Masa Prapaskah
Minggu, 25 Februari 2024 09:47 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
“Pada Malam Salib, Yesus membuat keputusanNya. Dia lebih suka pergi ke neraka untukmu daripada pergi ke surga tanpamu”
(Max Lucado)
P. Kons Beo, SVD & P. Eman Weroh, SVD
Ini rasanya terlalu nekad. Harus kah membawa Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far, si Ebiet G Ade, yang teramat muslimin itu ke tapak-tapak Alkitab Kristen?
Jika harus merenung beberapa kepingan syair Ebiet dalam cahaya Injil, ini, ada bagusnya, tak boleh ditafsir sebagai ‘bermain-main api’ yang tak perlu untuk menyulut satu bahaya kebakaran polemik identitas nan eksklusif. Tidak!
Ebiet, di dalam karya-karyanya, amatlah kaya dan subur. Dan itu tak mungkin ditafsir dan dicumbui hanya dari sisi tunggal semata. Semua karya Ebiet, katakan begitu, adalah multi tafsir. Tergantung dari mana titik tolak siapapun ingin menggapainya.
Dan, Bang Ebiet itu pun patut diyakini sebagai sosok yang ‘bertumbuh, sambil diperkaya’ dalam rana perjumpaan dengan siapapun dan apapun. Dalam sosok Ebiet dapat tertangkap sosok yang lincah dan lentur lewati berbagai batas. Yang telah berpassingover, lampaui berbagai sekat-sekat kehidupan.
Ebiet berkisah, selepas tahun 1975, ia lebih intens masuk ‘ke wilayah kelompok seniman muda Jogja.’ Berkontemplasi terhadap litania sosok-sosok seperti Halim HD, Linus Suryadi, Ragil Suwarna Progolapati, Ashadi Siregar, Saur Hutabarat, Sutirman Eka Ardhana, Arwan Tuti Artha, Korrie Layun Rampan, Emha Ainun Najib, katakan saja, sanggupkan Ebiet meneropong dalam dan jelas kisi-kisi kehidupan ini.
Dan tak lupa, di memori Ebiet, masih terekam perjumpaannya penuh makna bersama penyair kondang Umbu Landu Paranggi yang dikenal sebagai ‘Presiden Penyair Malioboro.’ Si Umbu, kelahiran Sumba Timur 10 Agustus 1943 itu telah lahirkan banyak penyair muda, dan amat berpengaruh atas mereka dalam nafas puitis kata-kata padat makna.
Maka itulah, dapat ditafsir, bahwa Ebiet dapat menggarami dan menjadi cahaya bagi alam lingkungan. Ia bersuara jelas tentang pergulatan masalah sosial dan perubahan atmosfer zaman.
Ebiet pun merambah pada daya juang dan pergulatan hidup. Hati Ebiet pun ‘memeluk’ cinta, kebaikan dan belaskasih dalam pertalian relasi antar manusia. Ia pun sanggup menatap dengan sorot mata tajam mengenai relasi cinta penuh romantis yang santun dari sepasang anak manusia ‘lelaki dan perempuan.’
Dan tak lupa, kecerdasan spiritual Ebiet terukur dan tertata dalam ungkapan-ungkapan doa sakral. Allah Akbar adalah segalanya dan ‘hanya kepadaNya kita kembali.’ Doa-doa penuh iman yang ‘dipercantik dalam kata dan melodi’ menuntun pendengar kepada sikap beriman penuh teduh dalam bersujud sembah.
Tuhan, dalam Ebiet, ada di ‘kesanaan’ yang dipanggil untuk turun membumi. Untuk menyapa manusia dalam serba tak karuan hati, “Mengapa di tanahku terjadi bencana?” Mungkin tak hanya bencana alam. Bisa pula seputar ‘kasak-kusuk realita politik’ yang selalu mendera.
Namun, mari kita ‘menjaring’ Ebiet G Ade dalam “Dia Lelaki Ilham Dari Surga.” Refleksi sosok Lelaki Ilham dari Surga itu tercover dalam album Camelia 1, di tahun 1979. Ragam interpretasi tentu lahir dari tembang religi penuh makna itu.
Bagi Muhamad Subarkah, misalnya, “Dia lelaki ilham putra dari surga” ditangkap dalam personifikasi Nabi Muhammad SAW. Dan si jurnalis Republika itu ‘tetapkan’ syair-syair lagu itu dalam kerangka religi islami. Itu sebuah lagu yang bertema Isra Mikraj. Satu tanggapan makna yang tak terbantakan. Namun?
Bila mesti pulang kepada Ebiet sebagai komposer serentak pelantun original ‘Dia Lelaki Ilham Dari Surga,’ satu jawaban terbuka segera didapatkan. Ebiet agaknya kaget dengan tafsiran seperti itu.
Walau Ebiet sendiri tak membanta bahwa lelaki ‘yang berjalan melintasi malam’ adalah sosok Nabi Muhammad SAW.
Ebiet berujar lurus, “Oh bisa gitu tafsirnya. Saya menulis lagu itu ya begitu saja. Cuma saya takut dan tak enak hati bila lelaki itu Rasulullah. Sebab, saya tahu persis tafsiran saya akan berbeda dengan tafsiran orang lain.
Maka saya hindari penyebutan sosok itu..” Maka, tidak kah Ebiet terbuka pada tafsiran orang lain, yang selalu luas, kaya dan melebar?
“Dia Lelaki Ilham Dari Surga” bagi penganut Budda bisa saja terarah pada sosok Sidharta Budda Gautama. Dan bagi kaum kristiani, sosok ‘lelaki ilham dari surga,’ yang terlukis jelas dan tegas itu, segera merujuk pada sosok Yesus, yang diimani dalam koridor inkarnasi. Allah ‘yang turun dari kesanaan surgawi menuju kesinian duniawi.’ Dalam segalanya Ia membumi, kecuali dalam hal dosa.
Yesus, yang turun membumi, menjadi manusia telah ‘menempuh semua perjalanan.’ Yang menjelajahi dari satu tempat ke tempat lain ‘sambil berbuat baik.’
Dalam via crucis menuju tempat tengkorak, tidak kah Yesus dari Nazaret itu, ‘lebih lapar dari siapapun, lebih sakit dari siapapun, lebih miskin dari siapapun, dan Ia lebih hina dari siapapun. Tetapi ternyata Ia lebih tegak dari siapapun?’
Pada permenungan Kisah menuju Kalvari, sebuah perjalan penuh derita tak dapat terhindarkan. “Gadis-gadis selalu menyapa karena ia tampan meskipun penuh luka.” Di jalan menuju penyaliban, Yesus yang penuh luka itu menyapa para perempuan Yerusalem yang meratapiNya.
Yesus, sungguh, dalam kehinaan dan ketakberdayaannya, “ternyata lebih tegak dari siapapun.....” Ebiet melukis indah tentang semuanya. Sepertinya Bang Ebiet ‘menguasai kisah-kisah sengsara Yesus’ dan bahkan ia nampaknya ‘menggiring’ jemaat semua pengikut Yesus untuk dalami Kisah-Kisah Yesus dalam Injil. Ebiet melantun:
“Kata-kataNya tak bisa dimengerti. Tetapi selalu saja akhirnya terbukti. Ia lelaki perkasa; ia lelaki ilham dari sorga. Ia lelaki yang selalu berkata: Kita pasti akan kembali lagi kepadaNya.”
Di suatu ketika para murid ditantang Yesus, “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu?” (Yoh 6:61). Para murid tak sanggup pahami kata-kataNya. Saat Ia berkisah tentang jalan deritaNya yang mesti dialami, Petrus bahkan mencegahNya, “Enyalah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Matius 16:23).
Dan, tidak kah di kisah sedih menuju ke Emaus itu, dua murid itu akhirnya masuk dalam kisah ‘terbuka mata’ untuk kebenaran akan kata-kataNya? “Bukan kah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (Lukas 24:32).
Walau tersuara oleh seorang asing, kebenaran tentang Yesus sepertinya terbukti. Lukas, penginjil, mencatat, “Sungguh, orang ini adalah orang benar” (Lukas 23:47). Itulah kata-kata kepala pasukan yang melihat semua yang terjadi, dan memuliakan Allah.
Bagaimana pun pada akhirnya, kita mesti kembali pada Bang Ebiet. Siapakah sosok sesungguhnya “Dia Lelaki Ilham dari Surga?” Toh, itulah kisah batin Ebiet yang personal, yang bisa menjadi endapan yang sekian kaya.
Hasil dari perjumpaannya yang sekian variatif. Tetapi serentak bahwa Ebiet mengundang siapapun untuk menafsirkannya dalam kekayaan dan kedalaman spiritual yang dimiliki.
Yang direnung ini, tentu bukanlah satu claiming yang dipaksakan terhadap Ebiet G Ade. Apalagi bila sepertinya ingin ‘membaptisnya’ dalam aura Dia Lelaki Ilham dari Surga itu ke dalam sketsa Injil kisah Yesus dari Nazaret.
Tetap ada rasa kagum dan terpikat serta semakin beriman akan sosok “Dia yang berjalan melintasi malam.” Untuk “pergi ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah” (Lukas 6:12).
Yang terilham dari surga, pasti akan membawa semuanya, kita-kita ini, pada perjalanan kembali pulang menuju surga.
Sebab, suara Ebiet, “Ia lelaki yang selalu berkata,” sekali lagi, “Bahwa kita pasti akan kembali lagi kepadaNya
*Kedua penulis: Imam - misionaris Serikat Sabda Allah (SVD), asal Ende-NTT.