flores
Kamis, 01 April 2021 14:02 WIB
Penulis:redaksi
Gambar kapal niaga Portugis dan kapal niaga VOC, Belanda. (Sumber: historia.id)
Dapatkah agama berkembang tanpa kekuasaan politik dan ekonomi?'' Entahlah! Yang jelas, agama dari 'sono'-nya memang selalu berkelindan dengan soal poitik dan ekonomi.
Sejarah mencantat, semenjak 1613, Portugis dan Belanda saling bersaing memperebutkan pengaruhnya di wilayah Nusa Tenggara Timur yang kaya akan komoditas kayu cendana. Selama kurun itu, misionaris Portugis melakukan penyebaran agama Katolik di wilayah itu, dan Zending Belanda memaklumkan Protestanisme. Belakangan Kerajaan Larantuka (Topas)dan sekutunya di Pulau Timor ikut pula bersaing dengan Portugis dan Belanda.
Ketika misionaris Portugis terkungkung dalam arena perebutan kekuasaan politik dan ekonomi yang dilakukan Portugis, Belanda dan Kerajaan Larantuka, umat Katolik Larantuka dan sekitarnya terlantar. Mereka hanya bertahan karena devosi kepada Tuan Ma, Bunda Yesus Kristus, sang Juru Selamat!
Persaingan Portugis Vs Belanda atas wilayah di Flores bagian timur
Sejarawan Didik Pradjoko dalam disertasinya berjudul “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonoal Belanda: Dinamika Politik Lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor, dan Timor Barat 1851-1915,” menulis antara lain demikian:
“Persaingan politik dan perdagangan mulai muncul karena VOC juga berminat dalam perdangan kayu cendana di Timor. Dalam upaya membendung pengaruh VOC tersebut, Portugis bersekutu dengan Kerajaan Larantuka.
Larantuka yang Bersekutu dengan Portugis
Selama abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18, orang Portugis bersekutu dengan Kerajaan Larantuka di Flores bagian timur dan orang-orang Demon di Adonara. Kekuatan Portugis menjadi kuat dengan berkembangnya kaum Topas. Kaum Topas adalah warga lokal keturunan Portugis dan campuran penduduk Malaka. Orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam, yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka.
Perseturan antara Portugis dan sekutunya Kerajaan Larantuka dengan VOC Belanda yang kemudian bersekutu dengan kerajaan Muslim Lima Pantai yang dikenal dengan sebutan dengan ‘Orang Paji’ bermula dari provokasi VOC Belanda yang ingin mengambil alih monopoli perdagagngan cendana dan barang komditas lainnya dari orang Portugis yang bermarkas di di benteng “Henricus XVII”. Pada 1613, VOC Belanda dan dibantu sekutunya orang Paji dan padagang Muslim dari Bugis berhasil merebut benteng ‘Henricus XVII’ di Solor.
Pada 1648, terjadi gempa bumi dasyat melanda Solor dan wilayah sekitarnya. Kehancuran akibat gempa itu disaksikan sendiri oleh Major Willem van der Beek dan awak kapal “den Wolff” yang berlabuh aman di selat Solor.
Dari atas geladak kapal mereka bisa melihat dinding benteng Fort Hendricus roboh rata dengan tanah. Dinding besar itu tercerabut ke luar dari atas tanah. Meriam-meriam terlempar dari dinding bastionnya. Dalam gempa tersebut empat orang Belanda terbunuh termasuk anak dari komandan benteng Hendrik ter Horst dan sembilan lainnya terluka. Guncangan gempa berlangsung sampai beberapa hari sehingga usaha perbaikan yang dilakukan menjadi sia-sia. Gempa besar ini membuat VOC kemudian menarik diri dari Solor.
Kerajaan Larantuka Merasa Tidak Di Bawah Portugis
Mulai awal abad ke-17, pemimpin orang-orang Larantuka dipegang oleh dua keluarga yang terkenal di sana. Pertama, keluarga da Costa yang berasal dari keturunan orang-orang Portugis dan bangsawan dari Timor. Kedua, keluarga da Hornay, keturunan Jan de Hornay bekas komandan VOC di Benteng ‘Hendricus XVII yang membelot ke Larantuka.
Selama hampir dua abad kedua keluarga ini bertarung untuk memperebutkan kekuasaannya di Flores dan sekitarnya. Mereka saling menyerang, merampok dan membunuh untuk mendapatkan kekuasaannya, sampai tahun 1750 ketika mereka sepakat untuk menjalankan sistem kekuasaan yang bergilir. Selain itu desa-desa kristen yang sudah berkembang menjadi kekuatan lokal membentuk aliansi Lima Panti (lima pemukiman), yang terdiri atas Adonara, Lamahal dan Terong di Pulau Adonara dan Lawayong dan Lamakera di Pulau Solor. Mereka juga bekerjasama dengan penguasa Larantuka untuk menghadapi kekuatan orang-orang Islam yang juga dianut oleh penduduk di daerah pedalaman.
Buku “Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia” yang disunting Endjat Djaenuderadjat (2013:257-268) mengungkapkan antara lain bahwa meskipun pengaruh Kekatolikan dan kebudayaan Portugis cukup kuat dalam masyarakat Larantuqueiros (Larantuka) dan di wilayah sekitarnya, Raja Larantuka sendiri tidak merasa dikuasai oleh pemerintah Portugal. Raja Larantuka beranggapan bahwa Kerajaan Larantuka adalah sebuah kekuatan yang merdeka dan berdiri sendiri.
Anggapan itu didukung oleh fakta bahwa selama abad ke-17 dan 18, hanya ada dua kapal angkut Portugis yang berlayar dari Goa (India) ke Larantuka, dan tidak ada seorangpun wakil resmi kerajaan Portugal yang berkunjung ke Larantuka selama periode tersebut.
Pada akhir abad ke-17, pemimpin Larantuka mulai melihat bahwa perdagangan kayu cendana asal Timor sangat menguntungkan sehingga mereka juga ingin terlibat dalam penguasaan perdagangan kayu cendana. Dengan menggunakan kekuatan angkatan perangnya, pemimpin Larantuka ingin menguasai daerah perdagangan kayu cendana di tempat asalnya, Timor.
Pada 1640, Raja Larantuka mengirim satu patroli untuk menduduki wilayah Lifau, yang terletak di pantai utara Timor. Daerah Lifau dikenal dengan wilayah yang kaya dengan hutan kayu cendana. Dengan menggunakan perahu mereka menyusuri sungai menuju ke hutan kayu cendana. Lingkungan alam berupa pegunungan yang tinggi melindungi mereka dari serangan suku-suku pedalaman Timor.
Keluarga da Hornay dan da Costa menggunakan pasukan bersenjatanya untuk memaksa para Liurai (raja setempat) untuk bernegosiasi. Namun tak jarang serangan bersenjata yang mematikan dengan menggunakan musket (senapan) dilakukan oleh orang Topas untuk menguasai perdagangan kayu cendana.
Sekitar tahun 1675, Antonio da Hornay, anak dari Jan de Hornay, menobatkan dirinya sebagai raja tanpa mahkota dari Timor (Uncrowed King of Timor). Soalnya dia mempunyai kekuasaan untuk mengatur lalu-lintas perdagangan kayu cendana, berupa kekuatan untuk menaikkan harga dan bahkan melarang penjualan kayu cendana kepada para pedagang asing.
Perluasan kekuatan Larantuka di Timor terjadi karena perkawinan Antonia da Hornay dengan anak perempuan Raja Ambeno di Timor (Barnes 1996, 230 dan Daus 1989, 50).
Topas Memerangi VOC Belanda dan Berbalik Melawan Portugis
Aliansi antara Kerajaan Larantuka dan Kerajaan Ambeno di Timor menghasilkan kekuatan yang besar sehingga mampu menduduki wilayah Oikussi dan Lifao. Sementara itu, VOC Belanda yang terus mengincar Kawasan Nusa Tenggara bagian timur terus melakukan provokasi. Kemudian VOC Belanda akhirnya behrasil menaklukkan Kupang di ujung selatan Pulau Timor tahun 1653.
Setelah penaklukkan VOC membangun benteng (Fort) Concordia sebagai pusat basis pertahanan, politik dan ekonomi di Pulau Timor, VOC Belanda berupaya untuk memperluas wilayahnya di Timor. Pada 1655, Jacob van der Hijden, komandan yang membawahi Solor dan Timor memimpin pasukannya dibantu oleh orang-orang Solor untuk menaklukkan kerajaan Sonbai di Timor.
Banyak bangsawan Solor dan serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan tersebut, termasuk van der Hijden sendiri yang tewas ditusuk pedang oleh Antonio da Hornay pemimpin Kerajaan Larantuka yang berbasi di Oikussi dan Lifao. (Barnes 1996:231)
Di pihak lain Portugal juga merasa bahwa ekspansi Larantuka ke Timor dilakukan bukan atas nama Portugis, sehingga Gubernur Makao mengirim Antonio Coelho Guerreiro dengan seratus prajurit untuk membuka basis di Timor. Merasa ditelikungi Portugis, Kerajaan Larantuka yang sudah berambis mengusasi perdagangan cendana di Kawasan itu semakin memusuhi Portugis. Maknya, ketika Guirrero dan pasukannnya mencoab singgah di Larantuka, Raja Larantuka, Domingos da Costa langsung mengusirnya.
Pada 1702, Guerreiro bersama pasukannya akhirnya mendarat di Lifau, Timor. Di Lifau, dia bersama pasukannya membangun dengan susah payah benteng dari tanah lumpur, sampai akhirnya berdirilah sebuah kota kecil.
Raja Larantuka menganggap bahwa kedudukan Portugis di Timor adalah tindakan penyusupan atas wilayahnya, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Pasukan Larantuka dari kalangan Portugis Hitam (Topas) kemudian mengepung benteng Lifau selama dua tahun. Akibatnya, banyak pasukan Portugis yang mati kelaparan akibat pengepungan tersebut. Pengepungan ini juga disebabkan karena kebijakan Gubernur Portugis di Laifau yang menyatakan semua kerajaan di sekitar Lifau berada dibawah kekuasaan Gubernur. Sehingga Raja Oikussi, Domingos da Costa, memimpin penyerbuan di bantu oleh orang-orang Belanda dan penduduk Oikussi terhadap benteng Portugis, Guerreiro akhirnya menyerah kalah kepada pasukan Topas tahun 1704 (Daus 1989, 51-52).
Pada sisi lain, Topas terus melakukan perlawanan dengan VOC, Belanda. Perseteruan antara Topas dan Belanda mencapai puncaknya pada Perang Penfui -dekat benteng Belanda di Kupang- pada 1749. Dalam perang, pasukan Topas Larantuka dan sekutunya dari Lifao dan Oikussi serta Noimuti berusaha mengusir Belanda dari Kupang.
Pada 1758 pasukan Belanda dipimpin oleh Pluskow mengadakan kerjasama dengan orang-orang Atoni menyerang dan mengalahkan pasukan Larantuka (Topas) di Noimuti. Namun usaha perluasan kekuasaan Belanda ini terhenti pada tahun 1764 karena serangan pasukan Topas dari Lifau, dan berhasil mengalahkan pasukan Belanda termasuk komandannya Pluskow ikut terbunuh.
Dengan begitu posisi Kerajaan Larantuka beserta bawahannya dan sekutunya di Timor, menjadi kekuatan dominan. Sementara, Belanda yang hanya berhasil menguasai kemudian meninggalkannya Solor untuk sementara waktu.
Sementara itu, posisi Portugis semakin terdesak, karena pasukan Topas dari Kerajaan Larantuka yang sebelumnya bersekutu dengannya sudah benar-benar berbalik arah. Pasukan Topas melancarkan beberapa kali serangangan terhadap Portugis.
Kejadian yang cukup penting dicatat adalah kekalahan pasukan Portugis di Lifau melawan serangan pasukan Larantuka (Topas) yang mengepung benteng Lifau selama dua tahun. Pada Agustus 1769, Jendral Jose Telles de Menezes dan pasukannya terpaksa meninggalkan Lifau dan mencari tempat yang baru bagi pasukannya. Dengan dua buah kapal besar, Vicente dan Santa Rosa dan kapal-kapal kecil penguasa Lifau dan robongannya bergerak ke arah timur, sampai di Batugede, wilayah ini berbatasan dengan Atapupu yang dikuasai Belanda. di daerah Batugede, armada ini mendarat untuk persiapan perjalanan selanjutnya.
Pelayaran dilanjutkan ke Vemasse, sebuah kerajaan besar, pusat kegiatan missi Katholik, namun karena wilayah ini tidak memiliki teluk dan mudah diserang musuh, armada bergerak lagi lebih ke timur. Sesampainya di Kerajaan Mota Ain Dili, armada berhenti dan diputuskan untuk menjadikan Dili sebagai pusat pemerintahan Portugal di Timor.
Meskipun wilayah Dili merupakan tempat yang kurang menarik, tanahnya berawa-rawa penuh dengan nyamuk penyebar malaria dan demam kuning. Namun tempat ini dirasakan cukup aman dari serangan pasukan Larantuka karena terletak jauh di pantai utara bagian timur.
Memasuki abad ke-19 kekuatan Portugis terus melemah. Mereka hanya berkutat di wilayah Dili dan sekitarnya. Sementara itu kekuatan seterunya, yakni VOC Belanda yang sepenuhnya menjadi Pemerintah Belanda semenjak VOC bangkrut pada 31 Desember 1799, menjadi semakin perkasa. Pemerintah Hindai Belanda secara ekspansif melakukan pasifikasi di daratan Timor Barat dan juga kawsaan Flores dengan menaklukkan Ende pada 1838 dan melakukan serangan ke Larantuka pada 1839.
Meskipun Portugal tidak menguasai secara politik daerah Nusa Tenggara bagian timur, namun Gubernur Jenderal Portugis di Dili, Lopes de Lima menawarkan pengalihan kekuasaan atas beberapa wilayah di Nusa Tenggara bagian timur kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia, pada 1854. Penawaran transfer kekuasaan atas wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Larantuka di Timor barat, Flores, Adonara, Solor, Lomblen, Pantar, dan Alor oleh pemerintah Portugis di Dili kepada pemerintah Belanda dengan pembayaran 200.000 guilders, dimaksudkan antara lain agar pemerintah Hindia Belanda mau mengambil alih kekuasaan orang-orang Topas (Larantuqueiros) atas wilayah tersebut.
Tawaran ini dengan segera disambut oleh pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan konsolidasi teritorinya di seluruh wilayah Nusantara. Kemudian pemerintah di Batavia memberikan pembayaran pertama sebanyak 80.000 guilders tunai kepada Gubernur Portugis di Dili. Kesepakatan antara Dili dan Batavia ini ternyata tidak diketahui oleh pemerintah Portugis di Lisbon, dan menimbulkan protes dari pemerintah pusat Portugis di Lisabo (Lisboa).
Namun akhirnya perjanjian pengalihan kekuasaan ini diratifikasi pada tahun 20 April 1859 di Lisabon, ibukota Portugis. Dalam perjanjian tersebut Raja Pedro V dari Portugal diwakili oleh António Maria de Fontes Pereira de Melo, dan Raja William III dari Belanda diwakili oleh Chargé d'affaires Maurits Jan Heldewier.
Umat Katolik yang terlantar
Selama konflik segitiga Portugis – VOC, Belanda dan Kerajaan Larantuka (Topas) berkecamuk, kegiatan pelayanan misi di Larantuka cukup terganggu. Para misionaris Portugis umumnya membiarkan umat menjalani Kekatolikan apa adanya, memadukan tradisi Katolik Potugis dan adat lokal.
Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink dalam buku mereka yang berjudul 'A History of Christianity' (2008) Para Padri Portugis tidak membiasakaan umat merayakana misa pada hari Minggi, termasuk perayaan Natal dan Paskah. Umat juga tidak diperkenalkan soal Sakramen Perkawinan, sehingga banyak umat mengukuhkan perkawinan secara adat. Praktik poligami marak terjadi, termasuk raja Larantuka memiliki beberapa istri. Tradisi yang hidup waktu itu adalah berdoa rosario dan penghormatan kepada Tuan Ma, dengan pelopornya adalah komunitas “Confreria da Rosario" (Persaudaraan Rosario).
Ketika orang Portugis hengkang ke wilayah Timor bagian timur, para Padri Katolik hampir tak punya akses ke Larantuka. Konon, hanya sesekali dalam waktu yang lama para Padri dari Dili mengungunjungi umat Katolik di Larantuka dan sekitarnya.
Kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Portugal merupakan dasar dan jaminan bagi Gereja katolik untuk mengambil langkah baru dalam karya misi di kepulauan Solor. Sambil menanti ratifikasi parlemen Belanda atas Perjanjian Lisabon, 20 April 1859, pemerintah Hindia Belanda mulai berpikir untuk memberikan prioritas bagi Flores dan mengambil langkah yakni mengangkat seorang imam katolik untuk Larantuka.
Pada 12 September 1859, Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Petrus Maria Vrancken,Pr menerima surat dari sekretaris pemerintah Hindia Belanda yang isinya meminta agar seorang imam dikirim ke Larantuka. Pada akhir Desember 1859, umat katolik di seluruh stasi Larantuka berjumlah kira-kira 10.000 orang.
Peluang ini dimanfaatkan oleh Mgr. Vrancken sehingga pada Mei 1860 ia mengangkat dan mengutus imam projo Johanes Petrus Nikolaus Sander menjadi pastor untuk Larantuka. Namun, karena beratnya medan misi dan kondisi kesehatan yang buruk, Pastor Sanders meninggalkan Flores pada 16 Agustus 1861. Ia kemudian digantikan oleh imam projo, Caspar Joanes Hubertus Fransen.
Pastor Fransen rupanya mampu mengambil hati umat dan keluarga kerajaan Larantuka yakni Raja Don Gaspar dan adiknya Don Minggo. Oleh karena itu dia bisa membangun sebuah kapela di Posto dan sebuah sekolah katolik.
Pastor Fransen juga merintis cara penguburan orang mati secara Katolik bagi umat di wilayah itu. Namun Pastor Fransen juga tak bisa bertahan lama. Oleh karena kondisi kesehatannya yang terus memburuk, pada Oktober 1683 Pastor Fransen harus kembali ke Jawa. Ia kemduaian digantikan oleh P. Gregorius Metz, SJ. *** (Maxi Ali, dari berbagai sumber). Bersambung.