‘Kembeleis' Orang Manggarai, Picu Gaya Hidup Tak Berkelanjutan

redaksi - Sabtu, 21 Mei 2022 09:44
‘Kembeleis' Orang Manggarai, Picu Gaya Hidup Tak BerkelanjutanDr. Mantovanny saat menjadi pembicara pada seminar dengan tema: “Pendidikan di Pusaran Arus Teknologi Digital”, bertempat di SMPN 1 Lembor, Manggarai Barat, pada Jumat 20 Mei 2022. (sumber: Jivansi)

RUTENG (Floresku.com) - Kebiasaan atau gaya hidup ‘kembeleis' pada diri orang Manggarai dapat memantik pola hidup yang tidak berkelanjutan (unsustainable life style), yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi salah satu tuntutan dari visi Indonesia 2045, Sustainable Development Goals (SDGs), Bonus Demografi tahun 2030 dan pembelajaran abad 21.

Hal itu disampaikan  oleh Dr. Mantovanny saat menjadi pembicara pada seminar dengan tema: “Pendidikan di Pusaran Arus Teknologi Digital”, bertempat di SMPN 1 Lembor, Manggarai Barat, pada Jumat 20 Mei 2022.

Saat menyampaikan makalahnya,  ” Pendidikan Karakter di Pusaran Pandemi Covid-19 dan Revolusi Teknologi Digital; Membaca Gagasan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka” di hadapan para peserta seminar yang tergabung dalam Komunitas Guru Pembelajar Lembor,  Dr. Mantovanny menyampaikan, perilaku ‘kembeleis’ menjadi salah satu penyebab rapuh atau keroposnya karakter orang Manggarai dalm hal adaptabilitas (kemampuan beradaptasi) dan relisiensi (daya tahan terhadap tantangan), ketika terjadi lompatan perubahan teknologi dan perkembangan perabadan baru.

Orang yang dalam dirinya tidak memiliki kemampuan beradaptasi dan daya tahan terhadap tantangan, kata Mantovanny, cenderung mengalami rendahnya kreativitas, inisiasi dan progresivitas. 

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kreativitas, inisiasi dan progresivitas adalah budaya ‘kembeleis’, di mana sebagian orang Manggarai berperilaku acuh tak acuh, masa bodoh, semau gue, menggunakan kebebasan tanpa pertimbangan rasional, tidak peduli masukan orang lain, menunda-nunda hal yang seharusnya segera diselesaikan, pola manajemen hidup ‘pemadam kebakaran’, setelah ada kejadian fatal baru bertindak.

"Singkatnya, ‘kembeleis’ itu merupakan gaya hidup dengan kondisi kerapuhan karakter dalam diri seseorang ketika menggunakan kebebasan yang tidak bertanggung jawab dan tanpa melalui hitungan rasional saat mengambil keputusan atau melakukan tindakan," ungkap Dr. Mantovanny.

Lebih lanjut, Dr. Mantovanny menjelaskan, tipikalitas pribadi ‘kembeleis’ ini, kapan, di mana dan dalam situasi apapun akan menjadi penghambat sebuat aktivitas yang membutuhkan kemajuan yang cepat. 

Kehadiran orang-orang dengan tipe ini kerap mempersulit keadaan, membuat mandek suatu pekerjaan, melemahkan semangat dan etos kerja yang sejatinya bertujuan untuk memajukan diri dan kehidupan bersama. 

Turunan dan anak pinak dari gaya hidup ‘kembeleis’ ini, berupa ‘kembeluak’, ‘kembeleja’, yang miliki muatan arti yang hampir sama, tetapi lebih ekstrim dari segi isi perilaku, berikut dampaknya bagi kehidupan bersama.

"Tiga ‘K’ (kembeleis, kembeluak, kembeleja) ini sudah merambah hidup sebagian orang Manggarai, baik ketika berada di lingkungan lembaga pendidikan, pemerintahan, agama, masyarakat dan keluarga, dll," cetusnya.

Lebih jauh, Doktor lulusan Universitas Pendidikan Indonesia menegaskan, bila gaya hidup ‘kembeleis’ ini menjadi pembiasaan dari diri sebagian besar orang orang Manggarai, maka tentu saja akan menjadi salah satu penghambat lajunya perkembangan peradaban, terutama di era loncatan perkembangan dan perubahan yang kerap sulit diprediksi.

Gaya hidup ‘kembeleis’ ini, lanjutnya, justru suatu bentuk resisten dan antithesis terhadap tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”, sebagai salah satu tema dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka.

Pada tema ini, masih kata Dr. Mantovanny, menjadi tuntutan universal dan global bagi setiap siswa untuk dari hari ke hari, semakin memahami dampak dari aktivitas manusia, baik jangka pendek maupun panjang, terhadap kelangsungan kehidupan di dunia maupun lingkungan sekitarnya. 

Selain itu, harus mengembangkan kemampuan berpikir sistem untuk memahami keterkaitan aktivitas manusia dengan dampak-dampak global yang menjadi akibatnya, termasuk perubahan iklim.

“Setiap orang juga mesti dapat dan membangun kesadaran untuk bersikap dan berperilaku ramah lingkungan serta mencari jalan keluar untuk masalah lingkungan serta mempromosikan gaya hidup serta perilaku yang lebih berkelanjutan dalam keseharian hidupnya,” terang Dr. Mantovanny.

Setiap orang di belahan bumi ini, perlu mempelajari potensi krisis keberlanjutan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (bencana alam akibat perubahan iklim, krisis pangan, krisis air bersih dan lain sebagainya), serta mengembangkan kesiapan untuk menghadapi dan memitigasinya," lanjjutnya.

Dikatakan Dr. Mantovanny lebih jauh, dari sudut pandang pedagogik kritis, bila orang Manggarai tidak segera membangun kesadaran bersama akan ancaman gaya hidup ‘kembeleis’  ini, maka sadar atau tidak sadar, cepat atau lambat akan masuk pada fase kehilangan generasi (lost generation)

“Artinya,kita berkontribusi secara negatif dengan membuat warisan (legacy) gaya hidup yang salah arah bagi generasi berikutnya,” ujarnya.

Dari sudut pandang ini, bukan tidak mungkin, masyarakat Manggarai dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat berkondisi tidak waras (The insane society) yang merupakan lawan dari gagasan masyarakat waras ‘The Sane Society’ dari gagasan Erich Fromm (2008), atau menjadi masyarakat yang mengalami ‘anomi’ menurut salah seorang sosiolog modern, Emile Durkheim (1968).

Namun, doktor peraih penghargaan LEPRID (Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia) 2022 dalam bidang literasi se-daratan Flores ini, menegaskan, tidak ada kata terlambat ketika kita masih memijakan kaki di bumi.

“Kita mesti dukung implementasi kebijakan Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka ini melalui platform Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di sekolah-sekolah di Manggarai,” ungkapnya.

"Mungkin dengan ini,  merupakan salah satu cara membentuk karakter generasi muda Manggarai yang memiliki karakter adaptable dan relisien, tidak mudah rapuh dan menghilangkan mata rantai gaya hidup yang merusak, seperti ‘kembeleis’, ‘kembeluak’, ‘kembeleja’ ", katanya.

"Dalam hal ini, pemerintah dan gereja dan masyarakat perlu bahu membahu dalam memutus mata rantai perkembangan gaya hidup yang merusak seperti ini, salah satunya dengan mendukung secara penuh implementasi MBKM," pungkasnya.

Untuk diketahui, selain Dr. Mantovanny, narasumber lain, yakni Dr. Maksimus Regus, Dekan FKIP Unika St. Paulus Ruteng. Seminar ini merupakan bagian dari kegiatan PKM dan Kerja Sama FKIP dengan Komunitas Guru Pembelajar Lembor yang berbasis di SMPN I Lembor, Manggarai Barat.

Kegiatan seminar merupakan kelanjutan kerja sama FKIP dengan para guru di Lembor dalam hal pengembangan karir profesional guru, seperti mendorong kenaikan pangkat dengan membuat publikasi pada jurnal ilmiah.

Kegiatan seminar ini merupakan salah satu ruang akademik dalam mendukung sikap ilmiah dalam diri anggota Komunitas Guru Pembelajar Lembor ini. (Jivansi). ***

RELATED NEWS