabuh di sana, hingga tenggelam.

Bangkai kapal itu masih ada hingga sekarang, belum dievakuasi. Walau pada Oktober 2016 lalu, sebuah tim ekspedisi dari Departemen Kelautan, sudah melakukan penyelaman untuk mengindentifikasi, membuat dokumentasi foto dan video.

Kepada penulis Om Jacob Sajo mengisahkan, segera setelah itu, semua orang yang bekerja di kebun kapas itu, kocar-kacir dan berlari ke rumahnya masing-masing. Para lelaki asal Pauwua pun kembali kampungnya. 

Setibanya di sana, mereka menghitung warganya. Ternyata, ada tiga warganya yang hilang yaitu Yohanes Meo, Josep Siga, dan Fransiskus Ma'’u.

Bangkai Kapal Nippon di Teluk Embo (Foto: Tim Ekspedisi Departeman Kelautan, 2016)

Mereka Bertiga Masih Berkerabat Dekat

Menurut Om Jacob Sajo, ketiga korban yang meninggal dunia itu memang bukan ‘orang lain’. Sira tedu te: Meo, Siga ne'e Ma'u , nggedhe ata pesa, ‘ka’e ari, sa sa’o’ tenda ( Mereka bertiga: Meo, Siga dan Ma'u itu bukan orang lai, tetapi kakak-adik dalam  rumah besar’.,  masih berkerabat dekat! 

Sebetulnya, informasi mengenai profil ketiga korban bom Sekutu, sangat minim. Narasi lisan seputar peristiwa tragis pun sangat terbatas, bahkan semakin ‘meredup’ seiring dengan semakin panjangnya lintasan waktu.

Nenek Sovia Sea, istri alm. Fransiskus Ma’u  sendiri, tak banyak berkisah mengenai tragedi itu. Mungkin jiwanya masih trauma dengan kejadiaan nahas yang merenggut nyawa suaminya yang tercinta.

Kisah kelam kemudian sedikit terkuak, ketika penulis menguping ‘obrolan’ para tua-tua dalam lingkaran keluarga besar Ma'u yang ‘bernostalgia’ tentang mengapa mereka bertransmigrasi  lokal, dari Kampung Pauwua, lalu memilih  menetap sebagian di Aekana-Nangaroro,  yang lain di Nangamboa, di Translok Ratedao, dan yang lainnya  lagi di Mbay (Marapokot  dan Aeramo). 

Menurut lisan papra tua-tua itu, diketahui bahwa  Kakek Fransiskus Ma’u adalah warga aseli Kampung Pauwua. Ia adalah putra dari Nuwa Mogi dan Ali Noo.

Sedikit intermezo: soal nama ‘Ali’ ini, Sareng Oribao alias Pater Piet Petu, pengarang  buku ‘Nusa Nipa’ , pernah bercanda kepada penulis begini: “Namamu ‘Ali’ ya? Kalau itu diambil dari nama nenek-moyangmu di Keo, dan melihat raut wajahmu,  terutama bagian alis matamu, saya menduga kuat bahwa nenek-moyangmu  adalah pendatang dari luar Nisa Nipa. Mungkin mereka datang dari Arab atau Gujarat, salah satu wilayah di India bagian barat.”

Sareng Orinbao, barangkali hanya bercanda soal sejarah asa-asul penulis. Namun, sejumlah catatan sejarah memberi petunjuk bahwa daerah nenek moyang penulis: Keo (Tonggo-Kedimali) memang pernah menjadi ‘pusaran’ global.

Menurut sejarah, sejak abad pertengahan, wilayah Keo (Tonggo dan sekitarnya), mejadi ‘arena perjumpaan banyak suku-bangsa dunia' seperti Tiongkok, India, Gujarat, Arab, Jawa, Bugis, Bima, Portugis, Belanda, dan Dai Nippon. (Bdk. Louis Fontijne  (1940); Sareng Orin Bao, (1969);  George Forth (1994); Monk et al (1997); Karhl Wilhem Lehman SVD,(2002); Lois Ann Johnston (2006); Smarika Nawani, (2013); Geoffrey C. Gunn (2016); Anita, Hasti Sulaiman (2021).

Rupanya, latar belakang sejarah demikian membuat  ‘Orang Keo’, khususnya ‘Orang Tonggo’ memiliki sikap yang terbuka , mudah beradaptasi dan suka bepergian (nembo) - pergi mencari nafkah di daerah lain untuk berdagang dengan cara barter. 

Biasanya mereka nembo ke Soa untuk barter tikar dengan beras; ke Wekaseko berbater tikar dengan anjing; ke Lio untuk berbater  tikar dengan sarung tenun Lio.

‘Perjalanan nembo ke Lio membuka jalan bagi Fransiskus Ma’u mendapatkan jodoh. Ia kemudian mempersunting Sovia Sea yang adalah putri tunggal mosalaki riabewa Pora-Nelu,  Sela Wolo dan isterinya, Rimba.  

Buah perkawinan Ma’u  dan Sea, adalah ayah penulis sendiri: Martinus Wuda. Wuda memiliki saudari kandung, Marta Te, yang saat ajal menjemput ayahnya, ia masih ‘bercokol’ dalam kadungan ibunya, Sovia Sea.

Kemudian, Kakek Hendrikus Bhia yang adalah sepupu dekat Fransikus Ma’u, menikahi Sovia Sea dan menjadi bapa sambung dari Wuda dan Te. Selanjutnya,  bersama Henderikus  Bhia dan Sovia Sea dikarunia dua anak, yaitu Albertus Poa Sela dan Martina Rimba.

iri: Makam Meo, Siga dan Ma'u dekat lokasi jatuhnya bom Sekutu pada tahun 1945: Kanan: Sovia Sea (istri alm. Fransiskus Ma'u, salah satu korban bom Sekutu di Aekana. (Sumber: Floresku.com)

Dimakam dalam Satu Liang Lahat

Kita kembali ke tragegi pengemboman. Melanjukan kisahnya, Yacob Sajo mengatakan, keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bergegas ke lokasi jatuhnya bom. 

Di lokasi tragedi itu,  mereka menemukan kepingan-kepingan tubuh yang tidak utuh lagi. 

Dalam suasana hati yang bercampur rasa takut, sedih dan marah, mereka tergesa-gesa mengumpulkan potongan-potongan tubuh sedapatnya. 

Setelah yakin tak ada lagi potongan tubuh yang tersisa, mereka membalutinya dengan kain tenun, Duka Tonggo terbaik, lalu memakamnya di satu liang lahat, diiringi dengan doa dan isak tangis, dan suara senggukan. 

Turut hadir dalam acara pemakaman yang berlangsung penuh haru itu, para kerabat dan sahabat yang berasal dari beberapa kampung sekitar seperti Aekana, Tongatei, Kopodako dan yang lainnya. 

“Ayah saya sangat terpukul dengan kejadian nahas itu. Ia  bertindak memimpin ritual adat pemakaman ketiga korban bom. Apalagi, sang ayah sangat dekat dengan Ma'u. Dia menganggap Ma'u sebagai bagian dari keluarga kami.”  

Begitulah kira-kira kata Yosef Naga, ketika mengisahkan tragedi itu kepada penulis pada tahun 1986 silam.

Warga Pribumi Nusa Nipa, Tidak Benar-benar Bermartabat?

Tentu saja,  suara tangis kaum keluarga dan kerabat  sama sekali tidak terdengar di telinga para pilot pesawat pengebom dan kombatan Sekutu.  Kalau pun tahu bahwa aksi pengebomannya telah merenggut nyara  warga sipil, mereka pun tak akan pusing peduli. 

Sebab, di mata  mereka pihak nonkombatan, apalagi warga sipil pribumi Nusa Nipa  bukan benar-benar manusia yang bermartabat. 

Ironi besar memang, warga pribumi Nusa Nipa yang  tidak tahu sebab-musebab Perang Dunia II. Mereka  tidak pernah pula mengangkat senjata, tetapi harus menanggung beban paling berat dari pertarungan yang sama sekali bukan pilihan mereka.

Dan, yang membuat tragedi ini terasa begitu konyol—adalah fakta bahwa Kakek Fransiskus Ma’u dan dua kerabatnya: Meo dan Siga,   justru tewas mengenaskan  sekitar 5000-an kilometer jauhnya dari Tokyo, pusat kekaisaran Jepang. Dusun Aekana juga berada lebih dari 2000 km jaraknya Benua Australia, tempat asal sebagian besar kombatan Sekutu yang menyerang pertahanan Nippon di Pulau Flores kala itu. 

Sejarah  Perang Dunia II, atau pun Perang Asia Pasifik memang merekam hal-hal besar seperti: Serangan ke Pearl Harbor – 7 Desember 1941; Invasi Asia Tenggara dan Pasifik – Desember 1941 – Maret 1942; Pertempuran Laut Koral – 4–8 Mei 1942; Pertempuran Midway – 4–7 Juni 1942; Kampanye Guadalcanal – Agustus 1942 – Februari 1943;  Pertempuran Leyte Gulf – 23–26 Oktober 1944;  7. Pengeboman Iwo Jima & Okinawa – 1945;   Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki – 6 & 9 Agustus 1945; dan  Penyerahan Jepang – 15 Agustus 1945.

 Jangan pernah bermimpi bahwa arsip Nippon atau dokumen Sekutu tentang Perang Dunia II mencatat soal  tragedi pengeboman di Aekana-Nangaroro. 

Tragedi Aekana  itu begitu ‘sepi’ - konon korban yang tewas  dalam tragedi ini lebih dari tiga orang,-- kisahnya hanya dapat dituturkan dengan suara terbata-bata diringi linangan air mata, oleh mereka yang telah kehilangan orang kesayangan secara tak terduga.  Dan, kalau benar korbannya lebih dari tiga orang,  tragedi ini seakan mengaskan realita bahwa dunia kita memang dihuni oleh lebih banyak manusia yang ‘tidak bersuara’, atau ‘bersuara tapi suaranya tak pernah diperhitungkan’.

Namun, realita demikian tak perlu terlalu disesali.  Sebab,  dalam kerangka pikir sosiolog Inggris, Susie Scott, “voiceless” (“tanpa suara”)  atau ‘nothing’  (tak diperhitungkan)  justru akan  membentuk struktur sosial baru yang membuka peluang bagi lahirnya gerakan baru untuk membangun identitas sosial dan memperbaiki relasi yang semakin manusiawi.

Memang,  karena berbagai alasan, ‘sejarah lisan’ itu  sering ’cacat' karena tidak runut dan banyak ‘bolong’nya,. Akan tetapi  narasi yang tidak lengkap itu selalu tetap hidup dalam ingatan keluarga, dan cerita kaum kerabat. 

Bahkan, narasi kelam itu ibarat darah yang terus mengalirkan  ‘racun traumatis’ ke dalam tubuh dan jiwa  dari anggotaa keluarga, tak terkecuali   anak-anak, para cucu dan cicit dan generasi lebih muda yang hidup pada masa jauh sesudahnya.

Tak heran, saat berlibur di Aekana-Nangaroro,  kepada penulis Om Jacob Sajo, suami Tanta Marta Te (keduanya sudah almarhum) --salah saksi mata peristiwa pengeboman --, berulang kali menuturkan:  “sampai pada usia tua begini (tahun 2024: berusian 90 tahun), saya masih ingat dengan jelas kejadian yang mengerikan itu.”

“Soalnya, pas kejadian (sekitar awal tahun 1945) saya sudah cukup besar, sekitar 8 tahun. Hari itu entah apa yang mendorong saya, saya  merengek minta  untuk ikut bersama bapa dan orang Pauwua lainnya ke kebun kapas di Aekana-Nangaroro. Jadi, bayangan tentang peristiwa bom itu melekat betul di ingatan saya,”  ujar Yacob dengan wajah sedih.

“Makanya”, katanya lebih lanjut,  “sampai sekarang (April 2024, red), ketika mendengar gemuruh pesawat melintas di udara, telinga saya seakan mendengar kembali suara gemuruh tiga pesawat Sekutu itu.”

“Kadang kala saya sampai membayangkan kembali bunyi ledakan keras dari bom yang menghujam jembatan dan sekitar. Bahkan, saya sampai mencium (mengendus, red) kembali bau mesiu dan aroma darah segar dari Mame (Om) Ma’u, dua kerabatnya yang lain.” 

“Sampai saat ini, masih jelas terngiang di telinga saya  tangisan  pilu No’o (Tanta) Sovi (Sovia Sea, istri alm. Fransiskus Ma’u). (Saya) masih terbayang  teriakan histeris kaum kerabat di Pauwua, saat mendapat kabar bahwa Meo,  Siga, dan Ma’u, telah meninggal dunia akibat bom Sekutu

Ma’u, Ma’u, Ma’u e. Kau ta tau sada apa Ma’u e. Ata tau re’e kau bhida te, Ma’u oe, lenda ate kami, kau di’a Wuda ana ma mona mbe’o ko apa”. (Ma’u, Ma’u, Maue, apakah dosamu, sehingga mereka (pengembom) tega menghabisi engkau. Ma’u, kepergianmu menyayat hati kami semua. Mengapa kau tega tinggalkan anakmu Wuda yang belum tahu apa-apa (masih ingusan)?

Mendengar kisah pilu itu, penulis hanya tertegun: diam bercampur kesal. 

‘Bagian Tersembunyi’ dari Pusaran Peran Pasifik

Penulis kemudian termenung dan menyadari bahwa sekali pun tidak ada dalam catatan sejarah,  Bom Aekana adalah salah titik kecil dalam pusaran Perang Asia Pasifik,  bagian dari Perang Dunia II. 

Walau pun menjadi bagian yang ‘tersembunyi’  dalam narasi sejarah,  tragedi Bom Aekana  meninggalkan trauma berkepanjangan.  Pasalnya, tragedi itu telah merampas hak penulis, saudara-saudarinya, anak-anak mereka dan generasi berikutnya untuk  mengenali raut wajah dan mengalami sentuhan kasih sayang, Kakek Fransikus Ma'u.  Sialan!

Nah, apabila perang selalu berdampak tragis dan membawa kesialan demikian,  lalu mengapa hari-hari ini ada begitu banyak netizen  yang gemar menyuarakan dukungan, pujian dan memberi emoji jempol kepada salah satu pihak atau negara yang aktif sebagai kombatan dalam Peran Ukraina dan Perang Gaza?.  Mengapa? 

(Maxi Ali, dari berbagai sumber). Tamat***