Senin, 13 September 2021 19:49 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
RUTENG (Floresku.com) - Yayasan Mariamoe Peduli (YM) sangat menyayangkan kasus pemerkosaan oleh ayah kandung atas seorang remaja, siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Karot, Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Dalam pernyataan pers yang diterima jurnalis media ini via WhatsApp, Senin 13 September 2021, Direktur YMP, Albina Redemta Umen, S. Psi mengungkapkan bahwa dalam berbagai kesempatan, pihaknya selalu mengingatkan bahwa kejahatan pada anak adalah kejahatan pada kemanusiaan.
Sebagai lembaga yang juga menangani isu anak, pihaknya memberi respon atas kasus ini dari dua sisi: pertama, dari sisi psikososial, khususnya tindakan kekerasan atas korban, dan kedua, dari sisi dampak psikologis yang dialami korban.
Kajian psikososial
YMP berpandangan bahwa kejadian ini adalah fenomena gunung es. Sebab data YMP memperlihatkan bahwa tren kekerasan pada anak dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat. Peningkatan yang signifikan terjadi dalam dua tahun terakhir, selama masa pandemi.
“Data kunjungan kepada lembaga kami yang terkait dengan anak meningkat 70% dibandingkan bulan yang sama 3 tahun lalu. Kekerasan yang dialami anak bentuknya bermacam-macam, mulai dari kekerasan non verbal -verbal, penelantaran, perebutan hak asuh anak, keretakan keluarga, kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan, penolakan, incest, kekerasan oleh guru, kekerasan oleh orang tua tiri, kekerasan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dll,” ungkap Albina.
Dia menjelaskan bahwa ada soal yang serius dengan situasi sosial kita, tetapi berjalan dalam diam karena masih dianggap sebagai urusan privat/domestik. Banyak kasus yang penyelesaiannya dalam diam.
YMP sudah memberikan catatan serius soal ini, di antaranya: pertama, soal kasus kekerasan pada anak/kasus bunuh diri pada anak memperlihatkan suasana psikologis masyarakat yang sedang 'bopeng', dan butuh kerja ekstra mengurai soal ini.
"Studi kami memperlihatkan ada ceruk yang sangat dalam yang mengambarkan lemahnya pengetahuan pola pengasuhan pada masyarakat kita. Clusternya ada di mana-mana. Rumah, sekolah, kantor, lingkungan bermain," jelasnya.
Kedua, pendekatan terhadap masalah anak tidak akan selesai dengan selebrasi perayaan yang sifatnya leap service, memberi hadiah, atau apapun tanpa mengetahui konstruksi psikologi dan sosialnya secara rinci.
Ketiga, pola penanganan kasus perempuan dan anak prespektifnya masih terarah pada pelaku. Memenjarakan pelaku seolah-olah masalah selesai. Kita lupa ada korban yang lebih penting untuk segera ditangani dan diselamatkan hidupnya. Denda dan penjara mungkin akan memuaskan orang tua dan keluarga tapi tidak akan menyembuhkan korban.
Keempat, masalah kita ada di rumah. Jadi yang harus ditangani adalah rumahnya. Rumah itu pabrik, dan anak itu hasil pabrikannya. Program kita seringkali kali didesain langsung ke anak, dan melupakan sumbernya. Ingat anak adalah akibat. Sumber dan penyebabnya di luar anak. Maka hati-hati merumuskan kebijakan terkait isu anak kalau prespektifnya masih soal akibat bukan menyelesaikan penyebabnya.
Catatan terakhir ini untuk mengingatkan Pemkab Manggarai yang sedang menggagas kota ramah anak. Jangan sampai terjebak pada pekerjaan yang sifatnya administratif dan selebratif.
Kajian psikologis
Perihal kasus pemerkosaan yang terjadi di Karot-Ruteng, Manggarai, jelas YMP, jika dilihat dari usia korban (14) hampir sama bacaan psikologisnya dengan kejadian di Elar beberapa waktu lalu. Secara usia, korban mengalami pelecehan seskual ketika berada pada fase usia remaja awal (12/13-17thn) dan usia remaja akhir (17-21 thn).
"Jika kita mengacu pada psikoanalisis Freud, dapat dijelaskan bahwa kesadaran anak terkait apa pun yang dia rasakan akan ditekan ke dalam alam bawah sadarnya dan kemudian akan muncul sebagai penyimpangan perilaku," jelas YMP.
YMP menjelaskan bahwa anak korban pelecehan atau kekerasan seksual bisa mengalami dampak lanjutan dalam berbagai kemungkinan seperti menjadi reviktimisasi (korban berulang), residivis (korban yang akan menjadi pelaku), atau dampak negatif lainnya.
"Jika di Elar pelakunya adalah orang yang tidak sekandung, tapi dalam kasus yang terjadi di Karot-Ruteng, pelakunya masih memiliki hubungan darah (sekandung) dan berstatus sebagai ayah kandung dari korban. Kami turut prihatin dan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh korban. Remaja yang sedang berada pada tahap perkembangan kepribadian 'seharusnya' mengandalkan orang tua sebagai fondasi utamanya. Namun, faktanya justru terbalik," jelas YPM lagi.
Menurut YMP, idealnya seorang remaja berusia 14 tahun itu, membutuhkan orang tuanya sebagai figur model.
Dalam usia tersebut, seorang ayah adalah pegangan dalam menuntun anak menuju dunia luas dan juga sebagai tempat anak mengembangkan kepercayaan terhadap teman (lawan jenis). Namun dalam kasus yang terjadi, gambaran tentang laki-laki justru menjadi rusak oleh perilaku sang ayah.
YMP kemudian menghimbau agar semua pihak, khususnya keluarga dekat korban untuk memahami dan mentoleransi perilaku menyimpang yang mungkin terjadi pada diri sang korban seperti mengurung diri, menarik diri dari kehidupan sosial, menangis secara tiba-tiba, atau mengalami kerasukan medis.
“Jika ini terjadi pastikan orang di sekelilingnya dapat memberikan kenyamanan kepada korban. Mereka harus selalu mendampingi korban. Perlakukan korban layaknya remaja biasa. Semoga kita semua bisa menjadi support system bagi korban,” tutup YMP.
Sebagai informasi, YMP adalah sebuah LSM yang memberi perhatian dan menangani banyak isu sosial, salah satunya adalah isu kekerasan terhadap anak. (Jivansi)