manggarai
Kamis, 08 September 2022 11:18 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
“Semua kekejaman berasal dari kelemahan”
(Seneca, ahli pidato Romawi, 55 SM – 39 M).
Tak Ribut berarti Tak Ramai
Entah bagaimana sebenarnya hikayat ciri suporter hooligan itu. Tetapi intinya, ada warna teroristik yang sering terjadi. Sudah ter-mitos untuk setiap pertandingan di premier league, Inggris. Atau saat tim-tim Inggris harus ‘berperang’ versus tim-tim luar.
Sepakbola, nyatanya, bukan hanya perkara riuh gempitanya isi stadion. Bukan pula sebatas decak kagum akan esentriknya para pemain menggocek si kulit bundar. Tak cuma itu. Ada hal lain yang lebih dari itu. Itulah keributan yang semakin tak terkendali. Rusak dan menghancurkan!
‘Liturgisasi’ Sepak Bola
Bila tak salah ingat, ada paragonasi sepakbola ibarat ‘satu ritus liturgis.’ Wasit dan hakim garis adalah ‘selebran dan konselebran merangkap ceremoniarius.’ Para pemain ibarat ‘petugas liturgi.’ Ada lagi para supporter yang tampil sebagai ‘populus Dei’ (umat Allah). Yang tampil berpartisipasi aktif walau sebatas ‘koor nyanyian.’ Dan itu membahana nyaris sepanjang ‘irama liturgis’ pertandingan.
Para pelatih dan asistennya tak ubah bagai ‘ketua dan anggota seksi liturgi.’ Mereka aktif berteriak dan beri instruksi. Agar ‘para petugas liturgi,’ ya para pemainnya itu tertib. Dan tepat pula dalam peran lapangan. Dan lagi, ‘stadion sudah diamini bak gedung gereja.’ Edan memang!
Tetapi, pengibaratan seperti ini mungkin hiperbolik. Namun tidak kah bahwa hal itu juga punya warna alegoristik? Bagaimana pun, pelukisan atmosfere stadion yang tak ubah bagai ‘iklim liturgi gereja’ itu terasa ‘masih mendingan.’
Pokoknya Serang
Tetapi, mari kembali ke arus hooliganis yang mencekam. “Di setiap permainan, kami hanya ingin mengalahkan lawan. Yang terbaik adalah menemukan (seseorang) yang akan menantang kami. Jika tidak ada yang berani, kami akan tetap pergi menghajar siapa saja…” Itu kesaksian dari yang berinisial M.M., seorang supporter hooligan di pinggiran kota di Inggris. Ia adalah ayah berusia 30 tahun dari dua orang anak (Eric B. Shiraev & David A. Levy, 2016).
Ini sungguh menakutkan. Ada bibit destruktif yang menggumpal di hati. Menuntut pencairan sesegeranya. Sebab itu, ladang pelampiasan mesti dicari. Dan yang mudah terlacak dan didapati segera adalah arena sepakbola itu. Hooligan tak butuh seperti apa hasil pertandingan itu. Kalah atau menang tetap bermuara pada kerusakan dan penghancuran.
Itulah ekspresi kemenangan atau pun (apalagi) kekalahan. Di balik semuanya ada Motivasi agresif. Sudah jadi sebab untuk rangkaian aksi vandalis atau anarkis. Bikin onar dan ciptakan kerusuhan jadi kegemaran. Namun, apakah kegaduhan sosial ini hanya terlihat sebagai fakta sesaat belaka? Dan stadion dan area seputarnya hanya jadi ajang tragedi tanpa akar?
Menelusuri Sebab
Stadion dan area sekitarnya telah jadi muara teror akibat dari alur hidup tanpa perhatian dan kasih sayang. Ada lagi dendam kemiskinan yang menuntut style hidup layak dan mumpungi. Gap yang lebar membentang antara the poor and the haves terasa mencekik.
Ada pula tindak represif otoritas yang dituduh membenarkan praktek ketidakadilan dan lemah dengan segala yang berbau amis oligarkis-manipulatif. Faktor psikologis pun tak dianggap sepele. Saat orang merasa tertekan, terabaikan hingga pada ‘anjloknya rasa harga diri.’
Perilaku agresif pun jadi tumbuh subur oleh lingkungan yang tak sehat. Deformasi mental perilaku dapat lahirkan semacam ‘konsensus agresif kolektif.’ Lokasi, kelompok, etnis hingga keyakinan miring tertentu sulit untuk tak diwaspadai extra. Sebab warna dan tindak agresivitas sungguh kasat mata.
Bermula dari tarik diri dari rana sosial pada umumnya, jalan menuju padang gurun sektarian inklusif jadi terbuka lebar. Namun ironinya semuanya mengalir dalam kesempitan mental, cara dan isi berpikir. Di situ pun indoktrinasi agresif mulai berkecamba dalam tangkapan diksi serta visualisasi peran dan tindak.
Pola Agresivitas
‘Hajar, serang, hancurkan, babat, sikat, ganyang, hingga tebas’ adalah kosa kata maut yang sudah jadi akrab di telinga. Konsep agresif pun terpantau pada aktivitas permainan anak-anak, misalnya. Efek media sosial dengan ragam tayangan penuh kekerasan pun bisa mempengaruhi anak.
Tetapi, adakah bangsa manusia tertentu yang bebas dari tindak agresif? Kenyataannya tidak! Perilaku agresif terjadi di mana-mana. Tak peduli entah si korban itu sesungguhnya orang yang sama sekali tak bersalah.
Kelompok tertentu dalam masyarakat sering merasa diri miliki hak untuk lakukan kerusuhan. Dan lebih mengerikan bahwa kelompok masyarakat atau golongan tertentu sudah dihalalkan untuk dihancurkan dan diserang.
Alarm yang mesti disikapi
Ganasnya tindakan agresif bisa berawal pula dari ‘bisikan maut’ pada telinga anak-anak. Orang lain, kelompok sana, bahkan tetangga sendiri telah dipaku mati sebagai ‘musuh yang mengacam.’ Tak ada cara lain untuk mempertahankan diri selain mesti berlaku kejam terhadap ‘musuh yang mengancam itu.’
Lebih dari itu, tak bisa dipungkiri kenyataan akan adanya tindak agresif kolektif. “Satu terancam artinya sekelompok merasa terancam pula.” Satu menderita, yang lain turut merasa sakit. Dan semua harus ditanggapi secara kolektif dalam kekerasan pula. Masa tak akan pernah berpikir jernih tentang ‘siapa benar siapa salah.’ Sebab ratio memang telah terpasung.
Hooliganisme dan agresivisme Kata
Tetapi, apakah holiganisme atau tindak agresif itu hanya terbatas pada sikap dan tindak perbuatan? Tentu tidak! Agresivitas verbal pun telah jadi menu keseharian yang nyata. Tindak holiganis sering berawal seruan-seruan maut yang menakutkan dan penuh ancaman.
Kata-kata kasar dan tak senonoh semakin lancang terucap. Diksi-diksi bernada peyoratif dan brutal terdengar menjijikkan. Namun, malah diamini sebagai pekikan heroisme. Dan bahkan dianggap sebagai panggilan menuju ‘kesucian.’
Kini, tidak kah segala aksi demo umumnya ‘sulit bebas’ dari semburan kata-kata yang amat tak beretika dan jauh dari kesopanan? Orang keluar dari jalur hati nurani dalam ekspresi verbal. Lalu, di mana kah akar dari semuanya?
Telaah komprehensif telah tiba pada satu kesimpulan. Aneka faktor bisa disorot sebagai pemicu: psikologi, politik, biologis, sosio-ekonomik serta kultural yang berkaitan dengan motivasi dan perilaku agresif (2016).
Akhirnya…
Jika segala kekejaman, iya termasuk perilaku ‘hooliganis dan agresif’ itu, datangnya dari kelemahan, maka manusia sepatutnya ‘mesti dibikin jadi kuat.’ Kekurangan ilmu pengetahuan yang dilapisi mental dan emosi yang lemah bakal mudah menyala dan membara melalui perilaku agresif.
Tetapi yang selalu mencemaskan adalah saat wawasan dan horison berpikir sungguh terblokir oleh cara dan isi berpikir yang sempit. Jauh dari area terbuka dan luas membentang. Dan pada saat itu pula perilaku hooliganis dan agresif makin tak terbendung.
Di titik ini, mari pulang ke Seneca. Catatan di jago pidato Romawi itu telak, tegas dan tepat. Bisa dirumuskan secara lain bahwa, ‘yang suka bikin onar, ribut hingga lakukan kekerasan adalah ekpresi betapa sungguh lemahnya orang-orang itu.’ Iya, lemahnya mental yang mesti ‘diimbangi’ dengan ‘suara keras membahana. Dan bersembunyi di balik tindakan maut penuh kekerasan.’
Verbo Dei Amorem Spiranti
Kons Beo, SVD
Collegio San Pietro, Roma
sebulan yang lalu
3 bulan yang lalu