wanita
Selasa, 21 Desember 2021 12:21 WIB
Penulis:redaksi
HARI ini Tiara, rekan kerjaku menikah. Aku diundang dan sengaja mengajak Dian untuk menemani mengikuti pemberkatan pernikahan di gereja.
Pagi ini, memakai gaun peach selutut dengan rambut yang disanggul sederhana aku memandang diri di cermin. Wajahku dibalut polesan make up senatural mungkin agar tak terlihat mencolok nantinya.
"Tidak buruk juga," gumamku lalu mengambil sebuah clutch hitam untuk mempercantik penampilanku pagi ini.
Suara gedoran pintu, membuatku segera membuka pintu. Aku tersenyum melihat Dian yang sudah berpakaian rapi dan terlihat cantik. Gadis manis itu memakai terusan bermotif batik hingga selutut. Rambutnya digerai dengan hiasan mutiara kecil di bagian kanannya.
"Sudah siap?"
Dian mengangguk, membuatku segera keluar dan mengunci pintu. Kami memutuskan memakai ojek untuk menghemat waktu. Kebetulan jarak dari kos ke gereja tempat pemberkatan pernikahan Tiara tak terlalu jauh.
Kami tiba di salah satu gereja yang menjadi pilihan Tiara untuk melaksanakan pemberkatan pernikahannya. Ternyata sudah banyak sekali keluarga serta rekan kerja Tiara dan suaminya yang berada di sekitaran gereja.
Aku dan Dian mengambil tempat di bawah rimbunan pepohonan pinang hias yang berjejer sambil menunggu kedatangan pengantin.
"Kak, pernikahannya mewah sekali, ya," ujar Dian.
Aku perhatikan gadis di sampingku ini begitu antusias dengan tema pernikahan Tiara. Jujur, aku pun merasa demikian. Warna putih cream menjadi pilihan Tiara yang seminggu lalu sempat bercerita kepadaku. Teman kerjaku itu memiliki pernikahan impian dengan konsep kerajaan yang akan ditampilkan saat resepsinya nanti.
"Kak itu pengantinnya datang!"
Sebuah mobil Avanza putih dengan hiasan bunga di depannya telah tiba di pelataran gereja diiringi tarian adat. Tiara tampak begitu cantik dengan gaun putih sederhana yang menjuntai hingga mata kaki. Tangannya menggandeng lengan calon suaminya yang memakai tuksedo putih juga.
"Calon suaminya tampan juga, ya, Kak. Mereka pasangan serasi, Kak," ungkap Dian semangat.
Ucapan Dian memanglah benar. Calon suami Tiara memanglah tampan dan sangat cocok disandingkan dengan Tiara.
Aku dan Dian serta rombongan keluarga lainnya pun mulai mengikuti perarakan ke gereja. Ternyata bangunan suci itu telah dihias sedemikian rupa dengan nuansa putih yang begitu kental. Paduan suara yang mengiringi pun memakai kostum seragam dengan perpaduan atasan putih bawahan tenun ikat.
Pemberkatan pernikahan keduanya berjalan khidmat dan penuh haru. Aku ikut meneteskan air mata saat melihat proses penyerahan Tiara dari kedua orangtuanya. Membayangkan diri ini suatu saat akan melakukan hal serupa dengan papaku sendiri pastinya.
Setelah mengikuti ibadah, kami sempat berfoto bersama dengan rekan kerja lainnya yang sempat hadir sebelum berpamitan pulang. Tiara sempat memintaku untuk ikut pulang ke rumahnya untuk makan siang bersama, tetapi diri ini menolak. Aku memutuskan datang saat resepsinya malam nanti, sekadar ingin menyaksikan bagaimana ramainya pernikahan penduduk kota ini.
Setelah berpamitan pulang, aku harus menunggu Dian yang meminta izin untuk ke kamar kecil. Mataku berkelana jauh, memandang pelataran gereja yang masih tampak ramai.
"Permisi."
Sebuah suara membuatku menoleh cepat ke belakang. Seorang pria berkemeja putih dengan celana bahun abu tampak tersenyum lembut.
"Ada apa?" tanyaku bingung.
Dia tertawa seolah ada hal lucu dari pertanyaan tadi. Tak ingin menanggapi, aku memilih berlalu, tetapi sebuah tarikan pada tanganku membuat diri ini terkejut.
Sedikit kasar, kutepis genggaman tangannya dan memandang tajam pria itu.
"Maaf," katanya pelan.
"Ada apa, ya? Tolong jangan bertindak kurang ajar!" ujarku marah.
"Iya, maaf. Aku tidak bermaksud demikian tadi. Aku ingin mengajakmu berkenalan."
Aku mendengus kesal. Kutatap wajahnya yang sungguh menggambarkan raut penuh sesal. Pria di depanku ini memiliki wajah putih dengan hidung yang cukup mancung. Rambutnya digunting rapi dan memiliki lesung Pipit di kedua pipinya.
"Kalau begitu biarkan aku pergi dan jangan menggangguku!"
Dia tidak merespons lagi, membuatku semakin bingung dengan sosok bertubuh tinggi di depanku ini. Bergidik ngeri, aku melangkah menjauh meninggalkan pria itu sendirian, sambil sesekali menoleh ke belakang dan menemukan dirinya yang masih menatapku dalam diam.
Sungguh, pria itu memiliki kesan yang cukup membuatku bingung dan takut dalam waktu bersamaan. Aku memang sering kali bertemu dengan orang aneh seperti itu. Di kota asalku terlalu banyak orang-orang aneh yang bersikap seperti pria tadi. Namun, aku merasa lebih aneh ketika bertemu dia tadi.
"Semoga tidak bertemu lagi," gumamku penuh harap.
***
Aku duduk di barisan tamu undangan di resepsi Tiara yang begitu mewah. Hotel Citra Grand menjadi pilihan Tiara untuk menggelar resepsinya.
Sedikit canggung, aku berbaur dengan yang lainnya. Dian tak bisa ikut, karena jadwal siftnya malam ini sehingga aku terpaksa datang sendirian.
Selama resepsi, aku mengikuti dengan fokus jalannya acara. Kadang, aku ikut tertawa saat MC mengajak kedua pengantin untuk bercanda dengan memberikan pertanyaan yang menggelitik.
Akan tetapi, fokusku teralih saat melihat sosok tak asing di depan sana yang terlihat sedang mengabadikan momen pernikahan Tiara dan suaminya. Tunggu! Sosok itu pria aneh yang tadi siang mengajakku bicara di pelataran gereja. Lalu, untuk apa dia di sana? Apa dia seorang fotografer?
Berbagai tanya berkecamuk dalam otakku. Mataku tak sedikit pun lepas, memerhatikan dirinya yang sibuk dengan benda berlensa itu. Hingga tatapan mata kami tiba-tiba bertemu dan dia kembali tersenyum lagi.
Aku segera memalingkan wajah. Tiba-tiba saja perasaan tak tenang melingkupi isi hatiku. Debaran itu muncul dengan sendirinya dan membuatku tak tenang. Aku kembali melirik ke arahnya yang telah sibuk dengan pekerjaannya lagi.
"Jadi, dia fotografer?" tanyaku pelan.
Segera menggeleng, kutepis pikiran mengenai pria itu. Seharusnya, aku tak memikirkan pria lain di saat urusanku dengan Ari masih di ambang ketidakpastian. Berbicara mengenai Ari, aku sudah tak bertemu dia lagi. Bahkan, hingga sekarang hubungan kami masih tetap tak jelas. Aku belum bisa berhenti mengejar Ari sebelum sebuah kepastian yang jelas keluar dari mulutnya. Memang, dia pernah meminta hubungan kami untuk berakhir, tetapi caranya terlalu salah.
Aku seorang wanita, yang rela meninggalkan semuanya demi mengejar janji untuk sebuah pernikahan yang telah direncanakan. Namun, kenapa sekarang semuanya malah berjalan tak menentu seperti ini? Dia pulang dan menghilang tanpa kabar? Lalu, di saat kami bertemu dia akan menikahi wanita lain? Sungguh, miris sekali nasibku ini.
"Melamun?"
Aku tersentak kaget. Di sampingku sekarang bukan lagi wanita bertubuh gempal dengan kebaya biru melainkan pria itu. Terlalu banyak melamun, aku sampai tidak sadar jika acaranya sudah sampai ke bagian pemotongan cake.
"Kami ngapain di sini?" tanyaku pelan.
"Beristirahat sejenak," jawabnya enteng.
"Bukannya kamu harus melakukan pekerjaanmu?" Aku tidak tahu kenapa bibirku tak berhenti bertanya. Biasanya, aku tak peduli, tetapi sekarang malah sebaiknya.
"Itu hanya sekadar hobi."
"Aku tidak peduli!" jawabku ketus.
"Tetapi sejak tadi kamu perhatikan diriku."
Aku menatapnya tajam. Pria itu sungguh membuatku kesal setengah mati.
"Aku tidak mengenalmu jadi tolong pergi dari hadapanku!"
Aku kira dia langsung pergi, tetapi pria itu malah membisikkan sesuatu yang membuatku merasa jika pria ini tahu sesuatu tentang kehidupanku.
"Kamu terlalu baik untuk pria seperti dia."
BIODATA PENULIS
Baca juga: https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-7