hentikan
Jumat, 11 Juni 2021 18:36 WIB
Penulis:redaksi
RUTENG (Floresku.com) - Keusukupan Ruteng menegaskan sikapnya mendukung proyek geothermal pemerintah pusat di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Sikap itu diambil setelah melakukan pelbagai pertimbangan dan melewati proses dialog dan dialektika yang transparan serta kerja keras konstrukttif para pihak yang berkepentingan dilandasi itikad luhur untuk mengupayakan bonum conmmune (kesejahteraan bersama).
Hal ini disampaikan Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar Pr, melalui siaran pers, Jumat (11/6).
Romo Alfons menyatakan, Keuskupan Ruteng telah merekomendasikan rencana tindak lanjut tahap kedua proses proyek geothermal Wae Sano.
“Hal ini dituangkan oleh uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat PR dalam suratnya kepada Presiden joko Widodo pada 29 Mei 2021 lalu,” tulis siaran pers itu.
Telah didengar dan didialogkan
Menurut Romo Vikjen, berdasarkan laporan lembaga-lembaga JPIC Gereja, Pastor Paroki dan Vikep Labuan Bajo, Mgr Siprianus Hormat menyuarakan persoalan-persoalan masyarakat tentang proyek panas bumi (geothermal) Wae Sano kepada Presiden dalam surat pada tanggal 9 Juni 2020.
Keterlibatan sosial-kritis-profetis Gereja atas proyek ini, bertolak dari jati diri Gereja seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II, yaitu bahwa Gereja Katolok adalah gereja yang bersolider dengan ‘suka dan duka’, harapan dan kecemasan masyarakat (GS.1).
Menurut Romo Alfons, gereja (Keuskupan Ruteng) telah mendengar dan memahami berbagai keluhan, kerisauan dan kecemasan masyarakat Wae Sano di antaranya: Bahwa titik bor eksplorasi proyek yang ditengarai berjarak puluhan meter dari Kampung Nunang dan dapat membahayakan hak hidup dan keselamatan warga; bahwa proyek itu akan merusak ruang hidup masyarakat, menghilangkan mata pencharian dan sumber kehidupan warga masyarakat; bahwa proyek itu akan merusak situs adat dan komunitas adat setempat; mengganggu kenyamanan peribadatan dan kegiatan kerohanian di lingkungan gereja; bahwa proyek akan menimbulkan kerusakan lingkungan alam yang parah atas Danau Sano Nggoang; dan muncul ketegangan sosial dalam masyarakat Wae Sano akibat proyek tersebut.
Kerisauan warga tersebut telah disampaikan melalui surat oleh Bapak Uskup kepada Presiden Joko Widodo.
Romo Alfons mengungkapkan, Presiden Joko Wododo melalui Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan berdialog intensif dengan Bapak Uskup Ruteng dan mengajak Gereja Katolik untuk Bersama-sama mengklarifikasi persoalan-peroalan yang disuarakan masyarakat dan mencari solusi komprehensif atas problem proyek geothermal Wae Sano.
Nota Kesepahaman
Romo Alfons menyatakan, melalui dialog itu kemudian dibuatkan nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani di Ruteng pada tanggal 20 Oktober 2020 oleh Uksup Ruteng dan Dirjen EBTK Kementerian ESDM.
Dialog dan kerjasama konstruktif pemerintah (negara) dan gereja Katolik yang demikian sangatlah penting karena kedua institusi pada dasarnya melayani manusia yang sama (GS.40) dan bersam-sama mengusahakan terwujdunya kesehatereraan umum (bonum commune) bagi msayrakata (GS.26).
Romo Alfons menambahkan, sebagaimana tertera dalam MOU, proyek geothermal adalah salah salah satu upaya Indonesia sbagai bagian dari masayrakat dunia untuk menurunkan emisi gas rumahkaca dari sektor energi. “Penurunan emisi ini sangat mendasar bagi keberslangsungan hidup di planet bumi,” tegasnya.
Secara nasional, lanjutnya, proyek getothermal meningkatka pasokan energi listrik dan ketahanan energi nasional serta menjafa kestabilan fiskal negara.
Lebih dari itu, pemanfaatan energi pasa bumi yang ramah lingkungan ini akan mengungai ketergantungan Indonesia pada energi fosil
Secara lokal, tambahnya pula, kebutuhan energi listrik di Flores, khusus di Kabupaten mangggarai barat terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, pertumbuhan indistri khususnya pariwisata. Sementara rasio elektrifikasi Manggarai Barat baru mencapai 93 persen (Agustus 2020) dan berada di bawah angka rata-rata nasional.
“Masih banyak desa dan kampung terpencil di Manggarai Barat dan Flores secara keseluruhan yang belum dmendapat pasokan energi listrik,” tandasnya.
Romo Alfons menyatakan pada kenyataan energi listrik di Flores masih didominasi oleh pembangkit fosil, padahal Flores memiliki potensi energi panas bumi sebesar 910 MWE.
“Proyek geothermal Wae Sano akan mendukung kemandirian energi di wilayah barat Flores, khususnya di Manggarai Barat,” ungkapnya.
Komitmen menjamin kelestarian
Dalam nota kesepahaman, pemerintah pusat menjawab keresahan-keresahan masyarakat Wae Sano yang disampaikan Uskup Ruteng, pemerintah pusat berkomitmen menjamin keamanan proyek yakni keselamatan dan kesehatan warga desa serta ruang hidupnya. Pemerintah juga menjamin bahwa tak ada relokasi (kecuali evakuasi sementara); menjaga kelestarian sosial lingkungan termasuk kelangsungan kenakeragaman hayati dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan Danau Sano Nggoang; menjamin keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi; serta menjamin kelestarian kulutral dan spiritual.
Sementara itu, jelasnya, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng berkomitmen untuk menjadi gembala yang mengayomi semua pihak guna menemukan solusi komprehensif terhadap persoalan yang ada; memperjuangkan prinsip dan nilai dalam pembangunan holistik berkelanjutan yang mengutamakan martabat manusia dan kesejahteraan umum serta berbasis pada keraifan lokal dan ramah lingkungan; membantu mengawasi proses sosial agar berjalan sesuai dengan prinisp dan etika sosial; membangun penyelesaiaan panas bumi secara komprehensif, bermartabat dan berkeadilan sosial.
Tim Bersama
Selanjutnya, Romo Alfons memaparkan bahwa pemerintah pusat melalui Tim Bersama Pengelolaan sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah mengadakan kegiatan-kegiatan dialog intensif, klarifikasi transparan, hari studi dan sosialisasi (pencerahan) dengan pelbagai elemen dalam Gereja Katolik.
Sejalan dengan itu telah dibentuk pulaTim Perencana Kerja Tindak Lanjut yang meleibatkan Tim Sosial Pemerintah Pusat dan Keuskupan Ruteng yang dalam tugasnya akan mengupayakan hal-hal sebagai berikut: mengadakan dialog secara transparan dengan masyarakat Wae Sano, baik dengan kelompok pendukung, kelompok penolak maupun dengan kelompok netral.
“Dalog dilakukan baik secara bersama maupun dalam kunjungan personal ke rumah warga,” tulisnya.
Selain itu dilakukan pendekatan juga dilakukan secara adat melalui mekanisme lonto leok, penyelenggaraan ‘kelas’ atau sekolah geothermal bagi masyarakat Wae Sano maupun berbagai elemen Gereja.
“Sesi ruang kelas akan melibatkan teknisi geothermal Kementerian ESDM dan pakar panas bumi, Ali Ashat dari ITB Bandung,”paparnya.
Vikjen Keuskupan Ruteng itu menegaskan bahwa keputusan tentang proyek geothermal Wae Sano dan tanggung jawab pepembangunannya berada pada otoritas pemeritah pusat. Meski demikian, Keuskupan Ruteng berjuang semaksimal mungkin dan mendesak agar keputusan dan pemanfaatan panas bumi untuk menyediakan energi terbarukan harus bersifat ramah lingkungan dan dapat menjamin keselamatan dan kesejahteran warga lokal, serta melindungi dan mengembangan integritas ciptaan dan warisan kulutral setempat.
Romo Alfons mengharapkan, melalui penjelasan ini semua pihak dapat melihat dengan jernih kompleksiftas persoalan yang ada.
“Mari kita saling meghargai satu sama lain dan selanjutnya bersam-sama mengawasi dan mengawal proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi Wae Sano agar dilakukan secara aman, adil, bermartabat dan bermanfaat bagi bangsa, masyarakat Manggarai barat , terutama warga lokal Wae Sano,”tutupnya. (SP/MA)
3 bulan yang lalu
3 bulan yang lalu
7 bulan yang lalu