SOROTAN: Saatnya Memikirkan Kembali Penggunaan Media Sosial Kita (Bagian I)

redaksi - Kamis, 25 Januari 2024 14:03
SOROTAN: Saatnya Memikirkan Kembali Penggunaan Media Sosial Kita (Bagian I)Ilustrasi: Anak-anak menggunakan smarphone untuk mengakses media sosial dan game online. (sumber: Kompas.com)
Maxi A. P


Oleh: Maxi A. P
SAAT ini ada 4,95 miliar pengguna media sosial secara global. Diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi  5,17 miliar pada akhir tahun 2024 ini. Ini berarti sekitar 70 persen  populasi global berinteraksi melalui media sosial. 

Di Indonesia, media sosial semakin mewabah ke seluruh lapisan masyarakat. Data Digital 2023 yang dipublikasikan We Are Social dan Meltwater menyebutkan, ada 167 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2023.

DemandSage dalam publikasinya pada 9 Januari 2024 menyebutkan bahwa jumlah pengguna media sosial di Indonesia saat ini telah mencapai 217,53 juta orang. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengguna media sosial terbesar keempat di dunia, setelah Cina: 1,021.96 juta,  India: 755.47 juta, dan Amerika Serikat: 302, 25 juta. 

Anak-anak dan remaja

Secara global, penetrasi media sosial tidak hanya menyasar kaum dewasa, melainkan juga anak-anak dan remaja.  Data Qustodio menunjukkan bahwa sebanyak 41 persen  anak usia 4-18 tahun di seluruh dunia menggunakan TikTok.  

Kemudian, 37 persen anak-anak dan remaja menggunakan facebook, dan 33 persen menggunakan Snapchat.

Anak-anak dan remaja Indonesia juga semakin terkoneksi dengan media sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat, 88,99 persen anak usia 5 tahun ke atas di Indonesia sudah mengakses internet untuk media sosial. 

Selain media sosial, sebanyak 66,13 persen persen  anak usia 5 tahun ke atas di Indonesia juga mengakses internet untuk mendapat informasi atau berita. Ada pula yang mengakses internet untuk hiburan sebanyak 63,08 persen

Kemudian, sebanyak 33,04 persen anak usia 5 tahun ke atas yang mengakses internet untuk mengerjakan tugas sekolah. 

Ada pula 16,25 persen anak yang mengatakan mengakses internet untuk keperluan pembelian barang/jasa dan 13,13 persen untuk mendapat informasi barang/jasa.
Lalu, sebanyak 13 persen anak usia 5 tahun ke atas yang mengakses internet untuk mengirim atau menerima email. 

Ada pula yang menggunakan internet untuk mengakses fasilitas finansial 7,78 persen penjualan barang/jasa 5,33 persen, dan lainnya 4,74 persen.

Adapun, sebanyak 98,70 persen anak usia 5 tahun ke atas mengakses internet menggunakan ponsel pintar. Sisanya menggunakan laptop 11,87 persen, komputer desktop 2,29 persen dan lainnya 0,18 persen

Pertumbuhan penggunaan internet dan media sosial di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia, salah satutnya didorong oleh kebijakan pemerintah mempromosikan literasi digital.

Anak-anak dan remaja Indoensia  tergerak untuk memegang gawai dan berselancar di dunia maya, karena sekolah-sekolah ‘mewajibkan’ mereka memanfaatkannya untuk kegiatan pembelajaran.

Selain itu, di lingkungan keluarga,  tak sedikit  orangtua dan anggota keluarga dewasa mengenalkan gawai kepada  anak-anak, bahkan sejak usia sangat dini. 

Entah sekadar gaya hidup misalnya terkesan modern,  atau sekadar memanjakan ana-anak agar tidak rewel dan mengganggu aktivitas orangtua.

Makanya, di banyak keluarga, baik yang hidup di kota-kota kabupaten mapupun di kampung -kampung di Flores, anak-anak balita tampak terbiasa memegang smartphone  sambil menikmati hiburan media sosial seperti Youtube, Tiktok, atau bermain game online.

Dalam banyak kasus, anak-anak dibiarkan memelototi smarphone berjam-jam lamanya, sampai-sampai mereka tidak berminat untuk melakukan aktivitas lain, termasuk makan dan minum.

Keranjingan memanfaatkan smartphone untuk bermedia sosial dan bermain game  online juga  terjadi di kalangan remaja. Entah secara sendiri atau berkelompok, para remaja menghabiskan banyak waktu untuk berselancar di dunia maya.

Di Nagekeo misalnya, para wanita penenun di sejumlah kampung  mengeluhkan bahwa mereka kesulitan mewariskan ketrampilan menenun kepada para generasi yang lebih muda.

“Para remaja wanita sekarang enggan untuk belajar  menenun kain tenun tradisional karena mereka lebih tertarik pada media sosial,” kata Siti, penenenun senior di Nggolo Mbay, Kecamatan Aesesa.

Dampak negatif di balik manfaat positif

Berbagai penelitian menemukan bahwa ada kecenderungan besar bagi remaja untuk percaya bahwa penggunaan media sosial lebih berdampak positif terhadap kehidupan sehari-hari mereka dibandingkan dampak negatifnya.

Sebagai misal, survei yang dilakukan Flourensia Sapty Rahayu dan kawan-kayawan (2019) di Kabupaten Sleman, Yogakarta mengungkapkan bahwa   media sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri yang membuat jumlah pertemanan mereka semakin bertambah dan kemampuan bersosialisasi mereka menjadi lebih baik, dan dengan penggunaan media sosial para remaja menjadi dapat mempelajari tata krama dan sopan santun bahkan mereka juga dapat belajar bagaimana cara untuk menghargai orang lain. 

Manfaat  positif lainnya  dari bermedia sosial adalah para remaja menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan ekspresif dalam mengemukakan perasaan kepada teman-temannya di media sosial. 

Mereka merasa lebih leluasa berkomunikasi karena tak perlu bertatap muka langsung.
Bahkan sebagaian sebagian besar remaja menyatakan telah merasakan keempat pengaruh positif penggunaan platform media sosial. 

Sebanyak 80 persen remaja mengatakan mereka menjadi lebih terhubung dengan teman-temannya, Lalu, 71 persen  lainnya percaya bahwa mereka dapat mengekspresikan kreativitas mereka, Sebanyak  67 persen merasa mereka menerima dukungan ketika secara emosional sedang lemah, dan 58 persen merasa kepercayaan diri mereka meningkat. 

Sebaliknya, 38 persen remaja melaporkan sangat kewalahan dengan apa yang terjadi di platform media sosial. 

Sekitar tiga dari setiap sepuluh remaja merasa ditinggalkan oleh teman-temannya mengenai hal-hal yang sedang digemari, sementara 29 persen merasa aktivitas teman-temannya menekan mereka secara online untuk memposting konten yang akan menghasilkan banyak suka dan komentar.

Namun, 23 persen remaja mengatakan bahwa apa yang mereka lihat di halaman media sosial membuat mereka merasa tidak enak dengan kehidupan mereka. 

Para peneliti mengungkapkan, dampak media sosial terhadap remaja bergantung pada usia, jenis kelamin, dan lokasi geografis. 

Dibandingkan dengan anak laki-laki pada usia yang sama, perempuan di usia remaja memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk merasa bahwa media sosial memberi mereka platform untuk mengekspresikan kreativitas mereka. 

Sekitar 45 persen remaja perempuan merasa tertekan oleh apa yang terjadi di media sosial, sementara hanya 32 persen remaja laki-laki pada usia yang sama berpikiran sama.

Kekuatiran para ilmuwan

Meski membawa banyak manfaat, media sosial menimbulkan kekuatiran banyak pihak, tak terkecuali di kalangan para ilmuwan yang  melakukan studi secara sstematis mengenai dampak negatif media sosial.

Belum lama ini, Dr Murthy, seorang Ahli Bedah Umum di Amerika Serikat mengeluarkan nasihat setebal 25 halaman mengenai penggunaan media sosial dan dampak negatifnya terhadap generasi muda . 

Memang, ini bukan pertama kalinya kaum ilmuwan dan  organisasi advokasi besar menyuarakan kekhawatiran mengenai media sosial dan generasi muda.

Bahkan, pada tanggal 14 Februari nanti, kepala ilmuwan dari American Psychological  Association akan memberikan kesaksian di depan Komite Kehakiman Senat AS mengenai kekhawatiran serupa. 

Selama bertahun-tahun, terlepas dari manfaat media sosial, sejumlah besar bukti telah terkumpul mengenai banyaknya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap generasi muda, terutama mereka yang terlibat di dalamnya setiap hari.

Dalam catatannya, Dr. Murthy menulis begini: “Sekarang ini anak-anak terpapar konten berbahaya di media sosial, mulai dari konten kekerasan dan seksual, hingga penindasan dan pelecehan. 

Bagi banyak anak, penggunaan media sosial mengganggu tidur mereka dan waktu berharga mereka bersama keluarga dan teman. 

Sekarang kita berada di tengah-tengah krisis kesehatan mental generasi muda, baik di tingkat nasional maupun di Tingkat global. Dan, salah satu biang keroknya adalah media sosial.”

Yang lebih mengkuatirkan lagi adalah hasil survei terbaru yang menemukan bahwa anak-anak dan remaja di dunia menghabiskan rata-rata 3,5 jam sehari di hadapan gawai untuk mengakses media sosial. 

Padahal, penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di hadapan gawai digital mempunyai risiko dua kali lipat mengalami gejala kecemasan dan depresi serta berisiko mengidap penyakit berbahaya seperti kanker akibat radiasi.

Selain itu, media sosial secara konsisten terbukti dikaitkan dengan reaksi tubuh pada anak-anak dan remaja  yang menyebabkan mereka kurang berselera makan dan enggan melakukan aktivitas fisik atau berolahraga. 

Secara psikologis, akses ke media sosial yang berlebihan akan menimbulkan penurunan harga diri dan mengimbulkan konsep diri yang  mengambang.

Sementara itu, remaja usia 10-19 tahun mengalami periode perkembangan otak “sangat sensitif” yang terkait dengan pengambilan risiko, identitas, regulasi emosi, dan bidang penting lainnya yang memiliki dampak jangka panjang. 

Berbagai penelitian juga menemukan bahwa media sosial mungkin dikaitkan dengan perubahan nyata di otak, yang melibatkan korteks prefrontal dan amigdala, yang dapat meningkatkan kepekaan emosional terhadap umpan balik sosial. 

Dengan kata lain, terdapat kekhawatiran nyata bahwa media sosial mempersulit anak-anak dan remaja untuk mengatur keadaan afektif mereka, dan memfasilitasi peningkatan kerapuhan emosional yang menyebabkan banyak dampak negatif pada kesehatan mental. (Bersambung). ***
 

Editor: redaksi

RELATED NEWS