SOROTAN: Analisa Yuridis atas Polemik Tanah Nangahale di Kabupate Sikka

redaksi - Minggu, 26 Januari 2025 21:09
SOROTAN: Analisa Yuridis atas Polemik Tanah Nangahale di Kabupate Sikka RD. Emanuel Natalis, S.Fil., S.H., M.H (sumber: Dokpri)

Oleh : RD. Emanuel Natalis, S.Fil., S.H., M.H.*

KABUPATEN Sikka kembali menjadi sorotan. Kali ini tidak terkait penanganan para pengungsi korban Gunung Lewotobi Laki-Laki, melainkan karena kisruh lahan. 

Harian Kompas, tertanggal Kamis, 23 Januari 2025, menelurkan berita berjudul : "Eksekusi Rumah-rumah Warga di Nangahale Sikka Disebut Tidak Manusiawi". 

Di dalamnya, Kuasa hukum Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut, Antonius Johanis Bala menyatakan : “Bagi kami, penggusuran yang terjadi di Wairhek, Utanwair, dan Pedan merupakan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.”

Rupanya kisruh lahan ini melibatkan dua pihak ini, di satu sisi, ada PT. Kris Rama yang dianggap tidak manusiawi, dan di sisi lain, terdapat Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut, yang diklaim diperlakukan tidak manusiawi.

Hal menarik di balik kisruh lahan ini adalah keterlibatan sejumlah imam/pastor. Disebut di dalamnya RD. Epi Rimo dan RD. Yan Faroka, yang mewakili PT. Kris Rama. 

Apa yang justru disesali oleh Antonius Johanis Bala, yang menyatakan : “Dua pemuka agama sebagai pelaku lapangan dirasa nihil kemanusiaan. 

Akibatnya, umat menjadi korban dari amukan alat berat para gembalanya sendiri.” Pernyataan-pernyataan bernada tendensius di atas, perlu disikapi agar tidak menjadi bola es yang liar. 

Apakah di dalamnya mengandung suatu kebenaran yuridis, ataukah hanya bermain-main dengan asumsi dan klaim tanpa alas hak apapun. 

Tulisan ini berusaha membedah seputar analisa yuridis terkait polemik Tanah Nangahale tersebut.

GEREJA KEUSKUPAN MAUMERE ADALAH GEREJA YANG INJILI DAN MISIONER?

PT. Kris Rama yang merupakan singkatan dari Kristus Raja Semesta Alam merupakan suatu entitas hukum, alias badan hukum. 

Dunia hukum mengenal adanya persoon alias orang menurut hukum, yang dikategorikan dengan naturlijke persoon (manusia) dan recht persoon (badan hukum). 

Sebagai badan hukum, PT. Kris Rama dapat melakukukan perbuatan hukum apapun, sebagaimana manusia, termasuk memiliki hak dan kewajiban. 

Sebagaimana diketuhui, PT. Kris Rama dimiliki oleh Gereja Keuskupan Maumere (baca; Uskup Maumere). Mengingat berdasarkan ketentuan hukum Gereja, hanya Uskup yang diperbolehkan mendirikan badan hukum publik. 

Di sini, menjadi jelas bahwa di satu sisi, hukum di Indonesia mengakui bahwa Gereja Keuskupan Maumere adalah suatu badan hukum, dan di sisi lainnya, Gereja Keuskupan Maumere, mendirikan suatu badan hukum baru, yakni PT. Kris Rama. 

Sebagai badan hukum, PT. Kris Rama berbeda dengan Gereja Keuskupan Maumere, sehingga dengan itu, menurut hukum, setiap perbuatan hukum dari PT. Kris Rama tidak otomatis identik dengan perbuatan hukum dari Gereja Keuskupan Maumere. Termasuk dalam kisruh lahan di Tanah Nangahale tersebut.

Kisruh lahan yang lagi terjadi adalah antara PT. Kris Rama dengan Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut. 

Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut tidak sedang berhadap-hadapan dengan Gereja Keuskupan Maumere, meski harus diakui terdapat para pastor sebagai representasi dari PT. Kris Rama itu sendiri, dan bahwa Gereja Keuskupan Maumere adalah pemilik saham dari PT Kris Rama. 

Karena itu, terdapat 2 (dua) prosedur hukum yang bisa dipertanyakan kepada PT Kris Rama terkait pengosohan lahan yang diklaim dimiliki oleh Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut, yaitu : Pertama, apakah penerbitan SK (Surat Keputusan) terkait Sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) milik PT. Kris Rama sudah sesuai prosedur alias sesuai tata peraturan pertanahan di Indonesia? 

Kedua, apakah upaya penguasaan tanah milik PT Kris Rama, sebagai bukti fisik, sudah sesuai prosedur alias tata peraturan yang berlaku ? 

Jika ternyata, kedua prosedur hukum tersebut, misalnya sudah ditempuh oleh PT. Kris Rama, maka tidak ada alasan lagi bahwa kejadian pembongkaran rumah milik warga, merupakan suatu tindakan yang melawan hukum kasih, alias tidak injili dan tidak misioner. 

Tindakan tersebut merupakan tindakan murni hukum, guna menegaskan kepemilikan hak atas tanah. 

Sama seperti tindakan setiap orang yang tentu harus mengusir dan tidak memperbolehkan orang lain, untuk tinggal dan menetap di tanah miliknya sendiri. 

Di sini terdapat perlindungan hukum yang diberikan oleh negara Indonesia, kepada setiap orang, untuk mempertahankan haknya atas tanah dari setiap tindakan penyerobotan dan juga tindakan apapun yang coba menghilangkan hubungan hukum antara pemilik tanah dengan tanahnya sendiri.

Dengan itu menjadi terang benderang bahwa tindakan PT. Kris Rama dalam mempertahankan haknya atas tanah di Nangahale, adalah perbuatan hukum yang dibenarkan menurut hukum dan tata perundang-undangan di Indonesia. 

Meski pun di sisi lain, diakui  pula bahwa PT Kris Rama dilahirkan oleh Gereja Keuskupan Maumere. 

Suatu lembaga rohani yang kental dan berhakekat sebagai yang injili dan misioner. 

Di sini, pengakuan dan penerimaan akan dimensi Gereja Keuskupan Maumere yang pada hakekatnya adalah gereja yang injili dan misioner, tidaklah sam artinya dengan fakta dimana Gereja Keuskupan Maumere menjadi lembaga yang mempromosikan anarki dan menciptakan chaos di tengah masyarakat. 

Kemanusiaan, injili dan misioner tidak harus bertentangan dan bertabrakan dengan hukum, keadilan dan prosedural penegakan hukum. 

SEBERAPA PENTING PROSEDUR HUKUM DALAM HUKUM DI INDONESIA?

Dalam Ilmu Hukum, hal terkait prosedural hukum sangat diperhatikan, sebab di dalam prosedur terdapat inti dari hukum yakni keadilan, kewajaran dan kepatutan. 

Di bidang legislatif misalnya, setiap peraturan perundang-undangan hanya bisa lahir berdasarkan tahapan yang sudah diatur menurut hukum. Jadi, tidak asal-asalan dibuat.

 Dalam arti bahwa hari ini parlemen berkehendak, maka langsung ketuk palu untuk mengundangkan suatu aturan hukum. 

Di kalangan eksekutif juga berlaku demikian. Apapun perbuatan hukum para pejabat pemerintahan haruslah sesuai tahapan dan proses yang diatur menurut ketentuan yang berlaku. 

Tidak boleh berdasarkan diskresi, atapun kemauan pejabat tersebut. 

Khusus di bidang Yudikatif, prosedur hukum terdapat di dalam Hukum Acara. Barang siapa menjalani hukum acara baik perdata maupun pidana, misalnya, maka telah dianggap telah memenuhi 3 (tiga) dimensi hukum, yakni, kepastian hukum; keadilan hukum; dan kemanfaatan hukum. 

Dengan kata lain, jalankan saja proses dan prosedur hukum, maka disitu sudah ada keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Mengingat berbicara kemanusiaan itu sebetulnya berbicara tentang 3 (tiga) hal di atas, yaitu: Apakah sudah adil ? Apakah sudah memberi kepastian ? Dan apakah sudah mencapai tujuan ? 

Karena tidak mungkin berbicara kemanusiaan sambil justru melanggar keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Jika itu terjadi, hanya ada Anarki dan Chaos. 

Ketika semuanya kembali ke posisi awal, yaitu : “Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua melawan semua)”.

Kisruh lahan yang lagi terjadi antara PT. Kris Rama dengan Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut, dalam pandangan kuasa hukum, Antonius Johanis Bala, adalah dikarenakan pihak PT. Kris Rama diklaim bertindak tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 

Klaim ini menarik, mengingat yang ditawarkan oleh Antonius Johanes Bala adalah PT. Kris Rama harus menggugat warga ke pengadilan. 

Dengan kata lain, menurut Antonius Johanis Bala, tafsiran hukum tentang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan adalah dengan  menggugat warga ke pengadilan. 

Tafsiran hukum tersebut jelas sesat, mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum. Mengingat frasa “sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” tidak harus identik dengan proses yudisial di pengadilan. 

Mengingat adanya ketiga cabang kekuasaan dalam negara, yakni cabang kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), cabang kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan cabang yudikatif (mengadili alias mempertahankan undang-undang). 

Jadi, setelah peraturan perundang-undangan itu lahir, maka setiap perbuatan hukum haruslah berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dan ketika terjadi pelanggaran terhadap perundang-undangan tersebut, barulah kewenangan yudikatif dapat dilaksanakan untuk mengadili. 

Dalam kasus Tanah Nangahale, yang menjadi inti persoalan adalah terbitnya S.K. TUN pejabat negara, yakni S.K. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Tanggal 28 Agustus 2023, sebanyak 10 (sepuluh) Persil dengan nomor sertifikat HGU Nomor 4 (empat) sampai dengan Nomor 13 (tiga belas). 

Di dalamnya, PT. Kris Rama adalah pemilik dari 10 (sepuluh) persil/bidang tanah seluas total 325 Ha. Jika dianggap tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka pihak yang berkeberatan atas terbitnya S.K. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Tanggal 28 Agustus 2023, dapat menempuh upaya hukum, melalui Gugatan Tata Usaha ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Kupang. 

Bukan sebaliknya menyuruh atau mendesak PT. Kris Rama untuk melakukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Maumere.

Klaim agar proses penegakan hukum dalam kasus tanah Nangahale adalah dengan memaksa PT. Kris Rama untuk melakukan gugatan kepada warga yang lagi menguasai lahan milik PT. Kris Rama, jelas merupakan suatu misinformasi dan pembelajaran hukum yang keliru dan tidak masuk akal sehat. 

Kasarnya, hanya orang yang tidak bijaksana saja, yang mau menggugat tanah yang sedang ia kuasai berdasar sertifikat tanah (baca; sertifikat HGU). 

Jika seseorang memiliki sertifikat tanah, maka sekurang-kurangnya terdapat ada 2 (dua) cara agar pihak sebelah yang lagi menyerobot alias menduduki tanah tersebut,  untuk minggat segera, yaitu pertama dengan membuat Laporan Polisi. 

Di sini para penyerobot atlias okupan dapat dipidana dan dipenjara. Kedua, dengan  meminta bantuan Pemda cq. Pol PP agar, pemilik tanah dapat menguasai, termasuk membersihan lahan miliknya meskipun harus dengan menggusur penyerobot atau okupan dari tanah tersebut.

Kedua hal itu merupakan cara yang berdasar hukum alias perundangan-undangan. 

Kedua hal di atas pasti diketahui oleh pihak PT Kris Rama, sehingga tidak terjebak oleh narasi dan klaim pihak Antonius Johanis Balla, yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut. 

Jika menurut Antonius Johanis Balla, tindakan PT. Kris Rama adalah tidak manusiawi, ataupun berpotensi melanggar hukum, ya silahkan hal itu dapat  diteruskan misalnya, dengan membuat Laporan Polisi ke Polres Sikka, ataupun membuat Laporan ke Lembaga Ombudsman, atau juga ke Lembaga Komnas HAM (Hak Asasi Manusia). 

Termasuk dengan membuat gugatan di Pengadilan Negeri Maumere dengan pokok sengketa perbuatan melawan hukum, karena telah merusak dan merobohkan sekian bangunan permanen di lahan milik PT. Kris Rama. 

Namun, yang tidak boleh diikuti adalah klaim dan kemauan Antonius Johanis Balla,  bahwa PT. Kris Rama harus melakukan gugatan kepada warga yang diduga telah menyerobot lahan PT. Kris Rama di  Nangahale. 

Hal itu tentunya hanya berpotensi menjadi sandiwara yang lucu.  Misalnya saja, PT. Kris Rama melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada para warga. 

Gugatan tersebut diajukan di P.N Maumere, dengan domisili para tergugat alias warga adalah tanah yang justru PT. Kris Rama miliki berdasarkan sertifikat HGU. 

Bisa-bisa PT. Kris Rama akan kalah dalam gugatan, dengan alasan gugatan obscuur libel, alias kabur. 

Karena  di satu sisi menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak tanah milik PT. Kris Rama,  tetapi  di sisi lain, PT. Kris Rama sendiri menyatakan dan mengakui bahwa para tergugat lagi berdomisili alias bertempat tinggal di tanah tersebut. Itu satu contoh kecilnya saja.

HUKUM TANAH DI INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA UNTUK KASUS TANAH NANGAHALE 

Dalam Hukum Tanah Nasional di Indonesia, terdapat 4  (empat) hak atas tanah, yaitu : Pertama, Hak Bangsa Indonesia. Kedua, Hak Menguasai Oleh Negara.  Ketiga, Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Keempat, Hak Perorangan seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), HGU (Hak Guna Usaha) dan Hak Pakai. 

Keempat hak di atas, bersumber dari Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang secara prosedural diatur oleh Negara. 

Di sini negara menjadi organisasi kekuasaan yang diberikan hak untuk mengusai dan mengatur tanah milik Bangsa Indonesia.

Setiap orang yg menginginkan tanah, dapat mengajukan pendaftaran tanah kepada negara, termasuk Badan Hukum ataupun Masyarakat Hukum Adat cq. Suku. 

Jika negara menerima pendaftaran tanah, maka negara akan mengeluarkan sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah. 

Sertifikat tanah memberi hak kepada pemilih tanah untuk menguasai dan mengelolah tanah tersebut, termasuk melindungi dan mempertahankan hak atas tanah dari penguasaan pihak lain, misalnya melalui penyerobotan atau pendudukan tanah.  

Dalam kasus-kasus penyerobotan dan pendudukan tanah, maka pemilik tanah berdasarkan sertifikat, dilindungi dan berhak atas kepastian hukum atas tanah. 

Mengingat adanya 2 (dua) jenis penguasaan atas tanah,  yaitu secara yuridis melalui sertifikat tanah, dan secara fisik melalui pengelolaan/penguasaan tanah. 

Sebaliknya jika ada pihak merasa tanah tersebut adalah miliknya, namun dia sendiri tidak memiliki sertifikat, alias sertifikat atas nama orang lain, maka sebaiknya dapat mengajukan 2 (dua) langkah hukum ini, yaitu : Pertama, dengan melakukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (SK BPN) tentang sertifikat tanah tersebut dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. 

Kedua, dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri, agar menyatakan tanah tersebut adalah miliknya, sehingga sertifikat itu tidak memiliki kekuatan hukum. 

Jadi, tidak sebaliknya, dengan meminta atau mendesak agar pemilik sertifikat yang melakukan gugatan atau menempuh jalur hukum lebih dahulu. 

Mengingat siapa yang mendalilkan adanya hak, dan mendalilkan adanya perbuatan hukum melawan haknya tersebut, dapat melakukan upaya litigasi ke pengadilan, dan bukan sebaliknya.

Dalam Kasus tanah di Nangahale, terdapat simpang siur informasi terkait kedudukan hukum sebagai berikut : Pertama, apakah tanah di Nangahale tersebut adalah tanah eks HGU ?Atau tanah milik PT Kris Rama ? 

Kedua, apakah ada masyarakat hukum adat di situ? Artinya apakah ada Perda dan Perbub Sikka tentang Masyarakat Hukum Adat yang memiliki tanah Ulayat di obyek tanah milik PT Kris Rama? 

Jadi harus dibuat terang benderang 2 (dua) hal tersebut, agar  di satu sisi terdapat perlindungan hukum bagi pemilik tanah, dan di sisi lain, terdapat kepastian hukum bagi masyarakat yang merasa memiliki tanah tersebut sebagai tanah ulayatnya.

Di sini klaim tanah Nangahale sebagai tanah eks HGU terbantahkan. Karena ternyata PT. Kris Rama memiliki dokumen kepemilikan tanah, yakni berdasarkan S.K. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Tanggal 28 Agustus 2023, sebanyak 10 (sepuluh) Persil dengan nomor sertifikat HGU Nomor 4 (empat) sampai dengan Nomor 13 (tiga belas). 

Di dalamnya, PT. Kris Rama adalah pemilik dari 10 (sepuluh) persil/bidang tanah seluas total 325 Ha.   Memang menurut sejarah tanah di Nangahale, sebelumnya terdapat 868 Ha, milik PT. DIAG (Dioeses Agung Ende). 

Namun, dalam perjalanan waktu, PT Kris Rama sebagai entitas hukum yang didirikan oleh Gereja Keuskupan Maumere, pasca pemekaran dari Gereja Keuskupan Agung Ende, tinggal menguasai 325 ha. 

Di sini tanah seluas 543 Ha adalah tanah eks HGU, dan kembali menjadi tanah negara.

Terhadap tanah eks HGU tersebut, setiap warga negara Indonesia, dapat melakukan permohonan hak atas tanah, melalui pendaftaran tanah ke Badan pertanahan setempat.

Termasuk Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dapat memohon hak atas tanah ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sikka. 

Sebaliknya, tanah milik PT. Kris Rama tidak merupakan tanah eks HGU, dan karenanya bukan merupakan tanah negara, yang dapat dikuasai dan diduduki oleh siapapun tanpa terlebih dahulunya mendapat hak dari PT. Kris Rama itu sendiri. 

Terhadap tanah milik PT. Kris Rama yang 325 ha, tidak dapat lagi dikuasai oleh Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut. 

Selanjutnya, klaim Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dan tanah ulayatnya di Tanah Nangahale perlu diuji tersendiri. 

Hukum di Indonesia, mengakui masyarakat hukum adat, sepanjang  (faktanya) dia masih ada.

Jadi,  jika misalnya di suatu wilayah, sudah tidak terdapat masyarakat hukum adat yang mendiami tanah ulayatnya, maka tidak dapat dibentuk lagi masyarakat hukum adat di situ.

Seperti membangkitkan Zombie, misalnya. Lagi pula, Indonesia sendiri belum memiliki produk perundang-undangan berupa Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat, yang menjadi dasar legalitas keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. 

Memang di sisi lain, hal itu dapat diterobos melalui produk perundang-undangan berupa Peraturan Daerah, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Bupati/Wali kota. 
Dalam konteks kasus Tanah Nangahale, Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dan tanah ulayatnya di Tanah Nangahale, akan mendapat kepastian hak dan perlindungan hukum, jika sudah ada Perda Kabupaten Sikka dan Peraturan Bupati Sikka, yang isinya pada pokoknya menyatakan dan mengakui keberadaan Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dan tanah ulayatnya di Tanah Nangahale. 

Tetapi, jka ternyata, belum terdapat Perda Kabupaten Sikka dan Peraturan Bupati Sikka, maka klaim Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dan tanah ulayatnya di Tanah Nangahale, adalah klaim yang hanya berlaku ke dalam dirinya sendiri, dan tidak dapat dipaksakan untuk berlaku ke luar, kepada PT. Kris Rama, misalnya. 

Termasuk dengan memaksakan kehendak agar PT. Kris Rama mengakui keberadaan Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut dan tanah ulayatnya di Tanah Nangahale. 

Dengan kata lain, Masyarakat Adat Suku Soge  Natarmage, dan Suku Goban Runut, bukanlah persoon alias entitas hukum, yang menjadi pendukung hak dalam lalu lintas hukum, menurut hukum di Indonesia. Berbeda halnya dengan PT. Kris Rama.

Masih menurut Antonius Johanis Balla, masyarakat tak ingin keluar dari tanah yang telah ditempati, meskipun dari pihak PT. Kris Rama sudah dilakukan beberapa upaya, seperti telah diumumkan di rumah ibadah, dan pengumuman dari Penjabat Bupati Sikka.

 Dalam situasi demikian, maka pembersihan lahan meskipun bukanlah solusi dalam pandangan Antonius Johanis Balla. 

Namun, tindakan pengosongan lahan oleh PT. Kris Rama merupakan tindakan yang taktis dan strategis, demi kepastian dan perlindungan hak atas tanah, milik PT. Kris Rama. 

Dinyatakan tindakan taktis, yakni demi menghindari fenomena tanah terindikasi terlantar, yang dapat membuat PT. Kris Rama kehilangan haknya atas tanah. 

Sebab negara dapat mencabut hak atas tanah dari pemiliknya, yang menelantarkan tanahnya tersebut (baca; tanah absentee). Juga dinyatakan tindakan strategis jangka panjang mengingat adanya Yusriprudensi MA Nomor 329 K/Sip/1957, Tanggal 24 September 1958, yang menegaskan ; “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain, dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking).”

PENUTUP

Kasih dan keadilan akan bertemu dan berpelukan, sekiranya kemanusiaan dan hukum dapat berjalan beriring, tanpa harus saling mendahului satu sama lain. 

Di dalam kemanusiaan terdapat kasih, namun tanpa hukum, kemanusiaan hanya berakhir pada anarki dan kekacauan. 

Sebaliknya, di dalam hukum terdapat keadilan, namun tanpa kemanusiaan, hukum akan berakhir pada penindasan dan kesengsaraan belaka. Kasus Tanah Nangahale haruslah dipandang dalam kaca mata kemanusiaan dan hukum, jika berkehendak agar kasih dan keadilan dapat dialami baik oleh warga, maupun oleh PT. Kris Rama. 

Di sisi lain, negara cq. pemerintah harus hadir untuk memastikan “law and order” sebagai ujung tombak pemecahan kasus ini. Termasuk dengan memastikan para warganya mendapatkan lahan pertanian demi nafkah hidup mereka, melalui program pembagian lahan bagi warga, di tanah yang termasuk kategori tanah negara, seperti tanah eks HGU seluas 543 Ha, di luar tanah HGU milik PT. Kris Rama.

 *Penulis adalah rohaniwan Katolik di Ende, dan dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula – Ende; serta Pengacara PERADI pada Yayasan Bantuan Hukum Pax Et Iustitia, milik Keuskupan Agung Ende.

 

 

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS