Melawan Lupa: Membongkar Misteri Kematian Martha Meti

redaksi - Kamis, 07 Juli 2022 21:49
Melawan Lupa: Membongkar Misteri Kematian Martha MetiAlm. Matha Meti (sumber: Dok Keluarga)

JAKARTA (Floresku.com) – Hari ini,  Kamis, 07 Juli 2022,  sudah 37 hari  alm. Martha Meti (44) berpisah dari bayinya.  Itu terhitung  sejak Martha Meti menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS TC Hillers, Maumere, Senin, 23 Mei 2022 lalu.  

Meski kematian itu sudah berlalu enam minggu,  kaum keluarga dan kerabat dekat wanita malang asal Palue itu, masih  saja berduka.  

Mereka tak sudi melupakan perisitiwa naas tersebut lantaran  terendus ada dugaan kelalaian para tenaga medis yang mengakibatkan nyawa Martha Meti, melayang tiba-tiba. 

Oleh karena itu, melalui kuasa hukumnya, Orinbao Law Office, keluarga alm. Martha Meti  bertekad  membongkar misteri kematian Martha Meti melalui  jalur hukum. 

Pada 09 Juni 2022 lalu, bertindak atas nama klien, Viktor Nekur SH, Marianus Gaharpung SH., MS., dan Tobis Tola SH dari Orinbao Law Office menyampaikan peringatan (somasi) kepada saudara Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Siika dan Sadari kepalaPuskesmas Wolomarang untuk memberikan penjelasan terkait kematian Martha Meti itu. 

Namun,  upaya keluarga  membokrar misteri kematian alm Martha Meti dan mengais keadilan sepertinya tak mencapai titik terang.

“Selama ini  (kami) masih dalam proses mediasi, tapi mentok. Karena tidak ada kesepakatan. Hari Senin, (12 Juli, red)  baru dibuatkan laporan polisi untuk proses hukum lebih lanjut,” ungkap,  Silfan Angi, Jubir Orinbao Law Office kepada media ini,  Kamis, 07 Juli malam.

Melawan lupa

Selain mengupayakan proses hukum, keluarga korban pun berikhtiar ‘melawan lupa’  dan berbagi  kisah tentang dugaan  pengabaian  pelayanan medis  atas Martha Meti  sebagi sebuah pelajaran supaya tidak terjadi pada warga masyarakat yang lain. 

Dengan ikhtiar seperti itu,  Kamis, 07 juli siang, kepada media ini, keluarga korban mengisahkan kembali secara rinci hari-hari dan jam-jam terakhir riwayat hidup Martha Meti, mulai dari Puskesmas Wolomarang hingga ke RS TC Hillers, Maumere.

Adalah Emerensiana Lebi, saksi selama penanganan korban di Puskesmas Wolomarang, dan Yuldensia Hildegardis Lengu, saksi selama penanganan korban di RS. Umum Maumere.

Secara tertulis keduanya menuturkan bahwa Martha Meti adalahwanita berusia 44 thun yang sedang hamil 9 bulan, anaknya yang ketiga.

Mereka mengataka, alm. Martha Meti berhasil melahirkan seorang bayi yang saat lahir berboot 3 kg, tinggi badan 49 cm.

“Pada tanggal 19 Mei 2022 pukul. 19.00, --lebih cepat delapan hari

dari perkiraan persalinan oleh bidan yang mendampingi selama masa kehaminan-- korban (alm. Martha Meti, red) mengalami tanda-tanda akan melahirkan sehingga keluarga memutuskan untuk korban diantar ke Puskesmas Wolomarang .

 Pada pukul  21.55, korban diantar keluarga ke Puskesmas Wolomarang. Setelah diperiksa oleh bidan yang bertugas pada waktu itu, keluarga diinformasikan bahwa kondisi korban baru pembukaan 1,

dengan tekanan darah 140, sehingga langsung rawat nginap dan  didampingi oleh dua orang anggota keluarga. 

Bidan yang bertugas (dinas jaga) pada waktu itu memberitahukan kepada keluarga yang mendampingi bahwa ‘kalau ada apa-apa dengan ibu ini nanti panggil kami di ruangan”.

Jumat,  20 Mei 2022 dilakukan pemeriksaan oleh bidan yang bertugas hasilnya masih dengan pembukaan satu. 

Pada Sabtu, 21 Mei 2022 dilakukan pemeriksaan lagi hasilnya juga masih dengan pembukaan satu. 

Pada Minggu  22 Mei 2022 sudah masuk pada pembukaan 2 sehingga salah seorang bidan dari Polindes menyuruh korban untuk mengangkat air seberat 10 liter. 

Keluarga korban lalu meminta kepada warga terdekat dua buah jerigen ukuran 5 liter yang diisi penuh dengan air lalu bidan tersebut menyuruh korban membawa (tenteng) air mengelilingi Puskesmas selama 4 kali.

Masih pada hari yang sama yakni, Minggu 22 Mei 2022, pukul 22.00 korban mengalami rasa sakit berkepanjangan dan selalu merasa ingin buang air kecil. 

Beberapa kali kali korban buang air kecil. pukul 23.50 korban turun dari tempat tidur hendak ke toilet, saat itu pula cairan ketuban keluar berwarna hijau. 

Melihat kondisi korban seperti itu, keluarga yang mendampingi korban langsung memanggil bidan.

Dua orang bidan yang bertugas masuk ke ruang persalinan untukmemeriksa kondisi korban. 

Salah seorang bidan merasa kaget dan mengatakan bahwa; “Aduh air ketuban warna hijau”.

Bidan lalu menyuruh korban segera baring dengan posisi miring kiri.

Berselang 25 menit kemudian korban rasa buang air besar, bidan lalu mempersiapkan peralatan bantu persalinan.

Pada pukul. 00.30 proses persalinan mulai dilakukan oleh dua orang bidan, kemudian dibantu satu orang  bida lagi yang bukan jam dinasnya. 

Dengan posisi terbaring untuk bersalin, dua orang bidan berada di bagian kaki, salah seorang keluarga yang mendampingi berada di posisi kepala korban, lalu salah seorang bidan meminta agar pendamping bergeser / pindah ke tempat lain aga dia (bidan tersebut) yang membantu menangani proses persalinan.

Korban disuruh mengedan oleh bidan. Karena melihat kondisi korban lemah, pendamping (keluarga korban) lalu bertanya kepada korban:“engkau kuat ka tidak?”.

Korban menjawab bahwa; “saya tidak kuat untuk mengedan”. 

Salah seorang bidan yang berada di posisi kaki korban mengambil gunting dan menggunting vagina korban. 

Setalah menggunting, korban disuru mengedan sambil didorong perut korban oleh seorang bidan yang berada di posisi kepala korban, bayi akhirnya keluar pada pukul 00:50. 

Tak lama kemudian korban mengalami pendarahan hebat.  Melihat hal itu bidan pun bertindak, menangani korban selama sekitar 45 menin. Sementara itu, korban meringis kesakitan sambil mendekap bayinya..

Oleh karena korban terus mengalami pendarahan, salah seorang bidan langsung menghubungi dokter yang berada di Rumah Sakit Umum dr. T.C. Hillers Maumere. 

Dokter lalu menyuruh untuk korban segera dilarikan ke Rumah Sakit. Setelah korban dipersiapkan untuk dibawa ke rumah sakit, sopir ambulance tidak berada di tempat, nomor handphone pun tidak dimiliki oleh petugas dan tiga orang bidan pada waktu itu, sehingga suami korban harus mendatangi rumah sopir ambulance untuk menjemputnya dengan sepeda motor.

Oleh bidan yang bertugas, keluarga diminta untuk menyiapkan pendonor darah yang bergolongan darah O.

Pkl. 02.00, tanggal 23 Mei 2022, korban dibawa ke rumah sakit umum Maumere dengan ambulance.

Tiba di rumah sakit korban langsung ditangani di ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) selama beberapa  jam, setelah itu korban dipindahkan ke ruangan opname. 

Di ruangan opname korban ditangani oleh dua orang perawat. Kemudia  korban menanyakan kepada pendamping: “mengapasaya tidak diberi transfusi darah, mereka mau biarkan supaya saya mati kah? Saya merasa kedinginan” (Dia bicara dalam bahasa Palue).

Pendamping (keluarga korban) lalu menyampikan kondisi yang dialami korban kepada perawat. 

Perawat lalu mematikan AC di ruangan tersebut.

Pendamping lalu mengambil minyak kayu putih dan mengosok di bagian kaki korban karena korban merasa dingin dari kaki hingga di bagian pusat.

Beberapa waktu kemudian, melihat kondisi korban terus melemah perawat lalu menyuruh keluarga korban untuk memberi minum air gula kepada korban. 

Oleh karena tidak ada persiapan gula dan air panas, keluarga korban lalu meminta bantuan gula dan air panas kepada keluarga pasien lain di ruangan itu. Korban diberi minum dan menghabiskan air gula 2 mok dan sepotong roti. 

Kemudian  keluarga korban menyampaikan kepada bidan pendamping dari Puskesmas Wolomarang bahwa; “tenaga pendonor darah O ada dua orang sudah disiapkan keluarga, kalau bisa sekarang bisa diambil darah”.

Namun, bidan mengatakan bahwa; “biar besok pagi dulu baru didonor”.

Pkl ... (lupa) dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien termasuk korban di ruangan itu, Dokter bertanya kepada perawat dan keluarga,  “ibu ini golongan darah apa?”

Keluarga korban mengatakan bahwa, “ibu ini golongan darah O”. Dokter lalu mengatakan; ”Loh, stok golongan darah O di UTD itu ada, mengapa tidak diberi transfusi?”

Dokter segera memberikan resep kepada keluarga korban untuk mengambil darah di UTD. 

Setelah korban diberi transfusi darah,  tidak lama berselang sekitar lima menit, korban  meninggal pada pkl. 07.00 pagi, tanggal 23 Mei 2022.

Beberapa catatan

Jubir Orinbao Law Office, Silfan Angi menjelaskan, “Menyimak kronologi kasus yang telah disampaikan atau diceritakan oleh saksi mata yang mendampingi korban selama proses penanganan persalinan yang dilakukan oleh tim medis pada Puskesmas Wolomarang serta informasi dari beberapa sumber lainnya, maka kami merasa perlu untuk mempertanyakan tentang Standar Operasional Prosedur yang telah dilakukan oleh tim medis pada Puskesmas Wolomarang terhadap anak adik kami Martha Meti.”

“Bahwa usia korban 44 tahun mengalami kehamilan, adalah merupakan kehamilan beresiko tinggi sehingga dalam penanganan harus ekstra hati-hati. Sementara korban selama 4 hari didampingi / dijaga oleh keluarga sampai pada saat persalinan baru ditangani oleh para bidan di Puskesmas Wolomarang dengan tidak melibatkan dokter yang bertugas di sana.”

“Kondisi korban selama tiga hari dengan gejala partus hanya dengan pembukaan 3, tidak segera dirujuk ke Rumah Sakit Umum T.C. Hillers Maumere. Kondisi korban dibiarkan selama 3 hari hingga ketuban pecah keluar berwarna hijau, dan persalinan tetap dipaksakan oleh para bidan sehingga korban mengalami pendarahan hebat.”

Menurut informasi salah seorang bidan bahwa pendarahan akibat robek mulut rahim.

“Bahwa penanganan selama tiga hari di Puskesmas Wolomarang, Bidan hanya memeriksa gejala partus pembukaan persalinan, tidak melakukan pemeriksaan kondisi fisik korban secaraumum ataupun dilakukan USG terhadap korban. Malah salah seorang bidan berpesan kepada keluarga yang mendampingi / menjaga korban bahwa; “kalau ada apa-apa dengan kondisi ibu, tolong hubungi kami. Kami ada di ruangan”. 

Ini artinya penanganan tidak serius terhadap korban dengan kehamilan beresiko tinggi.

“Bahwa setelah bayi korban keluar dan korban mengalami pendarahan hebat baru bidan yang menangani persalinan menghubungi dokter di Rumah Sakit Umum T.C. Hillers Maumere.”

“Dokter baru memerintahkan untuk pasien harus segara dilarikan ke Rumah Sakit. Pada saat pasien akan dibawa ke Rumah Sakit, sopir ambulance tidak berada di tempat, nomor handphone sopir ambulance pun tidak dimiliki para bidan yang menangani persalinan dimaksud, sehingga suami korban harus mendatangi kediaman sopir ambulance untuk menjemputnya agar korban segera dilarikan ke Rumah Sakit.”

“Dari kondisi yang telah diuraikan di ataslah yang mendorong kami keluarga korban untuk mengadu pada pihak berwajib / penegak hukum melalui kuasa hukum, untuk selanjutnya melakukan penyelidikan dan proses hukum sesuai prosedur hukum, karena menurut kami ini adalah sebuah kelalaian / pembiaran yang telah dilakukan oleh para bidan yang menangani persalinan korban dan penanggungjawab umum dalam hal ini Kepala Puskesmas Wolomarang.’

“Sejak kejadian ini, banyak media lokal membungkam untuk mengangkat kasus ini. Kami hanya didampingi media online Hak Rakyat dan CCTV.”

“Kami sedang berupaya menghubungi berbagai pihak yang peduli akan kasus ini, apakah Lembaga Bantuan Hukum atau lembaga perlindungan HAM yang peduli terhadap kasus seperti yang kami alami ini.”

“Mudah-mudahan kami mendapat dukungan sehingga pengalaman dari kasus ini tidak terulang lagi bagi masyarakat lain,” pungkasnya. (Silvia). ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS