CERBUNG: Wanita Penagih Janji (Part 6)

Jumat, 05 November 2021 20:42 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
Isidora Anggraini Thelma Da Gomez (Dokpri)

TRAINING hari pertama cukup menguras tenaga. Melakukan briefing, serta perkenalan dengan semua pegawai koperasi sedikit menghibur hati yang tengah gundah dirundung lara.

Banyak pegawai mulai kukenal, termasuk beberapa pria seusiaku yang memiliki kedudukan lebih di tempat ini. Beberapa pegawai wanita pun mulai akrab, hanya saja seperti biasa aku tetap membatasi diri.

Tiba di indekos, saat hari menjelang sore. Beberapa pesan masuk dari Adel yang memberikan semangat di hari pertama diri ini bekerja, kubalas dengan ucapan terima kasih. Sahabatku itu memang pengertian dan begitu peduli terhadapku.

Aku menghela napas lelah. Beristirahat sejenak di atas kasur, mata ini perlahan memejam. Malam ini, aku harus memenuhi permintaan Ari untuk bertemu. Berbagai tanya yang selama ini berkecamuk harus segera mendapat jawaban. Iya, aku memang membutuhkan jawaban dari pria itu, dan dialah yang menjadi penyebab diri ini berada di Merpau.

"Semoga pertemuan ini akan baik-baik saja," gumamku lirih.

***

Memakai jaket jeans dan topi hitam, aku menunggu Ari di parkiran, tempat pertemuan kami kemarin. Sudah hampir setengah jam, dia belum menunjukkan batang hidungnya. Malam ini terasa begitu dingin, meski tubuhku sudah dibalut jaket.

Beberapa kali, kuusap lengan sekadar mengusir hawa dingin yang menerpa. Manik milikku berpendar, mencari sosok Ari di antara para pengunjung tempat ini.

Hingga sebuah tepukan pada pundak kiriku, berhasil mengejutkan. Berbalik, kutemukan Ari yang sudah berdiri di depanku dengan wajah datar.

Aku tersenyum, dan Ari sama sekali tak membalas senyumanku. Dia hanya memberi kode agar aku mengikuti langkahnya. Ternyata, dia membawaku pada lapak jagung bakar yang kemarin menjadi tempat makanku dan Dian.

Duduk bersila, aku menunggu Ari yang pergi memesan pesanan kami. Tenda yang dipilih Ari sepi, mungkin dia sengaja mencari tempat seperti itu untuk pembicaraan antara kami.

Kami duduk berhadapan dalam diam untuk sesaat. Hingga detik ini, aku masih mengagumi Ari, bahkan tetap mencintai pria itu.

"Ehem!"

Lamunanku buyar. Aku terkekeh hambar, lalu membuang muka untuk menghindari tatapan Ari.

"Jadi, apa yang membuatmu berada di sini, Tita?"

Ari mulai membuka percakapan dan inilah saatnya bagi kami untuk saling kembali berbicara seolah sedang bernostalgia.

"Kamu adalah penyebab keberadaanku di tempat ini."

Jawabanku membuat Ari menghela napas berat. Wajah tampan itu terlihat sayu dan tak bersemangat. Aku mulai menebak alasannya, mungkin karena pertemuan ini yang membuatnya terlihat seperti itu.

"Kamu tak menyukai keberadaanku di sini?" tanyaku pelan. Kedua tangan saling bertaut di bawah meja, menunggu jawaban pria itu. Sungguh, jawaban Ari sangat berpengaruh untuk hatiku, dan keputusan yang harus aku ambil nantinya.

"Kamu sudah melakukan hal yang salah, Tita. Di sini bukan wilayahmu, dan kamu tidak cocok berada di sini."

"Kenapa? Buktinya aku baik-baik saja sekarang," sanggahku tak mau kalah.

Dia hendak bersuara, tetapi pesanan kami yang diantar membuatnya bungkam untuk sesaat.

"Terima kasih," ujarku kepada sang penjual.

"Kamu bilang baik-baik saja? Kamu yakin?"

Aku membuang pandangan, karena Ari menelisik wajahku. Sepertinya, dia sedang mencari jawaban dari raut wajahku. Ari termasuk orang yang mudah membaca raut wajahku, sehingga pertanyaan tadi sudah kuyakini dia tahu jawabannya.

"Kamu tidak baik-baik saja, Tita. Aku sungguh mengenal dirimu," ujar Ari datar.

Kepala ini menunduk. Ari memang selalu benar. Aku tidak baik-baik saja di tempat ini. Aku meninggalkan seluruh kehidupanku di tempat ini untuk Ari, dan jujur semua begitu berat untuk dijalankan.

"Aku ingin kamu pulang kembali ke kotamu. Papa kamu membutuhkan kamu di sana, Tita."

Aku segera menggeleng cepat. Mataku telah buram dengan buliran air mata.

"Aku di sini untuk kamu, Ari. Aku tidak ingin pulang sebelum bertemu dan mengajakmu bicara!"

"Aku tidak pernah meminta kamu untuk datang ke kota ini!"

"Kamu memang tidak pernah memintaku, tetapi janjimu itu! Janjimu yang membuatku rela meninggalkan semuanya, dan menyusulmu ke sini. Kamu berjanji menikahiku!" Di akhir kalimat, suaraku memelan.

Ari terdiam. Aku pun segera mengusap dengan cepat air mata yang mengalir di pipi.

"Kamu pergi menghilang selama setahun ini, dan meninggalkanku tanpa kejelasan. Apa itu tidak meyakinkanku?"

Lagi, pria itu terdiam. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Ari, tetapi mulutku tak bisa berhenti untuk menyuarakan isi hatiku yang dipenuhi luka selama ini.

"Kamu tak memberikanku kabar. Aku datang mengunjungi indekostmu, tetapi teman-temanmu mengatakan kamu sudah kembali ke Merpau, Ari. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu itu."

"Aku memang harus kembali. Pendidikanku sudah selesai di sana, Tita."

"Dan meninggalkanku tanpa kabar, begitu?" Aku tersenyum hambar.

"Kamu jahat."

"Lalu aku harus apa? Tidak mungkin selamanya aku berada di kotamu. Aku harus kembali dan menyelesaikan tanggung jawabku sebagai anak sulung keluargaku. Bekerja di sini, dan mencari nafkah untuk masa depanku nanti," terang Ari serius.

Aku menatapnya tak percaya. "Masa depan?" tanyaku lirih.

"Iya, masa depan."

"Masa depan apa yang kamu maksud?" Suaraku berubah parau. Pikiran mulai tak tenang, karena beberapa spekulasi mulai menari-nari di otakku.

"Tita, hubungan kita tidak seharusnya berlanjut."

Bagaikan ditikam sembilu panas, rasanya aku ingin berteriak karena merasakan luka yang begitu menyakitkan. Ucapan itu terasa membakar tubuhku dan seolah menyisakan abu. Ini tidak pernah kubayangkan untuk terjadi di kehidupanku sekarang. Namun, ini nyata bahkan baru saja terucap dari bibir yang selalu mengucapakan kata-kata berbau manis.

"Jangan gila kamu!" bentakku.

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Kita terlalu jauh untuk menjalin kasih sebagai pasangan kekasih."

"Kamu bercanda." Aku menggeleng tak percaya.

"Aku tidak pernah mengatakan sebuah candaan jika menyangkut jalinan kasih, Tita! Kamu sendiri tahu dan ingat soal itu! Jadi, tolong artikan sendiri ucapannya ini!"

"Apa alasannya? Jangan bilang kalau kamu bermain di belakangku selama setahun ini? Apa perempuan yang kemarin itu kekasihmu?"

Pria di depanku itu terdiam. Berulang kali dia menghela napas gusar, dengan wajah yang menggambarkan frustrasi.

"Melihat ekspresimu ini, aku sudah bisa menyimpulkan sesuatu." Kututup kedua wajahku untuk tak terlihat menyedihkan di depannya. Mungkin saat ini, kami telah menjadi bahan tontonan.

"Ini lebih dari sekadar pengkhianatan untukku. Aku terlalu berharap lebih untuk sebuah hubungan semu yang begitu membuatku terluka." Aku beranjak bangun, lalu pergi. Jagung bakar yang terlihat lezat dan menggugah selera, sama sekali tak kusentuh. Hati ini sudah lebih sakit, dan aku tak pernah tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Jika yang melukai adalah penawarnya sendiri.

"Tunggu!''

Tarikan cukup kasar menghentikan langkahku. Segera kutepis tangan Ari yang ternyata berlari menyusulku.

"Lepas! Apa lagi, hah?" teriakku marah.

"Jangan seperti ini! Itu sangat memalukan, Tita!" tegurnya.

"Aku sama sekali tidak peduli! Kamu sudah berhasil melukaiku sedalam ini, dan berhenti bersikap acuh kepadaku!"

Menolak dada Ari, aku melanjutkan langkah menjauh darinya. Malam ini, aku sungguh dilukai begitu dalam oleh sosok yang paling kupuja. Sosok yang sudah kuanggap sebagai malaikat dalam hidupku selain Papa. Namun, harapanku terlalu tinggi sepertinya sampai melupakan jika aku bisa terluka kapan saja dan malam ini adalah pembuktiannya. ***

*BIODATA PENULIS

  • Nama Lengkap : Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
  • Nama pena : Anggraini Da Gomez
  • Usia : 21 Tahun
  • Domisili : Maumere, Flores NTT.

Baca Juga: 

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-p-art-5

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-4

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-3

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-2 

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-1