Kisah Esi, Wanita Pemberani: Mengais Rezeki dengan Memecahkan Batu Cadas
redaksi - Rabu, 29 Desember 2021 23:00ENDE (Floresku.com)- Siapa pun yang berkendara melalui jalur jalan Trans Flores ruas Ende - Watuneso tentu akan merasa gamang dan berdebar-debar. Betapa tidak, selain sempit dan berkelok-kelok, ruas jalan tersebut relatif sempit.
Bahkan, dari kejauhan atau dari atas jendela pesawat terbang, jalan raya di rute tersebut tampak seperti seutas tali yang melilit erat di pinggang bukit yang terjal.
Banyak lokasi di ruas jalan itu yang disebut ‘berbahaya’ lantaran di satu sisi ada jurang yang dalam, dan di sisi yang lain ada dinding batu cadas yang keras, atau tebing tinggi yang mudah longsor.
- Fredy Mui Anggota DPRD Provinsi NTT Ucapkan 'Proficiat' kepada Kades Paka Terpilih, Paulus Lembo
- Okta, Bocah Pengidap Hidrosefalus di Mabar Terima Kado Natal dan Tahun Baru dari DPD Golkar Mabar
- OMK Stasi Boru Akan Gelar Lomba Nyanyi Virtual, Buruan Daftar
Upaya untuk memperlebar badan jalan di ruas jalan tersebut memang sudah sangat sering dilakukan oleh dinas terkait. Namun, upaya itu tidak pernah bisa berbuah optimal, karena kontur tanah yang mudah longsor ataupun batu cadas yang keras.
Makanya kisah mengenai jalanan yang longsor, atau kendaraan yang terjungkal ke jurang di ruas jalan tersebut sudah menjadi berita yang biasa.
Namun, ada hal yang tidak biasa dapat ditemukan di ruas jalan ini. Apakah itu? Itu adalah kisah tentang sejumlah insan yang nekad menyabung nyawa dengan memahat atau memecahkan tebing batu cadas di tepian jalan nan sempit itu.
Salah satu di antara para insan pemberani itu adalah Mama Theresia Esi. Wanita paruh baya yang akrab disapa Esi itu saban hari dengan sekuat tenaga memukul batu-batu cadas. Kemudian bongkahan atau pun serpihan batu-batu dikumpulkan lalu dijual kepada para pengepul.
Mama Esi berasal dari Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru. Ibu yang memiliki lima orang anak ini memulai pekerjaan ini semenjak anak-anaknya berusia kanak – kanak.
Mama Esi ternyata tidak bekerja sendirian. Ia membentuk kelompok kecil beranggotakan delapan orang. Semua mereka berkerabat, ada hubungan keluarga. Saban hari, dari pukul 08.00 pagi sampai jam 04.00 sore mereka ‘bergulat’ dengan batu cadas.
Selama delapan jam bekerja, mereka melakukan beragam aktivitas. Mulai dari memalu atau mencungkil batu cadas, mengumpulkan bongkahan atau pun serpihannya, hingga memilah-milahnya sesuai sesuai kategori batu yang akan dijualkan.
- Kearifan Lokal Warga Desa Nua Ja, Kecamatan Ende: Sui Feo, Pi'a Feo
- Ruas Jalan Pasar Inpres di Kota Larantuka Macet, Salantas Absen, Lalu Lintas Diatur Tukang Ojek
- Perihal Pohon Natal Terbesar di Kota Larantuka, Begini Kata Warga
Hendrikus Mbambo adalah seorang pria, anggota kelompok yang dipimpin Mama Esi. Kepada floresku.com, dia menuturkan bahwa memecahkan dan mengumpulkan batu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Pekerjaaan tersebut membutuhkan kondisi fisik yang prima, dan emosi yang stabil: penuh kesabaran.
“Jika fisik lemah dan emosi tidak stabil atau tidak sabar, hasilnya tentu tidak seberapa,” tuturnya.
Hendrikus Mbambo juga menuturkan, setiap hari kelompok kerjanya berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin batu. Biasanya mereka mengumpulkan bongkahan atau serpihan batu ke dalam lima kategori sebagai berikut.
Pertama, batu pasang. Ini adalah jenis batu yang ukurannya paling besar dan digunakan untuk fondasi bangunan.
Kedua, adalah batu berukuran 5,7 atau sering disebut ‘batu mangga’. Batu tersebut digunakan untuk mencor lapisan rabat.
Ketiga, batu ukuran 3,5. Batu tersebut digunakan untuk mencor rabat.
Keempat, batu ukuran 2,3. Jenis batu ukuran tersebut digunakan juga untuk proses mencor rabat.
Kelima, btu Siplin, atau sering disebut kerikil. Batu jenis ini digunakan untuk mencor dek rumah, tiang, dan-lain,
“Harga batu berbeda-beda menurut jenis atau kategorinya. Namun, biasanya harga ditentukan melalui negosiasi atau tawar-menawar dengan para pengepul atau pebeli. Umumnya batu-batu dilepas dengan harga Rp.400.000 per satu bak mobil dump truck,” ujarnya.
Permintaan pembelian batu juga tidak menentu. Kalau lagi ada banyak proyek pembangunan di wilayah sekitar, maka jumlah permintaan banyak. Sebaliknya, kalau tidak ada proyek pembangunan maka permintaan pun sepi.
Sebagai Ketua Kelompok, Mama Esi memiliki harapan besar bahwa kelompoknya bisa tetap eksis. Oleh karena itu ia berharap pihak pemerintah daerah, mau mmendukung kegiatan kelompoknya.
"Saya berharap pemerintah bisa mendukung Kelompok Kerja ini supaya bisa meningkatkan penghasilan. Saat ini kami sangat membutuhkan peralatan untuk menggali atau pun memecahkan batu seperti hammer atau palu kecil, hammer besar ukuran 3 dan 5 kg, pahat beton dan linggis tanpa ulir. Soalnya, sejauh ini kami bekerja dengan peralatan seadanya saja”, ungkap Mama Esi. (Oleh: Maria F.PD).