Menemukan Posisi Hukum Tenaga Harian Lepas di Manggarai

redaksi - Selasa, 08 Maret 2022 10:37
Menemukan Posisi Hukum Tenaga Harian Lepas  di ManggaraiAgustinus Kabur adalah seorang pensiunan pegawai pemerintahan dan Kader Partai Demokrat. (sumber: www.facebook.com)

Oleh Agustinus Kabur

KIRANYA tidak berlebihan jika dikatakan bahwa topik pemberitaan tentang Tenaga Harian Lepas (THL) di Wilayah Kabupaten Manggarai benar-benar ramai dan begitu menonjol, baik secara kwantitas maupun kwalitas.

Tiap hari, siang dan malam, topik pemberitaan mengenai Tenaga Harian Lepas (THL) ini juga terkesan seperti menu spesial yang dihidangkan kepada banyak orang, mulai dari para pedagang di pinggir jalan hingga di forum terhormat, DPRD serta Bupati.

Pemberitaan dan perbincangannya pun jauh melampaui masalah kemasyarakatan lainnya, seperti Covid, kelangkaan pupuk, pelayanan rumah sakit, bencana alam, jalan dan jembatan yg rusak, program yang belum terlaksana dan janji yang belum terpenuhi dan masih banyak lainnya.

Banyak pertanyaan spekulatif yang dapat diajukan seiring gencarnya perbincangan dan pemberitaan tentang Tenaga Harian Lepas (THL) ini.

Apakah THL sangat meaningfull dalam penilaian kinerja Bupati? Meaningfull dalam perjuangan memperebutkan jabatan Bupati ataupun juga dalam menilai kinerja seorang Kepala Dinas? Atau dengan pertanyaan lain, Apakah mengangkat, mempertahankan, membela ataupun mengganti Tenaga Harian Lepas (THL) itu seorang Bupati dapat dinilai gagal atau dinilai tidak becus? Padahal, di pihak lain kita semua tahu bahwa perekrutan THL itu sudah dilarang oleh aturan.

THL: Sejarah  singkat dan perkembangannya

Perekruitan Tenaga Harian Lepas (THL) merupakan konsekwensi logis dan juridis dari adanya Otonomi Daerah pada tahun 1999. Sistem dan tata kelola pemerintahan berbasis kinerja yang diawali dengan kajian masalah atau permasalahan yang menghasilkan kebijakan dengab instrumen input, output, outcome benefit dan seterusnya.

Awal otonomi daerah diwarnai dengan komputerisasi di seluruh kantor. Kondisi pegawai dan pejabat satu dua saja yang bisa mengutak-atik komputer. Nah, untuk menggerakkan roda administrasi pemerintah demi sistem berbasis kinerja tersebut di atas maka diperbolehkan SKPD merekruit tenaga pendukung program dgn syarat absolut menguasai komputer.

Dengan demikian, tidaklah heran kalau setiap kantor bisa merekruit 5 sampai 10 tenaga dengañ asumsi setiap bidang seksi dan fungsi memiliki program. 

Tenaga itu melekat pada program. Bagian integral dari program atau kalau mau menggunakan istilah Bupati Manggarai bahwa Tenaga Harian Lepas (THL) itu merupakan solusi, bagian dari pemecah masalah dan bukan membawa masalah. 

Secara prosedur, baik administratif maupun politik, program dan anggaran untuk program itu diajukan ke DPRD untuK memperoleh status legal formalnya.

Hal tersebut namanya APBD THN. Jadi, setiap Tenaga Harian Lepas (THL) tersebar di setiap program tahunan dan hanya untuk tahun itu. Dan karena tersebar di setiap program maka, bisa masuk akal kalau tidak terbuka perekrutannya.

Di samping karena tuntutan di bidang komputerisasi, kenyataan lain juga di awal reformasi itu adalah dengan pembentukan banyak lembaga otonom dengan nama SKP atau OPD itu terdapat kekurangan pegawai pendukung program seperti tergambar di atas, maka dimana-mana, seluruh Kabupaten Kota dan Propinsi merekrut banyak tenaga. Jadi, apapun namanya, baik THL, tenaga kontrak, pegawai honor tenaga honor lepas, dan lain-lain; status hukum administrasinya satu dan sama, yakni pendukung atau pengelola tekhnis program.

Hal ini berarti mereka tidak melamar ke Bupati dan juga tidak dengan SK Bupati. Hubungan kerjanya dengan Kepala Dinas pengguna anggaran yang tertuang dalam perjanjian kerja.

Lalu, dalam perkembangan selanjutnya bahwa tenaga-tenaga ini terpakai terus menerus secara berturut-turut sampai lima tahun bahkan lebih. Di pihak lain, ada keluhan Pemerintah Pusat terkait banyaknya belanja pegawai, termasuk untuk gaji THL ini.

Pemerintah bingung

UU tenaga kerja melarang penggunaan tenaga yang dipraktekkan oleh Pemda seperti ini. Dilematis. Atau dengan kata lain bahwa maju kena dan mundur juga kena. Mau di-PNS-kan namun terbentur dengan anggaran. Dan mau dirumahkan juga namun ini anak bangsa. 

Maka, keluarlah Kebijakan Pusat untuk memproses tenaga-tenaga kontrak itu melalui format K1 K2 yang oleh UU ASN, format K1 K2 ini ditransformasikan melalui jalur yang sekarang disebut PPPK dengan segala aturan tekhnis perekruitannya.

Lantas, bagaimana setelah UU ASN ini diberlakukan penuh? Hanya ada dua kelompok ASN, yaitu PNS dan PPPK. Lalu, pertanyaan mendasar, apa yang harus dilakukan oleh Pemda terkait THL ini? Kita temukan fakta yang berbeda.

Ada Bupati yang tidak tunggu dilarang dan ditegur, tidak hanya stop-kan perekrutannya yang baru dan malah merumahkan yang sudah ada. 

Ada yang dirumahkan dengan kemanusiaan berupa modal usaha dan ada juga yang tidak. Tetapi, ada Pemda yang justru tetap merekrut tenaga harian dengan membuka lamaran ditujukan pada Bupati, baik dengan memberhentikan yang lama maupun tidak. Atau dengan kata lain, tenaga harian pengakatan baru.

Setiap pemimpin tentunya punya gaya dan seleranya. Itu sah. Dengan konstelasi dan kompleksitas problematika seperti cerita di atas. 

Menurut saya, Pemda perlu mendorong dan memfasilitasi THL untuk menjadi PPPK dengan kriteria umur, masa kerja, kompetensi, kinerja, disiplin dan sebagainya. 

Alasan hukumnya jelas. PPPK adalah mekanisme hanya untuk tenaga honor atau THL yang mau jadi ASN. 

Di sana ada ruang politik untuk itu. Substansi dan prosedur sama antara K1 dan K2 yakni mereka yang memiliki kualifkasi tertentu seperti guru, perawat, bidan, tenaga inovator, umur, masa kerja dan sebagainya. Kasihan tenaga yang sudah di atas lima tahun. *

*Agustinus Kabur adalah seorang pensiunan yang lama mengabdi di lingkup pemerintahan,  menjadi Kader Partai Demokrat. ***

RELATED NEWS