Tonggurambang Merayakan Natal dengan Wajah Keluarga

Kamis, 25 Desember 2025 10:34 WIB

Penulis:redaksi

puta1.jpeg
Suasana Misa Malam Nata di Kapel Stas St Fransikus Xaverius, Puta-Tonggurambang, Mbay (Silvia)

PUTA (Floresku.com) - Malam Natal di Kapela St. Fransiskus Asisi Tonggurambang, Nagekeo, bukan hanya soal lilin, lagu, dan doa. Ia adalah cerita tentang wajah-wajah yang berseri, pakaian terbaik yang dikenakan dengan bangga, rambut yang sudah dirapikan sejak sore, dan langkah kecil anak-anak yang datang ke gereja dengan hati penuh sukacita.

Romo Jhon Tukan OFM, yang memimpin Misa Malam Natal, menyebut pemandangan itu sebagai tanda iman yang hidup. Baginya, Natal memang layak dirayakan dengan kegembiraan. Bukan kegembiraan yang berlebihan, melainkan sukacita yang lahir dari hati yang merasa diterima dan disatukan.

“Setiap kali saya datang ke gereja ini, selalu ada hal-hal baik yang bisa disyukuri,” ujar Romo Jhon dalam homilinya. Umat yang hadir dengan pakaian terbaik, anak-anak yang tersenyum cerah, semua itu, katanya, adalah ekspresi iman yang sederhana namun jujur.

Baca juga:

Natal, menurut Romo Jhon, adalah salah satu perayaan iman yang patut “dimenangkan”—dirayakan bukan hanya dengan hiasan, tetapi dengan perubahan sikap hidup. Ia lalu mengutip pesan Paus Leo XIV yang mengajak umat untuk terlebih dahulu mencari orang yang bisa diajak berdamai sebelum datang merayakan Natal di gereja.

“Karena hidup kita selalu berisi salah dan luka, maka Natal menjadi momen untuk berjuang berdamai bersama,” pesannya.

Homili itu kemudian mengalir ke tema Adven Keuskupan Agung Ende: “Bergerak Menjadi Keluarga Ramah Anak.” Tema ini, kata Romo Jhon, menemukan maknanya yang paling dalam justru pada peristiwa Natal. Allah memilih hadir ke dunia sebagai bayi—sebagai anak kecil yang rapuh dan membutuhkan kasih.

Di situlah panggilan keluarga-keluarga Kristiani ditegaskan kembali: menjadi rumah yang ramah bagi anak-anak. Sebab masa depan keluarga, Gereja, dan masyarakat sangat bergantung pada bagaimana anak-anak dirawat hari ini.

Romo Jhon berbagi pengalaman pastoralnya. Ia menyaksikan banyak keluarga yang terluka, dan di dalam luka itu, anak-anak kerap menjadi pihak yang paling menderita. 

Karena itu, rumah tidak boleh sekadar menjadi tempat singgah—pulang kerja, makan, tidur, lalu pergi lagi—melainkan harus menjadi ruang pertumbuhan bersama.

“Rumah adalah tempat kita belajar menjadi ayah yang lebih baik, ibu yang lebih sabar, pasangan yang lebih setia, dan keluarga yang lebih manusiawi,” tuturnya.

Ia pun mengajak umat untuk membuka ruang dialog bagi anak-anak, mendengarkan suara mereka, dan hadir secara utuh dalam kehidupan mereka. Termasuk, katanya, bersikap bijak dalam menggunakan handphone dan media sosial agar teknologi tidak menggantikan kehangatan relasi dalam keluarga.

Malam Natal di Tonggurambang pun menjadi peristiwa iman yang membumi: Natal yang tidak berhenti di altar, tetapi berlanjut di rumah-rumah; Natal yang tidak hanya dirayakan, tetapi dihidupi—bersama anak-anak, dalam keluarga, dan dalam damai yang terus diusahakan. (Silvia). ***