Memaknai Hari Kartini di Masa Peralihan ke Kenormalan Baru

redaksi - Kamis, 21 April 2022 18:05
Memaknai Hari Kartini di Masa Peralihan ke Kenormalan BaruRA Kartini (berdiri, kanan) bersama para siswanya. (sumber: Portal Informasi Indonesia)

TAHUN 1964, Presiden RI Soekarno menyatakan 21 April, sebagai hari emansipasi wanita (keseteraan jender) Indonesia. Oleh karena RA Kartini dilahirkan pada 21 April 1879, maka pada 21 April 2022 adalah peringatan hari lahirnya yang ke-153.

RA Kartini didaulat sebagai sebagai feminis pelopor karena selama hidupnya ia memperjuangkan hak-hak dan martbat kaum wanita. 

Dalam sebagian besar suratnya kepada para sahabatnya di Belanda, RA Kartini menulis tentang pengalaman dan pandangannya mengenai kondisi perempuan asli Indonesia. Dia  memprotes kecenderungan adat-istiadat Jawa yang mengekang kebebasasan kaum perempuan. 

Dalam korespondensinya dengan Estell "Stella" Zeehandelaar, R.A. Kartini menyatakan keinginannya untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. 

Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh adat dan tradisi, tidak bisa sekolah, dipingit, dan  harus siap untuk menjalani pernikahan poligami dengan laki-laki yang tidak dicintai.

RA Kartini berambisi agar wanita memiliki kebebasan untuk belajar. Dia menulis ide tentang pengembangan diri, pengajaran diri, keyakinan diri, motivasi diri dan solidaritas. 

Semua ide ini didasarkan pada Religieusiteit, Wijsheid, en Schoonheid, yaitu kepercayaan pada Tuhan, kebijaksanaan, keindahan, humanitarianisme dan nasionalisme.

Lebih dari itu, dia  menjalani kehidupan vegetarian. "Sudah beberapa waktu kami berpikir untuk melakukannya (untuk menjadi vegetarian). Saya bahkan hanya makan sayur selama bertahun-tahun, tetapi saya masih belum memiliki cukup keberanian moral untuk melanjutkan, karena saya masih terlalu muda," tulis RA Kartini.  

Bahkan, dia mengaitkaan pola hidup vegetarian ajaran agama. Dia menulis, "Hidup sebagai vegetarian adalah doa tanpa kata kepada Yang Mahakuasa.”

Platform Beijing

Seabad kemudian, inisiatif kesetaraan jender yang dilakukan RA Kartini  mendapat pengukuhan  global melalui Platform Beijing 1995. Tahun ini, tepatnya September 2022, adalah ulang tahun ke-27 Platform Beijing. 

Platform Beijing bertekad untuk memajukan tujuan-tujuan kesetaraan, pembangunan dan perdamaian untuk semua wanita di seluruh dunia.  Platform ini pun memperhatikan keanekaragaman kondisi dan peran wanita memperjuangkan hak-hak mereka. 

Selanjutnya, Platform  mengakui bahwa status perempuan telah meningkat dalam beberapa hal penting dalam dekade terakhir. Namun kemajuannya tidak merata. 

Bahkan, ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki telah bertahan dan menjadi  hambatan serius bagi upaya meningkatkan  kesejahteraan semua orang.

Platorm juga mencatat bahwa situasi ini diperburuk oleh meningkatnya kemiskinan yang memengaruhi kehidupan sebagian besar orang di dunia, khususnya perempuan dan anak-anak. 

Oleh karena itu, Platform mendorong setiap wanita di semua negara mendedikasikan diri secara tanpa pamrih untuk mengatasi kendala dan hambatan tersebut. 

Tujuanya adalah meningkatkan lebih lanjut kemajuan dan pemberdayaan para wanita di seluruh dunia. 

Selebihnya, Platform berkomitmen kami untuk memperjuangkan kesamaan hak dan martabat pada kaum  perempuan dan laki-laki. Ia memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak berdasarkan konsensus yang tlah dibuat pada konferensi dan KTT PBB sebelumnya.

Yaitu, konferensi tentang perempuan di Nairobi (1985),  tentang anak-anak di New York (1990), tentang lingkungan dan pembangunan di Rio de Janeiro (1992), tentang hak asasi manusia di Wina (1993), tentang populasi dan pembangunan di Kairo (1994), dan tentang pembangunan sosial di Kopenhagen (1995). 

Covid-19 memperburuk ketidaksetaraan jender

Meski masih banyak yang perlu diperbaiki, harus diakui bahwa  perjuangan keseteraan jender mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya. 

Namun, tanpa diduga, kemajuan tersebut dijegal oleh pandemi Covid-19. Bahkan, pandemi Covid-19 memperdalam ketidaksetaraan jender yang sudah ada sebelumnya, dengan menimbulkan kerentanan sistem poltik dan ekonomi, sistem-budaya, bahkan mengganggu kondisi psikologis umat manusia.

Hingga 20 April 2022 total kasus Covid-19 di seluruh dunia mecapai, 506 juta kasus, dengan tambahan per hari 919 ribu. Yang meninggal dunia, 6,2 juta orang dengan penambahan 3.403 jiwa. 

World Economic Forum (WEF) dalam laporan Kesenjangan Gender Global 2021 menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah memundurkan capaian kesetaraan gender secara global. Dibutuhkan waktu setidaknya 133 tahun untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. 

Di Indonesia, total kasus terkonfirmasi Covid-19 per 20 April 2022 adalah  6,04 juta dengan jumlah meninggal dunia 156 ribu jiwa.

Dari 6,04 juta kasus terkonfirmasi Covid-19, 47,7 persen adalah laku-lak, dan 52,3 persen adalah wanita. Yang meninggal, 54,4 persen laki-laki, dan 47,6 persen adalah wanita.

Dampak pandemi terasa sekali terhadap akses pekerjaan dan ekonomi, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal. 

Meski jumlah yang meninggal lebih kecil, wanita Indonesia merupakan kaum yang paling terkena dampak Covid-19. Sebab perempuan merupakan mayoritas pekerja kesehatan dan perawatan sosial, yang berada di garis depan perjuangan melawan Covid-19. 

Selama pandemi, 46 persen  pekerja informal laki-laki kehilangan pekerjaannya, sedangkan perempuan 39 persen  persen yang mengalami. Kondisi kehilangan pekerjaan semakin berakibat buruk bagi mereka tidak mendapat tunjangan. 

Di antara pekerja informal, perempuan yang paling banyak tidak mendapatkan tunjangan dengan prosentase 80 persen, sedangkan pekerja laki-laki 63 persen yang tidak mendapat tunjangan (UN WOMEN, 2021).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, pandemi Covid-19 telah membuat perempuan memiliki risiko kehilangan pekerjaan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, pandemi Covid-19 meningkatkan terjadinya kesenjangan gender di Indonesia.

Kesenjangan gender itu bukan disebabkan oleh perbedaan keterampilan atau pendidikan saja, tetapi juga karena adanya keyakinan mengenai jenis peran yang dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki yang sebagian besar merupakan hasil dari diskriminasi. (Bdk. Kompas.com, 04 maret 2022).

Dalam bidang sosial budaya, penutupan rumah ibadat menimbulkan ‘kegamangan spiritual’. Covid-19 memakasa umat Kristiani misalnya, untuk tidak merayakan Paskah yang adalah  perayaan iman paling utama.  

Sampai sekarang, otoritas gereja belum memberikan argumen telologis, apakah misa online itu sungguh-sungguh suatu yang sakramental atau tidak? 

Penutupan sekolah secara massal, juga berdampak luas, tak terkecuali  pada  kaum perempuan dan anak-anak. Selama anak-anak sekolah ‘dipingit’ (diwajibkan tinggal dan belajar di rumah) para ibu rumah tangga dan para pembantu rumah tangga harus mengerahkan tenaga, perhatian dan waktunya. 

Dalam keadaan normal saja,  kaum perempuan melakukan pekerjaan pengasuhan anak tiga kali lipat lebih banyak dari pada laki-laki. 

Dapat dibayangkan, berapa jumlah energi dan waktu yang dipakai kaum wanita Indonesia untuk mengasuh anak-anak usia sekolah yang menenurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  per tahun akademik (TA) 2017/2018  mencapai 45.3 juta jiwa terdiri dari anak-anak  SD (25,49 juta),  SMP (10,13 juta), SMA (4,78 juta) dan SMK (4,9).

Selama ‘dipingit’, anak-anak sendiri  memikul beban psikologis juga.  Sebab, tidak semua daerah di Indonesia, terutama desa-desa, memiliki  infrastruktur telokomunikasi memadai. 

Bagi anak-anak di daerah seperti itu, ‘belajar di rumah’ sama maknanya dengan libur total.  Sementara, anak-anak yang tinggal di daerah yang ada koneksi internet pembelajaran online bisa berjalan. Itu pun dengan catatan, kalau orangtua dapat membeli kuota internet. 

Syukurlah, bahwa setelah hampir tiga berlangsung, kini para siswa  sudah mulai diperbolehkan  belajar secara tatap muka walau tetap dianjurkan untuk tetap berdisiplin menerapkan Protokol Kesehatan.

Sekilas, kita merasa legah bahwa masa ‘pingitan’seperti segera akan berlalu. Namun, sejatinya kelegaan itu belum benar-benar nyata, sebab ternyata  anak-anak sudah terlanjur ‘bergantung’ pada perangkat digital. 

Memang, tak dsangkal bahwa akses ke pembelajaran secara digital dapat memberikan dampak positif:  meningkatkan kecerdasaran akademis dan memperkuat ‘keakraban’  anak-anak pada teknologi digital. 

Namun, pada sisi lain hal ini justru menimbulkan dampak psikololgis dan sosial yang juga berbahaya, yaitu stress dan ketergantungan pada smartphone.  

Tak heran, selama masa ‘stay at home’  banyak ibu yang mengeluhkan kalau anak-anak mereka sulit tidur, tidak suka makan dan suka mengisolasi diri di kamar.  

Masalah ini tidak boleh dipandang sepele karena jumlah anak-anak usia sekolah di Indonesia sangat besar,  45,3 juta anak. 

Belajar dari RA Kartini 

Selama dua tahun berturut-turut pandemi Covid-19 memaksa kita untuk tidak memperingati hari Kartini sebagaimana biasa. 

Kita bersyukur, pada tahun ketiga ini,  pandemi Covid-19 mulai dapat dikendalikan. Ini tentu saja  berkat kerja kerja keras pemerintah dan partisipasi seluruh warga yang berdisiplin menjalani Protokol Kesehatan dan antusias menerima program vaksinasi.

Makanya, pada 21 April 2022 ini geliat peringatan hari Kartini mulai terasa, kendati belum semarak sebagaimana biasanya.

Di beberapa tempat, tampak ada upacara apel bendera, perlombaan debat, pertunjukan menari dan menyanyi, peragaan busana daerah,  dan berbagai kegiatan kreatif lainnya. Meski demikian,  di banyak tempat, anak-anak dianjurkan untuk tetap berdiam di rumah, seperti gadis ‘RA Kartini’ yang sedang dipingit.

Dalam situasi ‘peralihan’ menuju kenormalan baru ini, kita berpeluang untuk  belajar dari apa yang pernah dilakukan RA Kartini. 

Pertama, mencermati kondisi sosial di sekitar untuk  mendeteksi hal apa saja yang membelenggu hak-hak asasi, harkat dan martabat kaum wanita.  

Kedua, mencari ide atau gagasan untuk  melawan hal-hal yang membelenggu hak-hak dan martabat kaum wanita. 

Ketiga, mengembangkan literasi supya damapat membagikan gagasasan/ide kepada orang lain melalui korespondensi online atau melalui media sosial,  agar gagasan dapat menimbulkan kesadaran sosial bersama. 

Dan, terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah belajar menjalani pola hidup sehat. Kalau memang kita tak mampu menjadi vegetarian seperti yang dilakukan RA Kartini, paling tidak kita berlatih untuk menjalani pola makan yang sehat.

Melalui cara-cara sederhana demikian, kita membuat Hari Kartini 2022 yang belum semarak ini, tetap bermakna. Selamat Hari Kartini! ***

Oleh Maxi Ali. Artikel ini diupdate dari artikel yang pernah dimuat di EnbeIndonesia.com, pada 21 April 2020.

RELATED NEWS