HOMILI: Allah, Sumber Kekuatan dan Hidup Sejati

Minggu, 08 Agustus 2021 08:41 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

GREG.JPG
Pater Gregor Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari Kewapante,, dan dosen STFK Ledalero, Maumere (http://www.stfkledalero.ac.id/)

Oleh P. Gregor Nule SVD

 Minggu XIX B, 08 Agustus 2021

Bacaan 1: 1Raj 19:4-8; Bacaan II: Ef 4:30-5:2; Bacaan Injil: Yoh 6:41-51

ELIA adalah seorang nabi besar, yang diutus untuk mewartakan tentang Allah yang benar dan setia kepada bangsa Israel. Tetapi tanggapan umat pilihanNya selalu di luar dugaan. Mereka mengkhianati Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir serta memberi mereka makan dan minum berkelimpahan di padang gurun. Mereka mengikuti dan menyembah Baal, allah bangsa-bangsa kafir, serta menjadikannya kekuatan dan pegangan hidup mereka. Sikap membangkang dan kepala batu demikian membuat Elia putus asa dan bertekad meninggalkan misinya. Bahkan Elia berdoa kepda Allah mohon dibiarkan mati saja. Ini tanda bahwa Elia sungguh-sungguh tidak berdaya lagi dan sepertinya tidak ada jalan keluar lain, kecuali mati saja.

Namun, sungguh agung dan luhur kasih dan kehendak Allah. Allah memberi harapan baru kepada Elia. Melalui malaekat-malaekatNya Allah memberi makan kepadanya sehingga dia dapat bangun lagi dan sanggup berjalan selama 40 hari hingga mencapai gunung Horeb. Di sana Allah memperlihatkan diri sebagai Allah yang lembut hati dan penuh belaskasihan. Pengalaman iman inilah telah mengubah hati Elia untuk kembali ke tengah bangsa Israel dan melanjutkan perjuangannya, yakni  menjaga agama yang benar, meminta bangsa Israel supaya bertobat dan berbalik lagi kepada Allah yang benar. (Kalau mau hidup dan selamat mereka mesti kembali kepada Allah Israel).

Yesus mengalami penolakan dan sikap tidak percaya dari orang-orang Yahudi. Meski demikian, Yesus  pantang mundur dan tidak pernah mengalah. Ia teguh pada pewartaanNya yang adalah misi perutusanNya di atas bumi.  Kepada orang-orang Yahudi yang bersungut-sungut lantaran mereka telah mengenal siapa Dia, Yesus menegaskan, “Akulah roti hidup yang turun dari surga.  Barang siapa makan roti ini ia akan  hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingku, yang Kuberikan untuk kehidupan dunia”.  Dengan kata-kata ini, Yesus ingin menegaskan bahwa diriNya bukan saja roti dari surga yang menghidupkan, dan bukan hanya iman yang menjadi awal dari kehidupan kekal, melainkan DiriNya sendiri membuat mereka yang percaya dapat bertahan hidup di atas bumi ini. Ini berarti orang yang tidak pernah atau jarang datang kepada Yesus untuk mendengarkan SabdaNya dan menerima tubuhNya, ia telah menolak yang paling utama untuk hidup yang sejati, dan sebaliknya memilih tidak hidup atau memilih mati dalam roh.

Apa yang dapat petik dari bacaan-bacaan hari ini? Pesan pokok tidak lain  adalah kasih Allah yang tak terbatas. Allah adalah kasih dan Ia mahabaik. Maka Allah menjadi sumber kekuatan dan hidup sejati bagi semua orang yang percaya kepadaNya. Itulah sebabnya pemazmur mengungkapkan imannya dengan berkata, “rasakanlah sendiri betapa baiknya Tuhan," (Mz 34:9). 

Ilustrasi. Di sebuah biara yang terletak di lereng Gunung Alpen, ada sebuah mata air pegunungan yang meluap-luap dan berlimpah airnya. Di atas mata air itu ada sebuah prasasti bertuliskan, “Bila orang datang ke mari dan minum airku, aku tak perduli apakah dia akan mengucapkan terimakasih atau tidak. Aku akan tetap mengalir. Betapa indah dan sederhananya kehidupanku: Aku memberi dan senantiasa memberi”. 

Allah adalah kasih maka semua orang yang menerima Allah dan percaya kepadaNya harus hidup oleh dan untuk kasih. Kasih tanpa kesediaan dan kerelaan untuk memberi dan berbagi hanyalah omong kosong. Kasih menjadi nyata lewat rasa prihatin, peduli dan belarasa terhadap orang lain, khususnya mereka yang menderita dan sungguh membutuhkan. 

Jika kasih itu ada dalam diri kita, dan kita hidup oleh dan untuk kasih, maka menurut St. Paulus kepada jemaat Efesus, segala kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaknya tidak ada di antara kita. Kasih melahirkan belarasa dan sikap perduli, sedangkan kebencian melahirkan egoisme dan permusuhan. Kasih dan sikap perduli mendengarkan yang lain dan saling memahami, sedangkan kebencian dan egoisme suka menfitna, menolak dan mencari-cari kesalahan yang lain.  

Yesus mengajak kita untuk datang kepdaNya, percaya kepadaNya dan belajar daripadaNya. Yesus memberi diriNya  untuk kehidupan banyak orang. Dia mengorbankan segalanya semata-mata untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Ia tidak pernah ingat diri. Sumber air dari pegunungan Alpen, terus mengalir dan mengalir; terus memberi dan memberi. Apakah orang yang mengambil dan meminumnya akan mengucapkan terimakasih atau tidak. Ia tidak perduli.  Hidupnya adalah memberi dan senantiasa memberi. 

Maka sebagai pengikuti Kristus, kita hendaknya belajar untuk terus memberi dan memberi tanpa menuntut ucapan terimakasih dan pengakuan orang lain. Hendaknya kita belajar berkorban: korban waktu kita, kesenangan-kesenangan kita, hal yang mungkin paling kita inginkan untuk kebaikan dan kebahagiaan orang-orang di sekitar kita yang sungguh membutuhkan uluran tangan dan perhatian kita. siapakah mereka? Setiap kita tahu siapakah mereka itu.   Mari kita saling mengasihi seperti Kristus telah mengasihi kita. Amen. *

 Kewapante, Minggu, 08 Agustus 2021. 

*Pater Gregor Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari Kewapante,, dan dosen STFK Ledalero, Maumere.