AJO MATIM Kutuk Kekerasan oleh Oknum Aparat Terhadap Pemred Floresa

Jumat, 04 Oktober 2024 13:06 WIB

Penulis:redaksi

images.jpeg
Suasana di Poco Leok, kamis (3/10), sejumalah aparat keamanan tampak di antara massa warga yang menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu ke Poco Leok. (Jatam.org)

BORONG (Floresku.com) — Ketua Aliansi Jurnalis Online Manggarai Timur, Nardi Jaya mengutuk keras tindakan kriminal yang dialami Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa, yang diduga dilakukan oleh oknum aparat dan wartawan.

Dalam pernyataan resminya, Nardi Jaya menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan serangan terhadap kebebasan pers.

Ia menyerukan agar pihak berwenang segera menyelidiki dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku, untuk memastikan perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Pemred Floresa mengalami serangan ketika sedang meliput aksi protes warga
Poco Leok menentang proyek geotermal pada 2 Oktober kemarin.

Insiden ini menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk organisasi media dan masyarakat sipil, yang mendesak agar kasus ini diusut secara tuntas.

Ketua AJO menambahkan bahwa keamanan jurnalis adalah hal yang fundamental dalam demokrasi, dan setiap tindakan yang mengancam kebebasan pers harus ditanggapi dengan serius.

Ia juga menyerukan solidaritas antar jurnalis dan media untuk bersama-sama melawan praktik-praktik intimidasi.

Kasus ini menjadi perhatian publik, dengan harapan akan ada tindakan konkret dari pihak berwenang untuk menjaga integritas dan keselamatan jurnalis di wilayah Manggarai raya.

Kronologi Penangkapan (ditulis oleh Herri Kabut, Pemred Floresa)

Pada 2 Oktober, saya berangkat menuju Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai setelah mendapat informasi bahwa tiga orang warga adat Poco Leok ditangkap aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal.

Informasi itu menggerakkan saya untuk meliput aksi itu. Warga dari 10 kampung adat atau gendang di wilayah itu melakukan aksi
yang mereka sebut sebagai “jaga kampung”

Aksi itu berlangsung di titik pengeboran atau wellpad D, di Lingko Tanggong, yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.

Saya berangkat dari Ruteng sekitar pukul 13.10 Wita dan tiba sekitar pukul 14.00 Wita tiba di Lingko Tanggong.

Saat saya tiba di lokasi, situasi sudah tenang di mana warga tidak lagi berkonfrontasi dengan aparat keamanan.

Saat itu warga tampak duduk santai selesai makan siang. Beberapa warga menyapa saya dan saya membalas sapaan mereka. Tampak mobil-mobil aparat, termasuk mobil keranjang Polres Manggarai dengan tiga orang warga dan empat polisi wanita [polwan] di dalamnya.

Beberapa saat kemudian, saya mulai memotret situasi di lokasi itu. Saat itu,tidak satupun aparat keamanan, PT PLN maupun pemerintah yang meneguratau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.

Saya mengambil 10 gambar di lokasi itu dengan foto terakhir menampilkan tiga orang warga dan dua polwan yang sedang duduk di dalam mobil keranjang polisi.

Saat saya mengambil gambar itu, seorang polwan memanggil dan meminta saya naik ke dalam mobil itu.

Polwan itu menanyakan tujuan saya mengambil gambar itu. Saya menjawab, “saya seorang jurnalis.”

 Polwan itu lalu bertanya, “jurnalis dari media apa,?”, saya jawab, “dari media Floresa.”

Merespons jawaban itu, polwan itu kembali bertanya, “mana ID card?.” 

Saya menjawab bahwa saya tidak membawa kartu pers, melainkan surat tugas dan “bisa menunjukan kepada Anda bahwa saya benar-benar merupakan jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.”

Sembari saya memberikan penjelasan itu, tiba-tiba beberapa anggota polisi, baik yang mengenakan seragam maupun yang memakai baju bebas, mendatangi mobil keranjang itu dan meminta saya untuk turun dari mobil itu.

Mereka menuding saya sewenang-wenang naik ke mobil itu, mengatakan seolah-olah itu adalah mobil saya.

Kepada para aparat itu, saya berkata “saya naik ke mobil ini karena diminta polwan.”

Para aparat itu lalu memotong pembicaraan saya dan menyuruh saya turun dari mobil itu.

Saat saya turun, mereka langsung mencekik saya. 

Mereka menggiring saya sejauh kurang lebih 50 meter dari mobil keranjang itu dan sekitar 60 meter dari tempat warga, sambil menanyakan kartu pers saya.

Kepada mereka, saya mengulangi penjelasan saya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa saya adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.

“Silakan kalian memeriksa web Floresa, di situ ada foto saya dan status saya. Bandingkan muka saya dengan foto itu apakah ada perbedaan atau tidak,” kata saya.

Saya juga berkata, “ID card hanya salah satu item yang bisa menunjukkan identitas saya. Masih ada item lain yang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas.”

Tanpa menghiraukan penjelasan itu, mereka terus-terusan menuntut saya menunjukkan kartu pers dan mulai memukul saya, sambil menggiring saya ke samping mobil milik TNI.

Di samping mobil itu, sambil tetap mencekik saya, mereka mulai meninju muka dan kepala saya, menarik tas saya hingga salah satu talinya terputus, dan menendang beberapa bagian tubuh, termasuk kaki.

Aksi itu dilakukan beberapa aparat, wartawan, serta anggota polisi intel yang juga menyebut dirinya sebagai “anak media.”

Wartawan yang ikut memukul saya sebelumnya pernah terlibat konfrontasi dengan salah satu jurnalis Floresa dan seorang kuasa hukum warga adat Poco Leok di Polres Manggarai.

Konfrontasi itu terjadi pada tahun lalu usai tujuh orang warga adat Poco Leok diperiksa karena menolak proyek geotermal.

Mendapat pukulan bertubi-tubi itu, saya berteriak-teriak. Beberapa warga Poco Leok mendekat ke lokasi pemukulan itu dan merekam aksi aparat dan wartawan itu dengan kamera ponsel.

Beberapa warga merekam aksi pemukulan itu dari balik semak-semak, sebelum ketahuan aparat keamanan yang lalu mengejar dan melarang mereka mendokumentasikan pemukulan itu.

Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka.

Mereka mengklaim “potretan saya merupakan bagian dari upaya memprovokasi warga.”

Mereka menuding saya sebagai “anak buah Pater Simon dan provokator.”

Pater Simon merujuk pada Pater Simon Suban Tukan, SVD, direktur JPIC-SVD, lembaga milik Gereja Katolik yang selama ini mendampingi warga Poco Leok.

Mereka juga mengklaim bahwa “kalau mau mengambil gambar, harus minta izin kepada kami.” 

Mereka juga menuding “Floresa selalu membuat berita miring tentang proyek geotermal.”

Di antara mereka ada juga yang sempat meminta KTP saya. Tapi, saya tidak memberikannya. Ada juga yang berteriak “. Ambil borgol! Borgol saja dia!”

Mereka juga menyita tas yang di dalamnya berisi laptop dan kamera serta menyita ponsel saya.

Seorang anggota polisi yang sejak awal mencekik saya yang merampas ponsel.

Ia juga berkata, “saya sudah memantau kau punya pergerakan selama ini.”

Usai berkali-kali memukul saya, mereka lalu memasukkan saya ke dalam sebuah mobil polisi dan mengunci pintunya.

Para aparat itu berkata, “kamu diamankan, bukan ditahan atau ditangkap.” 

Salah satu polisi yang melintas di luar mobil itu berkata, “kalau kamu menulis ‘berita yang lain,’ kami akan pantau.”

Di dalam mobil itu, terdapat seorang polisi yang mengenakan seragam. Dia terus-terusan meminta ID card seraya memotong penjelasan saya.

Beberapa saat kemudian polisi itu keluar dari mobil dan seorang polisi lain yang tidak mengenakan seragam masuk ke mobil untuk menemani saya.

Beberapa saat kemudian, seorang polisi yang mencekik dan menyita ponsel saya masuk ke dalam mobil itu. Dia menaruh tas saya dan menyuruh saya membuka ponsel.

Dia membaca dan memeriksa beberapa pesan WhatsApp saya. Dia mengakses pesan itu baik privat maupun grup. Dia juga memeriksa foto profil WhatsApp dari beberapa teman saya.

Dia juga menanyakan identitas beberapa teman dan warga yang mengirimkan pesan dan foto ke ponsel saya.

Dia juga membaca dan memeriksa pesan dari dua jurnalis yang menanyakan posisi dan keadaan saya.

Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis itu berdasarkan rumusan jawaban yang disusunnya.

Dia berkata, “jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak membawa kartu identitas.” 

Dia juga menyuruh saya menjawab pesan itu dengan mengatakan, “saya lagi ganda [ngobrol] dengan polisi. Sebentar saya pulang.”

Saya membalas pesan itu dalam keadaan ponsel saya masih dipegang polisi itu. Dia hanya menyuruh saya mengetik jawaban.

Mereka juga memeriksa beberapa foto di dalam ponsel saya. Mereka menanyakan identitas beberapa orang yang di dalam foto itu serta menanyakan tempat foto itu diambil.

Mereka juga memeriksa beberapa foto yang menampilkan tiket perjalanan saya ke Jakarta. Mereka juga menanyakan tujuan saya pergi ke Jakarta.

Setelah memeriksa dan membaca pesan saya, polisi itu keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian, dia kembali masuk ke mobil itu dan kembali menanyakan kartu pers saya.

Saya sekali lagi menjawab “saya memang tidak membawa kartu pers, tetapi saya bisa menunjukkan surat tugas saya serta membuktikan kalau saya benar-benar merupakan Pemimpin Redaksi Floresa.”

Saya meminta izin kepadanya untuk memeriksa berkas surat tugas saya di ponsel.

Lantaran berkat surat tugas itu telah dipindahkan ke dalam laptop, saya lalu meminta izin membuka laptop seraya meminta dia membuka web Floresa via ponsel untuk memeriksa dan memastikan status saya sebagai jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.

Saat menunjukkan kepada salah satu polisi berkas surat tugas saya di laptop, dia mengecek sembari berkata “surat tugas ini hanya berlaku selama tiga bulan setelah diterbitkan pada September tahun lalu.”

Saya menjawab “ini surat tugas yang diterbitkan Pemimpin Redaksi Floresa periode sebelumnya saat saya berstatus sebagai kontributor.

Setelah masa berlakunya habis, saya tidak mempunyai surat tugas baru karena saya dipercayakan menjadi Pemimpin Redaksi Floresa.”

“Karena menjadi pemimpin redaksi, saya mempunyai kewenangan untuk membuat surat tugas bagi jurnalis Floresa yang lain.”

Untuk meyakinkan polisi itu, saya menunjukkan surat tugas yang saya
berikan kepada jurnalis Floresa yang lain. Di dalam surat itu, terdapat tanda tangan saya sebagai pemimpin redaksi.

Polisi itu memeriksa dan membuka beberapa berkas di dalamnya termasuk foto dan rekaman wawancara saya dengan narasumber.

Setelah melihat foto dan mendengar rekaman wawancara saya, polisi itu berkata, “kraeng [Anda] kerja macam intel.”

Merespons hal itu, saya berkata, “saya jurnalis, bukan intel.” 

Polisi itu berkata, “saya akui kraeng seorang penulis karena kraeng sangat hati-hati memilih kata.”

Saya menduga polisi itu sebetulnya tahu bahwa saya merupakan jurnalis Floresa karena ia berkata, “saya tahu beberapa tulisan kraeng tentang proyek geotermal.”

Dia juga bertanya, “apa saja yang kraeng tulis tentang proyek geotermal di Poco Leok?”

Saya menjawab, “salah satu tulisan saya adalah wawancara khusus dengan seorang mama dari Poco Leok. Ite [Anda] bisa cek di web Floresa.”

Saya juga meminta polisi yang menyita ponsel saya untuk membuka web Floresa.

Dia menuruti permintaan itu dan menemukan bahwa “kraeng benar-benar merupakan Pemimpin Redaksi Floresa.”

Mendapati informasi itu, dia lalu membuat tangkapan layar atas identitas dan status saya yang tertera di web Floresa.

Setelah mendengar penjelasan dan melihat bukti yang saya tunjukkan, kedua polisi itu berkata, “kalau dari tadi dapat penjelasan seperti ini, kraeng tidak akan ditahan. 

Ternyata kraeng memang Pemimpin Redaksi Floresa.” “Kami akan kena nanti kalau kraeng beri klarifikasi di Polres,” katanya, tanpa
menjelaskan maksud pernyataan itu.

Merespons pernyataan itu, saya berkata, “saya dari tadi berusaha menjelaskan hal ini, tetapi kalian terus memotong pembicaraan saya. Kalian justru memukul saya.”

Mendengar hal itu, polisi yang menyita ponsel saya keluar dari mobil dan berkoordinasi dengan polisi lainnya.

Beberapa saat kemudian, dia kembali ke mobil itu dan menawarkan dua langkah untuk melepaskan saya.

Dia berkata, “sebentar tiga orang warga yang diamankan akan dilepaskan. Mereka akan membuat video klarifikasi dan permohonan maaf karena merusakkan mobil polisi. Apakah kraeng juga mau seperti itu? Ataukah kraeng mau klarifikasi di Polres?”

Merespons pertanyaan itu, saya berkata, “saya pikir-pikir dulu.” Mendengar jawaban itu, polisi tersebut keluar lagi dari mobil dan
berkoordinasi dengan polisi lainnya.

Beberapa saat kemudian, polisi itu kembali masuk ke mobil dan menawarkan hal yang sama.

Dengan mempertimbangkan segala konsekuensi, saya pun memilih untuk langsung memberikan klarifikasi di lokasi itu.

Polisi itu berkata, “nanti kami akan rekam klasifikasinya kraeng. Nanti omong saja kalau kraeng diamankan karena tidak membawa kartu identitas. Terus nanti kraeng juga omong kalau kraeng sudah dilepaskan dalam keadaan selamat.”

Saya pun menyetujui permintaan itu, lalu polisi itu mengizinkan saya keluar dari mobil dan memberikan tas saya, sementara ponsel saya masih disita.

Saya memberi klarifikasi di belakang mobil itu dan direkam oleh dua orang polisi, yang salah satunya ikut mengintimidasi dan memukul saya.

Dalam klarifikasi itu, saya sempat mengatakan “saya ditahan karena tidak membawa kartu identitas.” 

Mendengar itu, mereka meminta saya untuk mengganti kata “ditahan” dengan “diamankan.”

Mereka juga mengarahkan saya untuk mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan dalam keadaan selamat.”

Tetapi, saya hanya mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan.”

Saya tidak mungkin mengatakan “dilepaskan dengan selamat” karena sebelumnya saya dipukuli aparat dan wartawan. 

Setelah itu, mereka mengizinkan saya pulang, tetapi ponsel saya masih disita polisi.

Beberapa saat kemudian, saya kembali dan menemui polisi yang sejak penahanan menemani saya di dalam mobil. Polisi itu yang kemudian meminta untuk mengembalikan ponsel saya.

Saya mulai ditangkap aparat keamanan sekitar pukul 14.37 dan baru dilepaskan pukul 18.00 Wita. Selama saya berada di dalam, polisi keluar-masuk meminta ID card dan tawaran langkah untuk melepaskan saya. (*).