Cerpen
Kamis, 09 September 2021 20:59 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
Oleh: Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
AKU memerhatikan tempat di mana kaki ini berpijak. Suasana sangat asing untuk pendatang sepertiku. Bahkan, nama kota Merpau dan segala isinya tidak pernah kubayangkan ada di negeri ini. Namun, sekarang aku berada di sini.
Berbekal teknologi yang semakin canggih, dan bantuan Adel, sahabatku, diri ini akan mulai menjelajahi kota ini dan memulai semua yang menjadi tujuan kedatanganku.
Menggeret sebuah koper hitam serta ransel yang tergantung di punggung, aku segera mencari tumpangan. Keberadaan mobil travel yang berjejer di parkiran, sangat membantu.
Tujuanku saat ini, sebuah hotel dengan harga sesuai kantong untuk peristirahatan sesaat. Memanfaatkan aplikasi canggih saat ini, aku mudah menemukan hotel murah untuk beberapa hari ke depan. Beruntung juga, supir yang mengantarku saat ini sangat ramah. Wajahnya tidak terlalu tua, dan usianya kutaksir sekitar tiga puluhan. Supir itu menjelaskan banyak tentang hotel yang akan kutuju, termasuk letaknya berada di pusat kota sehingga tidak akan kesusahan jika ingin mendapatkan sesuatu.
Jarak bandara dan hotel hanya memakan waktu enam menit. Itu yang kulihat melalui jam yang melingkar di tangan. Melakukan check ini, aku sungguh memilih kamar dengan fasilitas yang seadanya. Meskipun untuk pertama kalinya, aku harus terbiasa dengan kata sederhana dalam kamus hidupku saat ini.
Hanya ada satu tempat tidur, WC, dan kamar mandi serta sebuah nakas. Lalu ada AC yang pastinya akan sangat membantu jika suhu udara di kamar ini terasa panas.
Merebahkan tubuh di kasur, sedikit kubiarkan mata ini terpejam meksipun rasa kantuk tak sama sekali hadir.
Dua kali transit itu cukup melelahkan. Terlebih pesawat sempat delay beberapa jam, membuatku tertidur sesaat di bangku ruang tunggu. Sungguh miris! Namun, sudah kurasakan.
Dering ponsel mengganggu ketenanganku. Sedikit malas kugeser layar ponsel dengan logo apel digigit itu. Satu pesan masuk dari Adel, sahabatku.
[Kau sudah sampai?]
[Ya.]
[Boleh aku telepon sekarang? Aku sungguh mencemaskan keberadaanmu. Kau begitu keras kepala, Tita!]
Sedikit tersenyum, aku mengetikkan balasan untuknya agar tak menelepon sekarang. Aku ingin beristirahat sejenak, tanpa mendengar gerutuan kesal gadis keturunan Chinese itu.
Memilih mandi itu yang kulakukan saat ini. Tubuh ini sudah dipenuhi peluh serta rasa tak nyaman yang mendera. Syukurlah, ada bath tub yang tersedia sehingga berendam beberapa saat mungkin terasa lebih baik.
Aku harus merencanakan banyak hal saat ini. Mengingat sudah tidak ada yang instan dan bisa kudapatkan dengan tinggal memerintah saja. Aku harus membuat list untuk ke depannya. Menyesuaikan dengan tabungan dalam kartu kredit yang bisa kapan saja diblokir oleh Papa. Memikirkan saja menambah beban yang harus kupikul. Namun, apa daya? Ini sudah pilihan yang kuambil dan mau tak mau harus bisa menjalankan. Sehingga saat aku sudah tak mampu, kata menyerah siap aku teriakan.
***
Semalam aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Insomnia yang melanda saat ini bukanlah pertama kalinya. Semenjak, aku kehilangan seseorang. Rasa kantuk tak pernah kunjung hadir dalam diriku. Wajar saja jika kantong mataku terlihat hitam seperti mata panda.
Beberapa kali bolak-balik, dan mencari kenyamanan pun sia-sia. Hingga aku memutuskan keluar kamar di saat malam telah mulai larut. Tak ada yang kulakukan selain duduk di tepi kolam dengan pandangan menerawang jauh. Aku kembali ke kamar pukul 03.15 dan syukurlah mata ini mau diajak berkompromi, sehingga aku bisa tertidur walau hanya beberapa jam saja.
Pagi ini, aku sudah berdiri di depan hotel sambil memegang list yang kubuat semalam. Hal pertama yang harus kulakukan adalah mencari indekos. Karena tidak mungkin selamanya aku menetap di hotel. Beberapa saat lalu, aku sempat menarik uang tunai dari ATM untuk pegangan. Menyedihkan melihat sisa tabungan yang tidak lebih dari sepuluh juta. Pembelian tiket serta beberapa keperluan selama keberangkatan, membuat tabungan perlahan terkuras. Belum lagi untuk sewa hotel semalam. Untuk itu, aku harus bergerak cepat mendapatkan indekos agar lebih berhemat.
"Halo, Kak."
Aku menoleh, mendengar sapaan seorang gadis muda di sampingku. Dia salah satu cleaning servis hotel ini. Kemarin kami sempat berpapasan di tangga, saat aku hendak mencari makan.
"Halo," sapaku kaku.
Gadis itu tersenyum. "Kakak di kamar nomor 013, bukan?"
"Ya. Ada apa?"
"Aku Dian. Kita sempat berpapasan kemarin."
Dian memperkenalkan dirinya, dan aku hanya mengangguk lagi. Sepertinya, dia mudah bergaul sehingga begitu berani mengajak orang asing berkenalan seperti saat ini.
"Tita," sahutku pendek.
Setelahnya, kami diliputi keheningan. Memandang jalanan yang cukup ramai pagi ini. Di kota ini, tidak ada grab atau ojol yang memudahkan untuk beraktivitas. Aku baru tahu saat menanyakan kepada salah seorang resepsionis tadi. Di sini ojek dan angkutan umum ditemukan dengan mudah. Bahkan, sepanjang jalan pangkalan ojek dapat tertangkap netra.
Tiba-tiba saja aku mendapat sebuah ide yang cukup membantu. Kulirik sekilas gadis di sampingku, yang sedang memainkan ponsel. Sepertinya, dia sedang menunggu jemputan.
"Apa aku boleh bertanya?"
Dia menoleh, kemudian anggukan kecil dia berikan.
"Di daerah sini, indekos yang paling dekat dengan pusat kota di mana?"
"Kakak mau cari kos?"
Aku mengangguk.
"Kebetulan tempat tinggal aku saat ini, berdampingan dengan sebuah indekos khusus putri. Jika Kakak mau, aku bisa mengantarkan Kakak ke sana. Kita bisa jadi tetangga," ungkapnya semangat.
Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ide Dian tidaklah buruk. Bahkan, sangat membantu aku ke depannya. Kami bisa saja dekat dan menjalin pertemanan. Mungkin, gadis itu bisa membantuku untuk menjalankan alasan keberadanku di kota ini.
"Boleh."
Akhirnya, aku setuju dengan tawaran Dian. Menggunakan angkutan umum menjadi pilihan walaupun harus berdesakan. Gadis itu tidak jadi dijemput kakaknya, dan memilih pulang bersamaku. Aku harus menahan mual, terjebak dalam keadaan yang tidak pernah kualami sebelumnya. Bukannya sombong, aku memang terlahir dari keluarga berada dengan segala kebutuhan serba ada tanpa kurang sedikit pun. Kebutuhanku terjamin dengan fasilitas mewah yang diberikan orang tua. Termasuk sebuah mobil serta dua motor matic.
Syukurlah, perjalanan itu tidak lama. Jaraknya dekat, hanya saja supirnya harus beberapa kali memutar untuk mencari penumpang.
"Kakak mabuk, ya?"
Aku tertawa kecil sebagai tanggapan. Meneguk sebotol air yang sempat kubawa, perutku terasa lebih baik. Kami beriringan dari jalan menuju gang kecil. Ternyata indekos yang dimaksud Dian terletak di gang itu, yang begitu padat rumahnya.
Beberapa kali Dian melempar senyum serta salam kepada beberapa orang yang kami temui. Gadis itu selain mudah bergaul ternyata sangat ramah. Berbanding terbalik denganku yang introvert serta malas tahu.
Kami tiba di indekos yang dimaksud Dian. Terdiri dari lima belas pintu berjejer, dari gerbang. Perpaduan biru dan cokelat menjadi pilihan warnanya. Untuk sekitarnya ditumbuhi beberapa tanaman hias serta dua buah pohon mangga yang berbuah lebat.
Aku dan Dian langsung menemui sang pemilik yang rumahnya tepat di belakang indekos. Ibu Ani, wanita bertubuh tambun serta berkacamata menerima kami dengan ramah. Aku bersyukur tinggal tersisa satu kamar kosong di pintu paling ujung. Sudah ada tempat tidur, toilet dan kamar mandi yang tersedia di dalam. Lalu bonusnya, ada jemuran khusus untuk setiap kamar yang disediakan. Berarti, aku tinggal melengkapi saja kebutuhan yang lainnya.
Semoga saja besok hariku tak seberat hari ini. (*)
BIODATA PENULIS