KEHIDUPAN
Kamis, 29 April 2021 14:57 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Gerald Bibang*
"Kami hanyalah bungkus-bungkus kosong berserakan
batang-batang rokoknya entah ke mana…
pasti berceceran tak karu-karuan di ruang hampa udara
tapi adalah SABDA yang menentukan nilai batangan-batangan itu
untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan dalam lumeran waktu."
Sengaja frase bungkus rokok kosong saya sebutkan di sini. Adalah doaku bagi Pater Yos sekaligus mohon izin untuk suatu hari nanti, saya dapat dengan telaten menikmati puisi kehidupannya.
Dari Pater Yos, saya belajar tentang sebungkos rokok kosong. Ialah kehidupan dengan menjadi tidak sebagai apa dan siapa-siapa. Yah, dengan menjadi ‘tiada’ dan ‘kosong’, hanya memberi dan memberi dari apa yang ada pada dirinya.
Inilah keindahan sejati itu, bukan? Coba lihat! Diri dan segala sesuatu yang seseorang punyai di dunia adalah pem-beri-an. Maka, hidup ini sederhana saja sebenarnya: mem-beri. Indahnya ialah dengan memberi dan memberi, seseorang justru tidak kehilangan suatu apa.
Bukankah kehidupan semacam ini adalah sebuah puisi kehidupan? Senyata-nyatanya memang kehidupan ini sendiri adalah puisi. Semua ciptaan Allah adalah puisi. Adalah poetika. Adalah inti keindahan. Bahkan seluruh isi Kitab Suci adalah puisi.
Pater Yos adalah manusia puisi. Manusia hati. Bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri. Istilah favorit yang digunakannya ialah gelas kosong dari perikop khotbah di bukit.
Dalam perjalanan waktu dan pengalaman bersamanya, saya akhirnya paham bahwa dia menterjemahkan gelas kosong itu dengan frase ‘ buat sebaik-baiknya,’ atau ‘ kejar tinggi-tinggi untuk apa e’ dan di bagian lain, nyinyir: “kau mau kejar apa, macam kau punya kaki tidak injak dunia saja.”
Di tahun-tahun itu, saya hanya membathinkan frase-frase ini. Saya ini bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapakah orang baik hati itu, baru nama Pater Yos yang saya sebut dengan lancar sebagai salah satu dari beberapa.
Puluhan tahun saya berkeliling berjumpa dengan ribuan, mungkin jutaan orang, di Indonesia maupun di Jerman dan Belanda. Rata-rata mereka, termasuk saya tentu saja, adalah orang yang riuh rendah mengejar dunia. Di mana-mana ribut curhat tentang dunia, tentang nama, kedudukan, kesuksesan dan kekayaan, sekaligus saling menumpahkan kebingungan dan rasa tertekan oleh keadaan dunia yang menindas.
Sebuah peradaban baru sedang menggilas mereka, termasuk saya, yang menyebut diri sebagai manusia-manusia modern. Yaitu peradaban yang menyangka dunia adalah surga dan bahwa dengan merebut dunia berarti sekaligus merebut surga.
Dari semua ini, kecuali Pater Yos, salah satu dari beberapa nama yang tidak tergilas. Dia bahagia dalam kekosongan dan ‘ketiadaan’nya di Jawa Timur. (BERSAMBUNG.....)
*Gerald Bibang, adalah alumnus STFK Ledalero, Maumere, tinggal di Jakarta.
5 bulan yang lalu