Petani
Sabtu, 17 September 2022 14:26 WIB
Penulis:redaksi
TITIK didih tak bergeser ke mana-mana. Suara itu hanya menandai pagi yang terlalu dini. Jejak uap air tertera di jendela dapur yang dingin-berderet, seperti catatan-catatan kecil pada kaki halaman. Lampu di bahwa kabinet bergetar lembut dengan dengung yang sayup.
Di luar sana, hari masih gelap sehingga muka lelaki itu terpantul jelas di kaca. Sejenak ia berhenti mengamati. Beberapa kerut telah menjadi begitu dalam, mirip kerat pada kulit pohon kersen yang timbul di balik jendela.
Sebentar lagi, daun-daun rimbun yang merunduk hingga ke dekat tanah itu akan menggantikan pantulan wajahnya. Sebentar lagi, burung-burung kecil berparu kuning muda akan sibuk berceriap di ranting-rantingnya, lebih ramai ketimbang kan suara radio dari ujung jalan.
Udara yang semula menggigilkan akan menghangat. Pagi itu terasa indah. Para petani segera mungkin bergegas ke ladang mereka masing-masing.
Bagi mereka menghabiskan waktu pagi dengan bekerja adalah suatu sukacita yang besar yang perlu disyukuri. Pak Bota dan istrinya sudah terlebih dahulu berada di ladang.
Jarak antara ladang dan rumah Pak Bota sejauh mata memandang, namun jarak tak pernah menghalang mereka untuk bekerja. Kerja dan kerja itu keharusan, menafkahi keluarga adalah tanggung jawab.
Meskipun kulit hitam gelap terbakar sinar matahari, kulit keriput di makan usia tidak menjadi persoalan baginya untuk menyerah. Kini keempat pahlawannya telah berdiri di hadapannya.
Mereka masih dalam perjalanan menuju cakrawala yang telah disediakannya. Pak Bota adalah sosok yang tidak pernah malu untuk bertaruh demi sesuap nasi.
Yang penting mereka berempat mampu menaklukkan dunia di masa depan yang lebih cerah.
Di bawah terik matahari keringat bercucuran darah cinta dan kasih serata tanggung jawab yang apik. Dia rela sakit demi si buah hati, yang nanti akan menemaninya dipinggir makam terakhir.
Senja mulai pamit, malam akan kembali, Pak Bota bergegas ke rumah yang lusuh yang disambut sang istri penuh haru. Malam penuh syahdu sambil menikmati secangkir kopi pahit di serambi rumah yang rapuh itu.
Pak Bota membayangkan satu saat nanti keempat buah hati menjadi orang yang baik di kampung halamannya.
Masih nyaman dengan mimpi itu tak sangka malam mulai tua, tetapiia masih tenggelam dalam suasana yang sama. Malam itu sangat sepih tak seperti biasanya.
Dalam situasi itu Pak Bota terhibur dengan suara jangkrik dan radio yang memutarkan lagu dan berita yang bergantian.
Ketika ia tenggelam bersama sepi dan sambil menikmati secangkir kopi hangat tiba-tiba terdengar nada dering ponsel Nokia berlayar kuning miliknya.
Pak Bota segera ke ruang tamu dan menerima panggilan dari sang adik sepupu yang ada di luar kota.
Kini seisi rumah lusuh itu menjadi hening.
Malam itu tak seperti malam-malam sebelumnya ketika ia menerima telefon dari sang adik. Istrinya heran melihat tingkah sang suami.
Pak Bota meneteskan air mata. Sang istri kaget. “Pak ada apa?” tanya sang istri. Bu!! Dion Bu anak kita. Tangis Pak Bota di tengah sunyinya malam.
Malam menjadi sedih, kini gaduh di kampung bukit itu. Rumah Pak Bota penuh dengan orang-orang yang berdatangan. Ada yang tidak percaya dengan kejadian itu.
Hiruk pikuk di kampung itu kini tak menentu lagi suara tangisan mulai menguasai malam itu.
Diam beribu bahasa di malam yang semakin larut.
Buah hati yang dibanggakan, kini telah pergi di negeri orang secara tragis. Pergi tanpa pamit dengan ayah dan ibu yang susah payah di tengah ladang. Pergi dan pergi, hanya meninggalkan pedih.
Dion anak ketiga Pak Bota meninggal ditelan ombak kala ia hendak menolong teman-temanya yang tenggelam.
Pak Bota tak lagi habis berpikir. Kini harapannya mulai pudar. Ia tak lagi kuat.
Ia tak lagi semangat. Sang anak pergi tanpa pamit, pergi tak akan kembali, pedih kini tergores di hati yang sepi.
Upacara penguburan telah usai, anak yang ia sayang tak pernah tampak lagi di bumi ini.
Ia sudah ditelan bumi dan ombak di negeri seberang. Peristiwa itu membawa pilu yang tak akan pernah pulih bagi Pak Bota dan sang istri.
Kini perjuangan Pak Bota menjadi sia-sia. Anak yang ia dambakan akan menggantikan posisinya telah terlebih dahulu meninggalkannya untuk selamanya.
***
Satu tahun setalah kepergian anak laki-lakinya itu, Pak Bota tak pernah putus asa untuk berjuang bekerja untuk membiayai ketiga anaknya yang masih menjadi pendorong nya untuk tetap semangat.
Meskipun trik matahari menyakitinya ia bersama istrinya tetap semangat. Pagi itu udara penuh tawa dan embusan aroma bunga mawar yang berdiri kokoh di halaman rumah itu.
Di kampung itu anak-anak kecil berlarian si sela-sela kaki orang dewasa. Pak Bota kini mulai beraktivitas seperti biasanya. Setelah meneguk segelas kopi hangat ia segara mengayunkan kuda tua yang selalu menemaninya menuju ke ladangnya.
Rindu itu berat pedih selalu mencengkam saat menilik kembali segala kisah yang sudah termakan usia.
Kini pedih kini kembali. Sakit hati kini terulang kembali.
Percuma aku bersujud, percuma aku tersenyum, percuma aku berbisik kepada Mu tapi kamu tak mendengarkan segala rintihan ku. Aku sering kali mengadu kepadamu namun engkau tak pernah mendengar kan ku.
Ah.. begitukah cintamu hanya memberikan pedih dan sakit hati?
Setahun yang lalu Engkau mencoba ku dan aku pun terima itu kehendak Mu kini Engkau kembali mengambil sang pujaan hati dari pangkuanku.
Tuhan oh...Tuhan jika aku yang salah cabutlah nyawaku jangan Engkau, cabut nyawa buah hati ku.
Mengaduh Pak Bota ketika ia kembali kehilangan anak perempuan yang sulung, yang bernama Ana. Kehilangan bagaikan daun cendana yang berguguran di tengah musim kemarau panjang.
Akankah ia tumbuh kembali ketika musim hujan tiba?
Adahkah Tuhan yang berbelas kasih itu?
Ingat Ayub kehilangan segala-galanya bahkan nyawanya pun terancam.
Hanya keluh yang ia ungkapkan tapi ia sadar bahwa masih bayak orang yang menderita lebih dari padanya. ****
2 bulan yang lalu
3 bulan yang lalu