BRI
Jumat, 14 Mei 2021 16:48 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Davianus Hartoni Edy*
BEBERAPA waktu lalu, seorang sahabat iseng bertanya di grup WA alumni: “Apakah perbedaan moral dan etika”? Bagi sebagian orang, mendefinisikan sesuatu yang sudah dikonsepkan, akan sangat mudah. Banyaknya literatur yang tepat sebagai rujukan mestinya mempermudah pegiat studi/masyarakat pembaca untuk memahami dengan lebih tepat konsep tentang sesuatu.
Dan setelah saya menemukan konsepsi moral dan etika pada rujukan yang tepat, maka diketahui bahwa; moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Sedangkan etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Dalam kaitannya dengan rekening pastor yang digunakan dalam urusan bencana, justifikasi reflektif yang menyatakan bahwa akuntabilitas seorang pastor tidak dapat dipertanggungjawabkan secara etis merupakan anggapan yang menyalahi kaidah penggunaan makna aplikatif akuntabilitas. Meskipun akuntabilitas merupakan makna umum yang dapat digunakan pada bidang kerja apa saja, namun sebenarnya asas akuntabilitas diterapkan secara baku dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Jadi, asas akuntabilitas lebih tepat diaksentuasikan dalam prosedur/tata cara pemerintahan, sehingga legal basisnya menjadi jelas dengan sederet aturan dan sanksi yang menyertainya. Konsekuensinya adalah penggunaan istilah akuntabilitas yang tidak tepat secara relatif maupun absolut akan menyebabkan kekaburan pada makna akuntabilitas an sich.
Dalam perspektif yang lain tentang motivasi dan iktikad seorang pastor menggunakan rekening pribadi untuk menampung donasi bencana, seharusnya tidak bisa dilihat secara parsial namun perlu dipahami secara komprehensif-kronologis, bagaimana sampai ujung kisah tersebut terciptakan. Dapat dibayangkan dalam situasi darurat, seorang pastor menjalankan peran imamatnya sebagai gembala, berinisiatif dalam tempo yang singkat untuk mengumpulkan dana bagi domba-dombanya yang sedang tertimpa bencana. Bahwa dana donasi tersebut belum sempat disalurkan, bisa disebabkan oleh banyak faktor, misal salah satunya overlapping donasi serta koordinasi penyaluran donasi yang tidak sesuai perkiraan, sehingga sang pastor menahan diri untuk menyalurkan bantuan donasi tersebut. Toh dana tersebut masih utuh dan diakui sang pastor masih berada di rekening pribadinya.
Jika sang pastor disudutkan oleh kebutuhan domba-dombanya selama masa bencana berlangsung, seharusnya diperjelas kebutuhan-kebutuhan yang menjadi indikator kedaruratan sehingga wajib dipenuhi oleh dana donasi yang mengendap dalam rekening sang pastor. Namun, mampukah dilakukan pembedaan antara kebutuhan dalam kondisi darurat dan kebutuhan sehari-hari jika kebutuhan yang diperlukan relatif sama dan sebagian besar sebenarnya sudah dipenuhi oleh pihak pemerintah? Jadi dalam hal ini, tidak pada tempatnya mempertanyakan sisi etis tindakan seorang pastor yang menghimpun dana donasi bencana melalui rekening pribadinya, tanpa secara seimbang melihat niat baik sang pastor yang secara positif berinisiatif mengumpulkan donasi dengan mempertaruhkan reputasinya sendiri dan gereja katolik setempat demi membela keberlangsungan hidup umatnya.
Iktikad baik harus dipersangkakan, dan iktikad buruk harus dibuktikan. Ungkapan dalam dunia hukum positif ini seringkali dikenal juga dengan istilah presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) dalam hukum pidana. Dalam konteks penghimpunan dana donasi oleh seorang pastor, dapatkah dibuktikan adanya kesalahan/ penggelapan dana donasi jika yang diperdebatkan adalah menyangkut asas akuntabilitas yang notabene berkaitan erat dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik? Perbuatan jahat atau actus reus sang pastor harus dibuktikan dengan hilangnya/berkurangnya donasi tersebut untuk tujuan-tujuan pribadi atau diluar peruntukkan yang sebenarnya, bukan pada aspek akuntabilitas yang berusaha diterapkan secara tidak proporsional, apalagi jika asas tersebut menjadi kabur maknanya ketika digunakan di luar institusi pemerintahan.
Paradigma yang ingin dikemukakan penulis adalah upaya melihat problem endapan donasi yang digalang seorang pastor secara berimbang. Patut digarisbawahi bahwa, pertanggungjawaban penggunaan dana donasi jelas tidak ada, karena dana belum digunakan. Adanya niat jahat untuk menggelapkan dana donasi tersebut juga tidak dapat dibuktikan karena dana masih utuh tersimpan di rekening sang pastor. Lalu tuntutan untuk mengedepankan asas akuntabilitas juga tidak sepenuhnya benar karena pastor bukan bagian dari pemerintahan. Namun, apakah sang pastor dapat dianggap tidak melakukan kesalahan/kekeliruan? Sekali lagi hal itu harus dibuktikan dalam konteks penyalahgunaan donasi yang tidak sesuai peruntukkan, bukan oleh sebuah penafsiran berat sebelah dengan landasan berpikir yang kurang tepat dan dalam konteks yang keliru.
Santo Agustinus dalam De Civitate Dei, mengatakan bahwa ada dua jenis cinta yang dalam pandangannya sangat penting yang ia sebut “kegunaan” dan “kenikmatan”. Menikmati sesuatu berarti mencintainya dan menjadikannya milik sendiri, sedangkan menggunakan sesuatu itu dapat berarti cinta yang mempunyai tangan untuk menolong orang lain, cinta yang mempunyai kaki untuk menolong yang miskin dan membutuhkan, cinta yang mempunyai mata untuk melihat penderitaan dan keinginan, cinta yang mempunyai telinga untuk mendengar keluhan dan kesengsaraan. Seperti itulah cinta, menurut Santo Agustinus.
Argumentasi logisnya adalah donasi yang telah dikumpulkan dengan mempertaruhkan kredibilitas imamat dan gereja namun belum digunakan sesuai kegunaannya, bukanlah parameter utama untuk menilai bahwa sang pastor dalam cintanya kepada umatnya justru menikmati donasi tersebut. Suatu niat yang baik harus dilaksanakan untuk menyempurnakannya, namun jika niat baik tersebut belum dapat direalisasikan, maka hal tersebut terlalu naif untuk dianggap sebagai sebuah kesalahan yang disengaja. Bahkan jika dikronologiskan kembali, butuh orang-orang dengan pengorbanan dan pemikiran yang besar serta cepat tanggap dalam kapasitasnya seperti sang pastor untuk menyelamatkan situasi darurat yang terjadi saat itu.
Kecenderungan negatif manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan meneropong kesalahan sesama dan menjadikannya fokus serta mngesampingkan berbagai perbuatan baik yang pernah dilakukan orang tersebut. Bahwa ada keterlambatan dalam pendistribusian dana donasi bencana merupakan sebuah fakta, namun kondisi sampai terkumpulnya donasi tersebut di sisi yang lain merupakan afirmasi atas sebuah prestasi yang patut dipersepsikan secara seimbang terhadap sang pastor berdasarkan kondisi yang berlaku saat itu. Virtus stat in medio (kebajikan berdiri di tengah), artinya sebelum kita memberikan sebuah penilaian sebaiknya perlu dilakukan both side clarification (klarifikasi dua arah), sehingga kematangan penilaian dapat dijamin autentisitasnya.
“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu”. (Mat. 7 : 3-4).
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya.
15 jam yang lalu
setahun yang lalu