jokowi
Senin, 19 Juni 2023 12:45 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
MBAY (Floresku.com) - Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do (Bupati Don) menegaskan bahwa kain tenun Nagekeo adalah produk kecerdasanan tertinggi orang Nagekeo yang harus dilindungi, dilestarikan dan dikembangkan sehingga bisa menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup warga Nagekeo.
Bupati Don menyampaikan hal ini saat membuka acara Bedah (Draf) Buku: Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo, di Aula Setda Kabupaten Nagekeo, Mbay, Jumat, 16 Juni 2023, pagi.
Hadir dalam acara tersebut antara lain Wakil Ketua DPRD Yosefus Dhenga, Ketua Dekrasnada Kabupaten Nagekeo sekaligus Ketua MPIG Tenun Ikat Nagekeo Eduarda Yayik Pawitra Gati, Kadis Pariwisata Silvester Teda Sada, Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Kabupaten Nagekeo, Marselinus Lemara Gani, Kabid Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nagekeo, Willy Lasa bersama seluruh stafnya.
Hadi pula para kepala desa dan pemuka adat serta para wanita penenun perwakilan Kelompok Tenun Tonggo Permai dari Desa Tonggo, Kelompok Tenun To'o Jogho dari Desa Gerodhere, Kelompok Tenun Gezi Ine Gase Ame (GIGA) dari Kampung Nunungongo, Desa Tengatiba, Kelompok Tenun Dhozo Djo dari Desa Tutubhada, dan Kelompok Tenun Sutami Jaya dari Nggolo Mbay.
Draf buku ‘Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo’ adalah hasil kolaborasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo dan Yayasan Alumni Seminari Mataloko (Alesemat) Jakarta, dan ditulis oleh putra Nagekeo, Maxi Ali Perajaka.
Selaku Ketua Panitia Acara Bedah Buku, Kepala bidang (Kabid) Kebudayaan, pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Nagekeo, Wilibrodus Lasa mengatakan penulisan buku Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo adalah salah satu upaya untuk melaksanaan amanat Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan.
Menurut UU tersebut, tindakan yang dilakukan terhadap objek pemajuan kebudayaan yakni inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan.
“Setiap warga negara dapat berperan aktif dalam pemajuan kebudayaan yang meliputi 10 obyek yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Nah, penulisan buku ini adalah salah upaya Dinas P dan K Nagekeo untuk memajukan obyek pengetahuan tradisional,” jelasnya.
Kombinasi empat kecerdasan
Menurut Bupati Don, program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menye-butkan ada empat jenis kecerdasan yang mesti mendapat penekanan.
Pertama, adalah olah kolbu atau olah hati (etika).
“Kita orang Nagekeo memiliki slogan yang kita hayati bersama yakni Too Jogho Waga Sama. Ungkapan tersebut menandakan bahwa manusia Nagekeo sebagai ciptaan Tuhan yang paling tingi martabatnya selalu ingin hidup dalam kerukunan dan bekerja sama atau berkolaborasi untuk membangun dunia yang lebih baik,” kata Bupati Don.
“Jika kita tidak melakukan olah kolbu atau olah hati, maka kita akan turun derajad menjadi sama seperti primata,” ujarnya lagi.
Yang kedua adalah olah seni, olah karsa atau estetika.
“Seni itu menghaluskan budi, menghaluskan perkataan kita, dan menghalus tindakan atau perilaku kita. Seni mengasah dan membangun sensivitas,” jelasnya.
Yang ketiga adalah olah pikir atau literasi.
“Melalui olah pikir, kita menggunakan kemampuan otak kita, baik kemampuan berpikir analitik dan kemampuan berpikir secara arif dan bijaksana,” katanya lagi.
Terakhir, adalah olah raga atau kemampuan kinestik.
“Olah raga dilakukan supaya tubuh atau fisik kita menjadi sehat dan kuat,” ujarnya.
Selanjutnya Bupati Don mengatakan, banyak sekali dari produk budaya Nagekeo, salah satunya adalah adalah kombinasi dari keempat jenis kemampuan atau kecerdasan tersebut.
“Kain tenun ini adalah salah satu contoh terbaik dari kombinasi dari keempat kecerdasan tersebut. Artinya, dalam proses menenun, para wanita penenun memadukan kercedasan hati, cita rasa seni, kemampuan otak dan kekuatan fisik sedemikian rupa sehingga menghasilkan kain tenun dengan aneka motif yang begitu indah,” ujarnya.
Menurut Bupati Don, saat membuat kain tenun dan membuat corak atau motif, para wanita penenun menggunakan cita rasa seni atau sensivitas yang tinggi, tetapi mengombinasikannya dengan kecerdasan otak, kecerdasan kolbu, dan kekuatan fisik.
“Sebagai misal, ketika seorang penenun Mbay menenun Lipa Dhowik, kalau dia menarik pisau tenun untuk merapatkan benang, dia harus melakukan dengan kekuatan yang akurat. Kalau menarik terlalu kuat, salah, begitu juga kalau menarik terlalu lemah juga salah,” ungkap Bupati Don.
Jadi, dia melanjutkan, ‘kain tenun yang kita perbicangkan hari ini, adalah sebuah produk tertinggi literasi numerasi dari orang Nagekeo.
Bupati Don menerangkan, dalam membuat motif, terutama membuat Dhowik, para wanita penenun tidak pernah menggunakan alat bantu atau gambar contoh sebagai bahan contekan.
Tetapi, semua gambar motif itu sudah ada di kepala, di otak mereka. Seluruh proses penenunan dilakukan dengan fokus yang penuh sehingga memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tak pernah ada kesalahan sedikit pun.
Makanya, katanya lagi, biasanya wanita penenun melakukan kegiatan di belakang rumah atau di kolong rumah, supaya tidak diganggu dan tetap fokus.
“Karena ketika seorang mulai menenun, dia akan bertahan mengerjakan selama beberapa jam ke depan, dan menahan diri untuk urusan lain, termasuk untuk urusan privasinya,” jelasnya
Ketika membuat motif Dhowik menggunakan 20, 28 bahkan 30 gugu, para wanita penenun juga harus punya stamina yang tinggi, pinggang harus kuat.
“Ini sekadar mau menggambarkan bahwa kain tenun adalah produk tertinggi yang sudah dicapai oleh Nagekeo,” ujarnya.
Tantangan ke depan
Bupati Nagekeo itu mengatakan bahwa belajar dari proses pembuatan kain tenun yang dilakukan dengan cara yang sangat cerdas dan fokus, orang Nagekeo perlu menciptakan kondisi belajar sedemikian rupa, supaya generasi muda juga fokus mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang dimilikinya sehingga dapat mencapai puncak prestasi, dan bisa menjadi yang terbaik.
“Para ibu penenun, sudah melakukan yang terbaik. Tugas kita semua adalah mengembangkan kualitas kain tenun, melakukan inovasi variasi motif, kombinasi warna dan corak dan lainnya agar dapat diterima oleh pasar secara luas,” kata Bupati Don.
Bupati Don menandaskan, “tugas kita adalah mengembangkan dan menyediakan produk kain tenun dengan tiga kategori, yaitu Dhowik untuk pasar kelas atas dengan harga di atas satu juta rupiah, lalu ada kain tenun untuk pasar kelas menengah dengan harga sekitar 700 ribu rupiah, dan kain tenun yang dijual dengan harga di bawah 500 ribu rupiah”.
“Jadi tantangan kita adalah memproduksi dengan lebih cepat, menekan biaya produksi serendah mungkin, tetapi tetap menjaga kualitasnya. Kalau biaya produksi dapat ditekan lebih rendah, maka kita dapat masuk ke pasar yang lebih massal,” ujarnya lagi.
“Sekarang, saya mau kasih satu tantangan lagi bagi wanita penenun, khususnya para pene-nun Mbay untuk menenun pada logo brand Nagekeo the Heart of Flores dengan motif Dhowik,” katanya sambil menatap sekolompk wanita penenun Lipa Dhowik asal Kampung Nggolo Mbay.
Kita berharap, dia melanjutkan, itu akan membuat logo brand Nagekeo the Heart of Flores tampil berkelas, sejajar dengan brand-brand terkenal seperti brand Qatar Airlines, Lufthansa Airlines, Singapore Airlines dan yang lainnya.
Posisi dilematis
Sementara itu, Maxi Ali mengatakan berdasarkan angket dan wawancara langsung dengan para penenun di lima kelompok tenun dari lima desa yang tersebar Kecamatan Nangaroro, Boawae, Aesesa Selatan dan Aesesa, tampak bahwa para wanita penenun sedang dalam posisi dilematis.
“Mereka sedang berada di persimpangan jalan. Pada satu sisi mereka ingin mempertahankan nilai keaslian kain tenun dengan menggunakan benang tradisional dan pewarna alamiah. Tetapi pada sisi lain mereka pun ingin meningkatkan nilai komersial kain tenun: menenun kain dengan menggunakan benang modern supaya kain tenun menjadi lebih ringan, memakai bahan pewarna sintetis supaya menghasilkan warna yang tegas dan tahan lama, dan melakukan modifikasi motif supaya sesuai selera konsumen,” ungkapnya.
Posisi dilematis ini makin terasa karena di satu sisi, ada dorongan dan juga harapan dari pemerintah dan masyarakat konsumen supaya kain tenun Nagekeo menjaga keasliannya dengan menggunakan bahan baku alamiah seperti benang dari kapas dan bahan perwarna dari tumbuh-tumbuhan.
Sementara itu, bahan baku yang alamiah seperti kapas, tanaman yang dapat dijadikan bahan pewarna alami semakin langka atau susah diperoleh.
Namun, di sisi lain, ada desakan juga agar kain tenun terus melakukan efisiensi produksi dan inovasi motif, sementara peralatan tenun yang digunakan adalah alat tenun tradisional yang sangat sederhana.
“Ini perlu dikaji secara lebih serius sehingga dapat dibuat pemetaan, mana kelompok tenun yang fokus melestarikan kain tenun tradisional, mana kelompok yang perlu melakukan inovasi-inovasi motif sehingga kain tenun Nagekeo dapat mendapat pasar yang semakin luas,” ujar Maxi.
Menurut Maxi, untuk mengatasi kelangkaan bahan baku benang dan pewarna alamiah, perlu ada gerakan revitalisasi budi daya kapas dan tanaman perwarna alamiah, sehingga para penenun tidak kesulitan untuk mendapatkannya. (Silvia/D. Jo). ***
2 bulan yang lalu
3 bulan yang lalu