Cinta
Senin, 26 Juli 2021 07:56 WIB
Penulis:MAR
ENDE (Floresku.com) - Banyak amalan yang dianjurkan pada bulan Dzulhijah, di antaranya memperbanyak puasa, sedekah, dan lainnya. Tidak hanya itu, pada bulan Dzulhijah, Allah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji bagi yang sudah mampu. Tentunya, Allah juga melarang segala perbuatan-perbuatan yang bisa merusak kesakralan ibadah.
Semuanya sangat jelas dalam Al-Qur’an:
اَلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ، فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى، وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya, “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar di tengah melakukan haji. Segala yang baik yang kalian kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS Al-Baqarah: 197).
Pada ayat di atas Allah menegaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji bertepatan dengan bulan yang sudah dimaklumi. Bulan apa saja yang dimaklumi pada ayat di atas? Syekh Thanthawi menjelaskan, yang dimaksud adalah bulan-bulan mulia dalam Islam, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah. Pada bulan tersebut, masyarakat Arab mengenal atau memakluminya sebagai bulan haji sejak sebelum Islam datang melalui Nabi Muhammad saw, tepatnya pada masa kenabian Nabi Ibrahim as. Atau bisa juga diartikan bahwa haji dilaksanakan pada bulan yang telah ditentukan. Kata ‘ditentukan’ di sini maksudnya telah menjadi kebiasaan sejak sebelumnya. Tentunya, tidak diperbolehkan selain waktu tersebut. Karenanya, syariat-syariat sebelumnya yang diterima dalam syariat Nabi Muhammad saw, seperti disyariatkannya ibadah haji, akan menjadi bagi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw. (Sayyid Muhammad Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Bairut, Dârul Fikr: 2014], halaman 338). Namun yang perlu diketahui, mengapa puncak ibadah haji dilakukan pada Dzulhijah? Apa keistimewaannya? Apa hikmah yang terkandung di dalamnya? Syekh Ali Ahmad Al-Jirjawi dalam kitab Hikmatut Tasyrî’ wa Falsafatuh menjelaskan:
اِعْلَمْ أَنَّ لِلْبَارِي جَلَّ شَأْنُهُ أَنْ يُخَصِّصَ أَيَّ زَمَانٍ كاَنَ لِنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِيْهِ عَلىَ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya, “Ketahuilah bahwa bagi Allah swt terdapat kebiasaan mengistimewakan zaman apapun untuk menjadi waktu turunnya berbagai rahmat kepada semua hamba-Nya yang iman.” (Ali Ahmad al-Jirjawi, Hikmatut Tasyrî’ wa Falsafatuh, [Bairut, Dârul Fikr: 1997], juz I, halaman 176
Pengistimewaan itu hanya Allah berikan di waktu-waktu tertentu, misalnya hari Jum’at, Lailatul Qadar, atau waktu-waktu mustajâbah. Semuanya tidak lain merupakan gambaran Islam sebagai agama yang sangat mudah bagi pemeluknya. Begitupun dengan ibadah haji, Allah mewajibkannya di bulan yang sangat mulia dan agung. Kemuliaan itu tampak dengan dilipatgandakannya pahala setiap ibadah dan diterimanya doa pada bulan itu.
Syekh Al-Jirjawi melanjutkan: وَلَمَّا كَانَ زَمَانُ الْحَجِّ مِنَ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ الَّتِي تُنَزَّلُ فِيْهِ الرَّحْمَاتُ فُرِضَتْ فِيْهِ فَرِيْضَةُ الْحَجِّ لِيَكُوْنَ الثَّوَابُ أَعَمُّ وَالنَّفْعُ أَتَمُّ
Artinya, “Dan ketika waktu pelaksanaan haji termasuk bulan-bulan mulia yang di dalamnya diturunkan berbagai rahmat, maka pada bulan itu diwajibkan haji agar pahalanya lebih banyak dan manfaatnya lebih sempurna.” (Al-Jirjawi, Hikmatut Tasyri’, juz I, halaman 177).
Begitulah wajah Islam sesungguhnya. Agama paripurna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan agama yang dibangun dengan pilar kemudahan. Bahkan Allah memberikan waktu-waktu tertentu untuk melakukan ibadah. Tujuannya, tidak lain agar umat Islam bisa mendapatkan pahala melebihi waktu biasa. Dengan demikian diketahui puncak ibadah haji dilakukan pada Dzulhijah karena keistemewaannya sebagai salah satu bulan-bulan mulia, dimana pahala ibadah dilipatgandakan. Sementara hikmahnya tampaknya kemudahan ajaran Islam bagi para pemeluknya.
Dalam riwayat hadits disebutkan: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذا بَعَثَ أَحَدًا مِن أَصْحَابِهِ في بَعضِ أَمْرِهِ، قَالَ: بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا، ويَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوْا (رواه أبو داود)
Artinya, “Ketika Rasulullah saw mengutus salah satu sahabatnya dalam suatu urusan, beliau berpesan: ‘Berilah kabar gembira dan jangan menakuti; mudahkanlah jangan sampai menyusahkan’.” (HR Abu Dawud). Islam sangat meringankan, tidak memberikan beban bagi pemeluknya ketika tidak mampu melaksanakan ajarannya. Wallâhu a’lam.(nu.or.id)