Opini
Sabtu, 04 Desember 2021 13:54 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
AIR MATA seorang rakyat jelata merembes. Biasa biasa saja. Sangat manusiawi. Tetapi ketika menetes menembus pori-pori tanah di halaman Kantor DPRD Manggarai Timur, Jumat, 3 November 2021 membersitkan selaksa tanya. Ada apa? Seberkas heran pasti mengetuk pintu hati kita.
Tak kuasa menahan. Meski panas sedang menggigit. Menusuk ubun ubun. Air mata seorang bapak itu terus menetes. Suaranya serak. Seraut wajah berselimut luka melebur dalam bulir bulir air matanya.
Sesekali menengadah ke langit. Dia terus mencucurkan luka nana yang sedang melilit hidup dan keluarganya akibat pelebaran lintasan jalan Mano-Bajar, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. Borok borok luka itulah mendesak butir bening itu harus mengalir dari kelopak matanya.
Dialah Daniel Ahing (70). Seorang warga setempat yang mengalami langsung dampak ikutan akibat proyek jalan itu. Ahing datang bersama sang istri, Fihelmina Guner (70). Pasutri lansia ini mendaraskan nestapa rasa yang kian menyiksa raga.
Duka mereka bukan sesaat tetapi menjadi mazmur lara yang terpaksa “dikidungdaraskan” larik demi larik. Betapa tidak. Dapur yang menjadi tempat perjumpaan urusan perut terancam rubuh. Sebab bekas sungkur-garuk alat berat pelebaran jalan itu menjangkau titik tiris hujan. Semakin mengkhwatirkan menyusul hujan dan longsor.
Sudah lama derita itu ia pikul bersama keluarga. Sudah lama pula ia sampaikan ke pihak yang bertanggung jawab atas junjungan hidup yang tak terduga itu. Tetapi apesnya pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan jalan itu, tak sudi “menoleh.” Tak segera sadar untuk “menjamah.”
Yang terjadi, malah detak keberpihakan semakin jauh, hilang bersama titik titik hujan menembus bumi dan material longsor “menggunung” di badan jalan. Sementara ancaman bangunan itu bakal rubuh tinggal menghitung hari. Cepat atau lambat “tragedi kemanusiaan” keluarga itu menjadi keharusan.
Apalagi intesitas hujan kian deras. Di saat itulah pikiran galau terasa tersiksa. Antara bertahan di rumah dan menghindar, menjadi dua sisi hidup yang dilematis. Sebab meninggalkan rumah itu tempat berteduh. Merawat harap dan mengais napas. Menyambung nyawa. Dan, pilihan hijrah sejenak menjadi “oase” keterpaksaan yang harus.
Sebab dinding rasanya, kian mengelupas di saat ancaman seolah-olah menjadi takdir. Bertahan lama di rumah kerabat juga menjadi beban baru yang kian menyiksa.
Bagaimanapun kenyamanan dan dinamika ciptaan keluarga menjadi romantika yang harus tetap dirawatmesra.
Sejauh ini, dinding dinding bekas garukan alat berat selalu tumpahkan beban muatannya. Bila malam kian rapat ke puncak menjadi ganjalan keluarga yang mengarah putus asa. Dan seutas doa menjadi sandaran agar hati hati para pejabat tergerak dan tangan tangan pengambil kebijakan terulur.
Lantaran taka da tanda-tanda yang menyelamatkan itulah, Daniel Ahing (75) dan Fihelmina Guner (70), bersama Aliansi Masyarakat Peduli Lamba Leda Selatan mendatangi Kantor DPRD Manggarai Timur, Jumat, 3 Desember 2021.
Aliansi dan pasutri ini menumpahkan duka lara yang kian menganga. Seraya mengharapkan sebait rasa agar penderitaan yang terus dipikulnya itu bisa ditanggalkan. Dapur rumah yang mengakrabkan raga keluarganya bisa diselamatkan.
Sebelum merapat ke lembaga Dewan mereka mendatangi Kantor Bupati Manggarai Timur. Sayangnya di “rumah gendang” bersama itu tidak ada respon. Semua beku. Membisu. Curiga. Sementara pemegang “landuk” rumah gendang itu tidak ada di tempat. Sedang keluar kota.
Mereka akhirnya tinggalkan kantor itu seraya menenteng kecewa. Mereka kesal karena tidak ada satu pun pejabat di kantor itu yang sudi dengar keluh kesah rakyat jelata dari Lamba Leda Selatan itu.
Tangis luka dan beban pikul yang menggorok itu terasa makin berat. Pasrah. Dan di hadapan Wakil Ketua DPRD Manggarai Timur, Dami Damu, Nadus Nuel dan dua anggota Dewan asal Poco Ranaka pasutri itu menarasikan penuh pasrah. Sebab anggota DPRD asal Poco Ranaka tak sudih datang “melayat” nestapa nestapa yang mereka rasakan.
Sementara pernyataan sikap Aliansi Masyarakat Peduli Lamba Leda Selatan mendesak agar kegiatan pelebaran jalan yang menyebarkan warga terisolir segera diatasi. Jangan pakai lama. Secepat dan sesegera mungkin.
Dan dalam peluh yang sesak dan rasa bersalah, Wakil Ketua I DPRD Manggarai Timur, Nadus Nuel, menangkap dengan batin bergetar. Air matanya menjadi sahutan yang menyertakan tanggung jawab moral yang besar.
Karena itu, terhadap luka siksa yang menghambat harapan warga setempat akan disikapi. Tim teknis segera turun lokasi. Memastikan titik titik rawan paling berat untuk diatasi. Temasuk tebing jalan yang “melancarkan” ancaman akan rubuhnya rumah Daniel Ahing dan Fihelmina Guner.
Semoga janji manis itu tidak sekadar hiburan agar air mata yang telah menetes di relung-relung sukma segera kering. Tetapi peradaban tanggung jawab terhadap rakyatnya. Semoga. (*)
*Penulis adalah pegiat literasi, menulis buku ‘Surat Surat Jelata’
2 tahun yang lalu