Protes Proyek Geothermal, Masyarakat Adat Wae Sano Duduki Kantor Bupati Mabar

redaksi - Jumat, 04 Maret 2022 14:44
Protes Proyek Geothermal, Masyarakat Adat Wae Sano Duduki Kantor Bupati MabarMasyarakat Adat Wae Sano di Kantor bupat Mabar, menola proyek pembanguan geotherma di wilayah adat mereka, jumat, 04 Maret 2022. (sumber: Tedy N)

LABUAN BAJO (Floresku.com) -Masyarakat adat Wae Sano menduduki kantor Bupati Manggarai Barat (Mabar). Masyarakat itu kembali melakukan aksi protes terhadap proyek geothermal di kampung mereka, Jumat, 4 Maret 2022.

Berdasarkan pantauan media ini, masyarakat adat Wae Sano tiba di Labuan Bajo pada Jumat, 04 Maret 2022, sekitar pukul 09.30 WITA.

Sebelum menggelar aksi lebih lanjut, masyarakat adat itu menuju gereja paroki Roh Kudus Labuan Bajo untuk berdoa.

Kepada media ini, Bapak Frans Napang selaku koordinator aksi menjelaskan, mereka pergi ke gereja dalam waktu yang singkat untuk berdoa, memohon pertolongan Tuhan untuk perjuangan mereka.

"Semoga Tuhan menyertai perjuangan Kami melawan kekuasaan yang semena-mena bertindak kepada kami rakyat kecil ini", Tutur Frans

Ketika dimintai tanggapan mengenai sikap uskup Ruteng terkait MOU dengan pihak perusahan atau pemerintah, Frans mengucapkan terima kasih atas pandangan Uskup, terlepas itu benar atau tidak.

"Tentunya kita patut berterima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat dalam isu-isu proyek geothermal di Wae Sano, termasuk Bapa Uskup Ruteng. Kepada yang mulia Bapak Uskup Ruteng, MGR. Sipri Hormat, kami berterima kasih untuk pandangannya, terlepas itu benar atau salah", kata Frans.

Ia juga melanjutkan, MoU yang dibuat antar otoritas keuskupan Ruteng dengan pihak perusahaan itu hal yang biasa.

" saya kira soal MoU Uskup dengan pemerintah, itu hal biasa saja. Itu'kan Nota kesepahaman, apakah benar benar paham atau pura pura paham, saya tidak tahu.  Semoga Tuhan memberkati niat tulus perjuangan semua pihak itu", ujarnya.

Setelah berdoa di gereja, warga melakukan long march menuju kantor Bupati Mabar dan diiringi musik tradisional gendang dan gong serta lagu lagu adat/folk song.

Di kantor Bupati Mabar mereka menggelar festival hasil bumi mereka, setiap warga masyarakat adat memamerkan hasil buminya, berdiri sepanjang jalan di depan Kantor Bupati dengan tangan kanan masing-masing massa aksi menenteng hasil bumi seperti kelapa, umbi umbian, buah buahan dan sebagainya.

Ibu Maria Yuliana Frida, disaksikan media ini, bersuara keras menolak eksplorasi atau eksploitasi di tengah ruang hidup warga wae Sano.

" Saya dan semua ibu-ibu yang hadir di sini meminta dengan segala kerendahan hati kepada Bank dunia, tolong stop pendanaan atas proyek ini. Kami punya anak-anak. Ruang hidup kami juga buat mereka nanti. Tolong, tolong", Seru ibu tiga anak itu dengan nada sujud.

Saat melakukan dialog dengan Bupati Mabar, massa aksi itu tetap memegang poster-poster di tangannya. Tulisan poster itu bermacam-macam, salah satunya, yaitu 'jangan gandaikan rakyatmu kepada korporasi'.

Proyek Panas bumi Wae Sano yang dikelola PT. Geodipa Energy sebagai perusahan berstatus spécial  mission vihicle di bawah kementrian keuangan menuai protes keras masyarakat adat wae Sano lantaran pemetaan zona eksplorasi yang kelak akan dieksploitasi dinilai akan sangat mengancam ruang hidup  masyarakat setempat.

Ancaman ruang hidup itu berkaitan dengan seluruh harmonisasi kehidupan mereka sebagai masyarakat adat Wae Sano.

Frans Napang menjelaskan, ruang hidup yang dimaksud sangat jelas, yaitu Gendang One, Lingko Peang, Compang Dari, Wae Teku, Uma Duat. Oleh karena itu, siapapun jangan menganggap remeh argumentasi ini, karena argumentasi ruang hidup itu berbasis pada perspektif keadilan antar generasi.

"Kecuali jika pemerintah dalam keadaan sakit kepala atau tidak waras, maka pandangan ruang hidup itu dinilai tidak penting, absurd atau kabur", tegasnya.

Aksi menolak kehadiran proyek geothermal di Wae Sano sudah berulang kali terjadi sejak tahun 2018. Tetapi, sampai saat ini belum ada tanggapan serius atau perubahan sikap dari pengambil kebijakan.

Sejauh ini malah menuduh sikap warga dengan tagline "pokoknya tolak". Apakah mereka sengaja tak paham alasan warga soal ancaman ruang hidup ataukah memang acuh tak acuh dengan alasan dasar dari suara penolakan itu.

Warga Wae Sano menilai bahwa sejauh ini pemerintah dan perusahaan hanya melakukan praktik pemaksaan kehendak dengan cara masa bodoh  terhadap suara-suara masyarakat, lalu berupaya menyerang dengan hasutan kecil seperti "pokoknya tolak dan sebagainya".

Justru yang terjadi sebenarnya adalah perusahan dan pemerintah melibatkan warga dengan spirit pokoknya proyek ini tidak ada alasan untuk dibatalkan atau ditolak. (Tedy N.)

RELATED NEWS