Pastor
Sabtu, 08 Mei 2021 11:08 WIB
Penulis:redaksi
Oleh P. Charles Beraf SVD*
SAYA harus menambahkan dalam tanda kurung refleksi, agar tidak secara serampangan, tulisan ini dimengerti sebagai straight news seturut hukum-hukum jurnalistik atau sebagai omongan lepas tanpa pendalaman investigatif.
Secara serampangan- hal ini tidak hanya datang dari orang yang awam dengan dunia tulis menulis atau dunia jurnalistik, tetapi malah bisa datang dari orang -orang yang (katanya) adalah pegiat media (pegiat KOMSOS, jurnalis dan sebagainya) atau orang-orang yang (katanya) adalah pegiat pendidikan (bapa ibu dosen, peneliti dan sebagainya).
Tetapi ya sudahlah... akhirnya dengan prinsip "quidquid recipitur ad modum recipientis recipitur atau dengan prinsip cognitum est in cognoscenti secundum modum cognoscentis, ' saya memahami bahwa air yang mengalir deras dari pegunungan sekalipun, tidak selalu bisa dimanfaatkan dengan tepat, malah bisa dibiarkan berlalu hingga ke laut.
Atau bisa diungkapkan secara berbeda: sekilau apapun mutiara, tetapi ia kalau jatuh di mulut babi, sia-sia sajalah mutiara itu.
Kalau sampai mutiara tertelan babi atau kalau sampai air berlalu terus ke laut, maka apa boleh buat. Saya mungkin hanya bisa mengurut dada dan mengatakan: memang tak semua manusia punya kualitas mumpuni!
Kembali ke soal rekening pribadi pastor dalam atau untuk urusan bencana.
Yang terjadi di Lembata dan Adonara bukan hanya bencana alam bernama badai SEROJA, tetapi juga bencana kemanusiaan, humanitarian disaster.
Kalau itu bencana kemanusiaan, maka ia terkait dengan kompleksitas hidup manusia. Kalau bencana itu terkait dengan kompleksitas hidup manusia, maka ia tak bisa cuma dilihat sebagai peristiwa, tetapi terutama sebagai proses.
“A disaster is not only an event, but a process that combines a potentially destructive agent [hazard] from the natural, modified, or built environment and a population in a socially or economically produced condition of vulnerability, resulting in a perceived disruption of the customary relative satisfactions of individual and social needs for physical survival, social order, and meaning”(Erikson 1976; Gill 2007).
Kalau bencana itu proses, maka tidak hanya dibutuhkan emergency response, tetapi dituntut juga proses yang didukung dengan sangat kuat tanggung jawab.
Seperti apa tanggung jawab itu?
Dalam urusan keuangan atau katakan saja dana bantuan bencana, tanggung jawab itu terwujud dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas itu adalah prinsip dalam ETIKA yang berkenaan dengan kemampuan menjelaskan keputusan yang diambil dan aktivitas yang dilakukan. Atau secara sederhana bisa dikatakan bahwa akuntabilitas berkenaan dengan hal membuat laporan kegiatan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau organisasi.
Etiskah kalau misalnya anda diminta oleh lembaga donatur untuk mengirimkan bukti penerimaan sejumlah dana dan laporan penggunaan dana, anda marah-marah, malah bentak - bentak: Kamu tidak percaya kami kah?
Selain akuntabilitas, ada yang namanya transparansi. Transparansi itu prinsip keterbukaan dan kejujuran.
Kenapa terbuka dan jujur?
Dalam soal dana bantuan, urusannya terkait dengan banyak pihak (korban, anda sebagai penyalur bantuan, dan terutama pihak lain yang memberikan donasi). Pihak pihak ini punya hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh pertanggunggjawaban atas dana yang dipercayakan.
Kalau anda sebagai penyalur dana bantuan menerima sejumlah dana dari lembaga donator, lalu anda diam-diam saja, anda sesungguhnya sedang memberangus hak orang untuk mengetahui, terutama hak lembaga donatur.
Etiskah ini?
Kalau dana untuk korban erupsi Ile Lewotolok diterima setahun lalu, lalu baru ketika badai Seroja datang pada tahun ini, dana itu diketahui (karena ditanya dalam kesempatan zoom meeting misalnya) masih tersimpan di rekening, apakah ini etis?
Bukankah anda sedang memberangus hak orang?
Dua hal ini, akuntabilitas dan transparansi juga digencarkan oleh pemerintah akhir-akhir ini. Dalam peraturan pemerintah No.71 tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintahan, akuntabilitas dan transparansi amat ditekankan.
Malah, untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi, amat tidak dibenarkan atau amat tidak etis, kalau untuk urusan sosial atau umum, misalnya menangani korban bencana, dananya masuk ke rekening pribadi. Kenapa?
Bagaimana bisa hal itu dijamin akuntabel dan transparan kalau dalam proses ini sudah bersinggungan dengan hal yang pribadi? Bagaimana untuk yang sosial (dana) disambung melalui yang sebenarnya sangat pribadi (rekening pribadi)?
Ya..hal terakhir ini bisa bisa saja tetapi sekali lagi sejauh mana itu dijamin akuntabel dan transparan?
Sampai di sini kita mesti memahami mengapa misalnya meski kelihatan sederhana, pada saat penyerahan bantuan saja, orang mesti foto-foto, ya bukan untuk pencitraan, bukan hanya untuk dokumentasi, tetapi terutama untuk kepentingan pertanggungjawaban.
Saya suka dengan contoh yang dibuat Romo Aster dari Nagekeo. Dia berpesan, "moment penyerahan dana bantuan dari Yasukna untuk korban bencana di Adonara dan Lembata, difoto, ya sekali lagi untuk kepentingan pertanggungjawaban, ya demi transparansi dan akuntabilitas.'
Lalu bagaimana dengan seorang pastor yang menggunakan rekening pribadinya untuk menggalang dana bantuan?
Transparansi dan akuntabilitas adalah urusan urusan professional. Panggilan untuk terlibat dengan korban bencana adalah vokasional. Menyambungkan dua hal ini, professional dan vokasional amat bisa.
Sederhananya begini: melalui rekening lembaga resmi yang dimiliki gereja, dana itu digalang (professional) untuk mewujudkan yang vokasional (terlibat dengan korban).
Lalu penggunaan dana untuk korban itu dilaporkan (professional), agar kepercayaan atas pastor untuk urusan dana itu bisa terbangun, tidak ambruk gara gara segepok (vokasional).
Kenapa dua hal ini perlu disambungkan bagi seorang pastor?
1 Timotius 6: 10 berujar: 'Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang.
Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka."
Ya, tentu saja Roh membantu pastor denganhembusan Kasih dan Kebijaksanaan yang sangat kuat dan kencang sekali, mungkin sekuat dan sekencang SEROJA, tetapi daging pastor itu amat LEMAH.
Nah, pengaruh daging dan roh itu bisa sama-sama kuat, dan untuk membedakannya memang bukan perkara gampang.
Refleksi ini (bukan straight news) mudah-mudahan tidak ditanggapi secara serampangan. Kalau pun dimengerti secara serampangan, saya toh tetap mengganggap keserampangan itu seperti lalat kuda yang sedikit pun tidak mengganggu kuda yang sedang merumput di tanah lapang.
Salam dari Padang Rumput Detukeli.
*Charles beraf SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Detukeli, Ende-Flores. Peneliti Detukeli Research Center.
12 hari yang lalu