TNI
Rabu, 26 April 2023 08:27 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Petrus Selestinus*
JAKARTA (Floresku.com) - AKBP Yudha Pranata, Kapolres Nagekeo telah mengklarifikasi kepada masyarakat, Media dan juga kepada Pimpinan Polri bahwa dirinya membuat Group WhatsApp Kaisar Hitam Destroyer (GWA KH-Destro) dengan logo tengkorak manusia, bertujuan untuk membina Para Wartawan Nagekeo.
Begitu juga admin GWA KH-Destro adalah AKBP Yudha Pranata, yang beranggotakan beberapa wartawan di Nagekeo, perlu dipertanyakan apa motif di baliknya, apakah sebagai Kapolres Yudha Pranata dibolehkan membina wartawan, siapa yang memberi dia mandat untuk membina wartawan Nagekeo.
Dalam konteks Yudha Pranata selaku penanggung jawab kamtibmas di Nagekeo, apa tujuan Yudha Pranata membangun kekuatan ekstra dengan merekrut segelintir wartawan yang dibungkus dengan kata "untuk membina", karena nyatanya Yudha bukannya membina malah sebaliknya ia mengkambinghitamkan wartawan bahkan membinasakan pada misi-misi tertentu di luar misi Polri dan misi wartawan yang sesungguhnya.
Tugas membina wartawan yang diemban Yudha Pranata, tidak jelas dari mana mandatnya, apakah ada mandat dari Pimpinan Polri atau Organisasi Profesi Wartawan dan apakah Yudha Pranata memiliki kapasitas dan kompetensi untuk membina wartawan, mengingat profesi wartawan adalah profesi yang independen dengan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh Yudha Pranata.
ORGAN TIPU MUSLIHAT
Apa yang dimaksud oleh Yudha Pranata bahwa GWA KH-Destro untuk "membina wartawan" harus dipandang sebagai "tipu muslihat". Sebab GWA KH-Destro adalah organ ilegal yang dilekatkan pada lembaga resmi Polres Nagekeo, mengatasnamakan "pembinaan wartawan", yang melembaga pada institusi Polri di Nagekeo.
Tidak adanya mandat dari Pimpinan Polri kepada Yudha Pranata untuk membentuk organ lain di luar organ resmi Polri, apalagi untuk membina profesi wartawan yang bukan tugas Yudha Pranata dan tanpa mandat dari Organisasi Profesi Wartawan, maka Yudha Pranata telah bertindak melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang atau telah bertindak sewenang-wenang.
Dengan demikian maka GWA KH-Destro, pimpinan Yudha Pranata dan sekelompok wartawan yang menjadi anggotanya, harus dipandang sebagai Organisasi Ilegal yang menunggangi institusi Polri untuk misi dan kepentingan lain di luar visi dan misi Polri dan di luar visi dan misi Organisasi Profesi Wartawan itu sendiri.
Yudha Pranata seharusnya paham bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam sebuah Peraturan Kepala Kepolisian Negara, secara tegas melarang setiap pejabat Polri menggunakan sarana media sosial dan media lainnya untuk aktivitas berupa menyebarluaskan berita tidak benar, mengunggah, memposting ujaran kebencian, radikalisme, dan konten lain yang eksklusiv.
BOHONGI POLRI DAN MASYARAKAT
AKBP Yudha Pranata, berhasil merekrut beberapa wartawan dengan karakter yang menyerupai karakter "destroyer", guna memenuhi kebutuhan organisasi GWA KH-Destroyer itu sendiri.
Buktinya di lapangan Yudha Pranata dan anggotanya sama-sama menggunakan narasi yang vullgar yang bermuatan intimidasi, permufakatan jahat dan teror dengan daya rusak pada mental pihak yang diteror.
Selaku Admin, Yudha Pranata nampak menikmati narasi yang bermuatan kekerasan, merangsang anggotanya dengan perintah agar membuat si wartawan yang jadi target operasinya (TO) stress ("buat dia stress"), dan serta merta muncul narasi ancaman kekerasan, seperti patahkan rahang, buang di sampah dll. Inikah metode dan hasil pembinaan wartawan versi Yudha Pranata.
Oleh karena itu penjelasan Yudha Pranata bahwa GWA KH Destroyer dibentuk untuk membina wartawan, jelas sebagai isapan jempol atau kebohongan dan tipu muslihat secara sengaja, yang tidak hanya ditujukan kepada Media dan Publik di Nagekeo akan tetapi juga kepada seluruh Pimpinan Polri. Di sini Profesi Wartawan jadi kambing hitam ambisi Yudha Pranata.
Dalam percakapan di GWA KH-Destro, kita tidak menemukan karakter dan performa positif wartawan untuk kepentingan kamtibmas, malah sebaliknya menciptakan situasi gaduh, kontraproduktif, bahkan keterbelahan masyarakat, sehingga jauh melenceng dari makna pembinaan itu sendiri, yaitu untuk menghasilkan sumber daya manusia wartawan yang bermutu.
LEBIH POPULERKAN KH-DESTROYER
Apa yang dilakukan oleh Yudha Pranata, justru semakin mempopulerkan GWA KH-Destroyer, ketimbang Polres Nagekeo. Setiap aktivitas Yudha Pranata yang selalu ditonjolkan adalah KH-Drstroyer, bukan program presisi Kapolri Listiyo Sigit atau karya nyata Polda NTT.
Oleh karena itu kita tidak heran kalau Lembaga Ombudsman RI NTT belum lama ini merelease hasil penilaian terhadap kinerja 22 Polres di wikayah hukum Polda NTT, dan hasilnya Polres Nagekeo, satu-satunya Polres yang mendapat nilai terendah, karena minim prestasi akibat lebih banyak mengurusi hal-hal di luar tugas Polri.
Kita tidak menemukan narasi positif yang keluar dari percakapan Yudha Pranata dalam WAG KH Destro, malah terdapat perintah kepada anggotanya untuk buat dia (Patrik) stress.
Kiita juga tidak menemukan Yudha Ptanata menegur anggotanya agar tidak mengunakan narasi yang bermuatan kebencian, permufakatan jahat, teror dan intimidasi kepada kelompok profesi lain dalam percakapan di GWA KH Destro.
Dengan demikian Kapolri dan Kapolda NTT harus segera menonaktifkan AKBP Yudha Pranata dari jabatan Kapolres Nagekeo, untuk menyudahi kegaduhan, keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat Nagekeo, menerjunkan tim Propam untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap diri Yudha Pranata dan seluruh anggota GWA KH Destroyer dengan menyita seluruh Handphone yang mereka gunakan dalam GWA KH Destroyer. ***
*Petrus Selestinus adalah Koordinato TPDI dan Advokat PEREKAT NUSSANTARA.
2 bulan yang lalu