Uskup Labuan Bajo Membawa Pesan Persaudaraan Lintas Agama di Desa Warloka

Rabu, 13 Agustus 2025 19:44 WIB

Penulis:redaksi

warloka 2.jpeg
Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksi bertemu dengan para tokoh Muslim di Desa Warloka, Manggarai Barat, Selasa (12/8) (Vinsen Patno)

LABUAN BAJO (Floresku.com) – Selasa, 12 Agustus pagi itu, langit di pesisir selatan Kecamatan Komodo membentang biru. Perahu nelayan satu per satu kembali dari laut, sementara di dermaga kayu Desa Warloka, warga sudah berkumpul menyambut rombongan istimewa. 

Hari ini, Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus, hadir di tengah mereka dalam rangkaian kegiatan sosial Festival Golo Koe 2025.

Mgr Maksi dikalungi dengan selendang kain tenun Manggarai oleh seorang gadis Muslim saat tiba di Desa Warloka, Selasa (12/8). (Foto: Vinsen Patno)

Desa Warloka, yang terkenal sebagai kampung nelayan dengan sejarah panjang perdagangan laut dan keragaman etnis, menjadi lokasi persinggahan Uskup bersama isteri Bupati Manggarai Barat, Trince Yuni; isteri Wakil Bupati, Ir. Maria Falentina Meli; Vikaris Jenderal Keuskupan, Romo Richardus Manggu, Pr; Sekretaris Jenderal, Romo Frans Nala, Pr; dan Ekonom Keuskupan, Romo Martin Wiliam. Mereka disambut hangat oleh Kepala Desa Warloka, Suwandi, tokoh-tokoh agama, tokoh adat, serta masyarakat lintas iman.

Panorama Desa Wisata Warloka, Mnggara Barat (Foto: Istimewa).
NFOBOX – Profil Desa Warloka
Lokasi: Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT
Jarak dari Labuan Bajo: ±28 km ke arah selatan (±45 menit perjalanan darat + laut)
Penduduk: Mayoritas nelayan, dengan keragaman etnis dan agama
Sejarah: Jejak permukiman kuno dengan pengaruh perdagangan laut antar pulau sejak ratusan tahun lalu
Akses: Perahu motor dari Labuan Bajo atau kendaraan menuju dermaga terdekat
Daya tarik: Pesisir indah, tradisi nelayan, situs arkeologi, rumah panggung kayu tradisional
Mgr Maksi bersama para ibu Muslimah, warga Desa Warloka. (Foto: Vinsen Patno)

Acara dibuka dengan pembagian paket sembako kepada para lansia dan keluarga kurang mampu. Di sudut lain halaman balai desa, tim medis memberikan layanan pemeriksaan kesehatan gratis.

 Para ibu duduk berderet sambil memayungi anak-anak mereka, sementara para bapak menunggu giliran dengan wajah sumringah. Bagi warga, kedatangan Uskup bukan hanya seremoni, melainkan bukti nyata kepedulian.

Mgr Maksi bercengerakama dengan  warga Desa Warloka. (Foto: Vinsen Patno)

Festival yang Menguatkan Solidaritas

Festival Golo Koe selama ini dikenal sebagai perayaan rohani dan budaya yang memadukan misa, prosesi, pentas seni, dan kegiatan sosial. Menurut Kepala Desa Suwandi, kunjungan Uskup ke Warloka mempertebal makna festival tersebut.

"Ini bukan hanya pesta kota, tapi juga menyentuh desa. Kami berharap persaudaraan yang kita tunjukkan hari ini menjadi kekuatan bersama untuk mengembangkan pariwisata super premium tanpa meninggalkan nilai kemanusiaan," ujarnya.

Suwandi menekankan bahwa Warloka berada di jalur strategis pariwisata Labuan Bajo. Selain panorama lautnya yang indah, desa ini memiliki situs-situs sejarah dan kebudayaan yang potensial menjadi daya tarik wisata berkelanjutan. "Dengan kerjasama semua pihak, Warloka bisa menjadi contoh bagaimana pariwisata melibatkan warga sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton," tambahnya.

Situs megalit  berupa meja-meja batu dan batu-batu balok peninggalan zaman Neoliticum akhir di Warloka (Sumber: Facebook.com)
Highlight Potensi Wisata Budaya & Sejarah Warloka
Situs Arkeologi Warloka: Dikenal sebagai “Kampung Tua”, menyimpan peninggalan keramik Cina, gerabah, dan makam kuno dari masa perdagangan maritim.
Tradisi Nelayan: Aktivitas melaut, membuat jaring, dan ritual laut yang masih terjaga.
Rumah Panggung Kayu: Arsitektur tradisional yang mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan pesisir.
Cerita Rakyat & Legenda: Kisah-kisah yang diwariskan lisan, berkaitan dengan asal-usul kampung dan tokoh legendaris.
Panorama Pesisir & Snorkeling: Laut jernih dengan ekosistem terumbu karang yang kaya.
Kerukunan yang Menjadi Modal Sosial

Kerukunan lintas agama di Warloka sudah terjalin lama. Tokoh masyarakat Hj. Idrus mengisahkan bagaimana warga Muslim dan Katolik di desa itu saling hadir dalam perayaan keagamaan masing-masing. "Kalau ada Maulid Nabi, umat Katolik membantu. Kalau Natal, umat Muslim ikut menyiapkan. Kami saling menghormati perbedaan, dan itu yang membuat hubungan kami erat," katanya sambil tersenyum.

Hubungan semacam ini, menurut Uskup Maksimus, adalah kekayaan tak ternilai yang harus dijaga. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa kebersamaan adalah fondasi pembangunan yang sejati.

"Hari ini Tuhan memberi kita waktu untuk saling bertemu, menyapa, dan menguatkan. Menjelang 80 tahun kemerdekaan RI, mari kita pastikan bahwa pariwisata tidak hanya menjadi kebanggaan visual, tetapi juga menghadirkan manfaat nyata bagi warga lokal, terutama generasi muda agar mereka tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri," ujarnya.

Pariwisata yang Memberdayakan

Warloka menyimpan banyak potensi untuk pengembangan wisata budaya dan sejarah. Situs arkeologi peninggalan masa kolonial, tradisi nelayan yang masih terjaga, hingga cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun menjadi aset yang dapat diangkat ke dalam paket wisata edukatif.

Tokoh adat setempat, Baba Ismail, menambahkan bahwa masyarakat siap menyambut wisatawan, asalkan pembangunan dilakukan dengan menghargai adat dan lingkungan. "Kami tidak mau laut kami rusak atau tanah adat kami hilang. Pariwisata harus membuat anak-anak kami bangga menjadi orang Warloka, dan memberi mereka penghidupan yang layak," tegasnya.

Dalam konteks ini, kegiatan sosial seperti yang dilakukan Uskup menjadi pengingat bahwa pembangunan pariwisata tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat. Paket sembako dan layanan kesehatan gratis mungkin tampak sederhana, namun bagi warga, itu adalah simbol bahwa mereka tidak dilupakan di tengah hiruk pikuk industri pariwisata.

Pesan dari Pesisir Selatan

Kunjungan Uskup ke Warloka hari itu ditutup dengan doa bersama yang dipimpin bergantian oleh tokoh Muslim dan Katolik. Suara ombak menjadi latar alami, seakan mengamini doa-doa untuk kedamaian, kesehatan, dan kemajuan desa.

Selain Warloka, rangkaian Festival Golo Koe 2025 juga menyentuh kelompok lansia anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) di Labuan Bajo, serta anak-anak difabel di Panti Asuhan Binongko. Semua kegiatan ini memperkuat pesan bahwa pariwisata, budaya, dan kemanusiaan harus berjalan seiring.

Di tepian dermaga, saat rombongan bersiap kembali ke Labuan Bajo, beberapa anak melambaikan tangan sambil berteriak riang memanggil Uskup. Senyum beliau dan para pendamping menjadi penutup manis sebuah hari yang sarat makna.

Dari Warloka, pesan itu mengalir: persaudaraan adalah modal paling berharga, dan pariwisata sejati adalah yang menumbuhkan kehidupan, bukan sekadar memperindah pemandangan. (Vinsen Patno/Katolikku.com). ***