ESAI: Orangtua Juga Bisa Durhaka pada Anaknya

Senin, 14 April 2025 20:22 WIB

Penulis:redaksi

ibuda.png
Ibu dan anaknya ( Fileski Walidha Tanjung)

Oleh: Fileski Walidha Tanjung *

DALAM dunia yang dibentuk oleh kesalingterhubungan antara cinta dan harapan, ada satu medan sunyi yang jarang disusuri: relasi antara orangtua dan anak setelah sang anak menikah. 

Ruang ini—yang tampak tenang di permukaan—menyimpan riuh batin yang lebih keras daripada doa-doa yang tak pernah dikabulkan. 

Kita terbiasa membicarakan bakti anak kepada orangtua, tetapi terlalu sedikit ruang yang disediakan untuk menyoal sebaliknya: apakah orangtua sungguh-sungguh ikhlas kepada anaknya?

Ikhlas. Kata yang sering diulang, namun hampir selalu dikerdilkan dalam praksis keseharian. Dalam tradisi sufistik, ikhlas bukan sekadar melepas. 

Ia adalah kenisbian ego, lenyapnya "aku" dalam pusaran cinta ilahiah yang tak memerlukan balasan. Al-Junayd al-Baghdadi pernah berkata, "al-ikhlāṣ sirrun baina Allāh wa bayn al-‘abd lā ya'lamu mala kun fayaktubuh wa lā shayṭānun yufsidu wa lā hawā fayamīluh"—“Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya; tidak diketahui oleh malaikat untuk ditulis, tidak diketahui oleh setan untuk dirusak, dan tidak diketahui oleh hawa nafsu untuk dimiringkan.”

Tetapi mengapa, ketika anak tak pulang, orangtua merasa ditinggalkan? Ketika anak tak mengabari, lahirlah ratapan. Ketika anak tak mentransfer uang bulanan, terucap doa-doa buruk yang menjelma kutukan. 

Tidakkah ini menandakan bahwa keikhlasan itu telah bersyarat, bahwa cinta itu telah ternodai oleh keinginan untuk diingat, diberi, dibalas?

Di sinilah letak kegagalan kita dalam memaknai peran sebagai orangtua. Peran yang mestinya berakhir bukan karena anak tak lagi mencinta, melainkan karena cinta itu telah dewasa. 

Tapi kita, dalam keterikatan yang emosional dan spiritual, kerap menjadikan anak sebagai perpanjangan dari eksistensi diri. Anak menjadi artefak identitas, bukan makhluk merdeka yang Tuhan ciptakan untuk berlayar atas takdirnya sendiri.

Martin Buber dalam konsep relasional “I and Thou” menyebut bahwa hubungan sejati adalah ketika dua pribadi saling hadir tanpa ingin memiliki. 

Kita mencintai bukan karena ingin dikembalikan, tapi karena keberadaan “yang lain” membuat kita lebih manusia. Namun, orangtua di zaman modern masih kerap menganggap anak sebagai “utang yang harus dibayar”, bukan sebagai “amanah yang mesti dilepas”.

Barangkali, kita perlu merenungkan kembali kisah Malin Kundang. Narasi ini terlalu lama dibekukan sebagai dongeng moral tentang anak durhaka. 

Tetapi siapa yang menyoal luka dan kesepian sang ibu? Atau lebih jauh, siapa yang berani bertanya: apakah kutukan itu lahir dari kasih atau dari kecewa? Jika memang benar cinta itu sabar dan tidak menuntut balas, mengapa ibu Malin tak hanya menangis, mengapa ia harus mengutuk?

Mungkin, karena ibu Malin—seperti banyak dari kita—tak benar-benar ikhlas. Ia berharap dikenang. Dikenali. Dirawat. Dan ketika harapan itu hancur, maka luka itu memanggil ego untuk membalas. 

Di sinilah sesungguhnya tragedi itu lahir: bukan pada anak yang melupakan, tetapi pada cinta yang menolak pergi. Pada kasih yang bersyarat. Pada doa yang menjelma racun karena tak terpenuhi harapan manusiawinya.

Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī dalam al-Ḥikam menulis, “Man ‘arafa mā qadrahu istarāḥa min tadbīrih”—“Barang siapa mengenal kadar dirinya, maka ia akan tenang dari ambisi pengaturannya sendiri.”

 Ini adalah pelajaran tentang penerimaan. Bahwa anak adalah titipan yang tak pernah menjadi milik kita sepenuhnya. Bahwa membesarkan anak tidak serta merta menjadikan mereka tempat menggantungkan masa depan kita.

Dan betapa seringnya, orangtua menciptakan realitas yang timpang bagi anak-anaknya. Sebagian berharap anak menjadi sukses agar bisa membayar pengorbanan orangtua. 

Sebagian lainnya bahkan menjadikan kesuksesan anak sebagai legitimasi keberhasilan mereka sebagai orangtua. Dalam pandangan ini, anak tak pernah lepas dari beban representasi. Ia bukan lagi individu, tapi proyek.

Padahal, bukankah kita semua sedang diajari untuk melepaskan? Jalaluddin Rumi mengingatkan, “Why do you stay in prison, when the door is so wide open?” Mengapa kita tetap terpenjara dalam rasa memiliki, sementara pintu keikhlasan terbuka lebar? Ini bukan hanya perenungan sufistik, tetapi tawaran eksistensial untuk membebaskan relasi keluarga dari ikatan semu yang menjerat.

Dalam dunia yang makin cair ini, anak-anak akan lebih sering hidup jauh dari orangtuanya. Mereka akan menjadi manusia global, yang tak bisa terus-menerus menengok ke belakang. 

Jika cinta orangtua hanya sah selama anak ada dalam radius pengawasan, maka cinta itu bukanlah kasih sayang, melainkan penguasaan. Justru cinta sejati itu melepaskan: mengizinkan anak lupa alamat rumah, tapi tetap menyimpan harapan bahwa ia akan selalu kembali—bukan karena kewajiban, tapi karena kerinduan.

Dan apabila tak ada kabar darinya seumur hidup, tidak masalah. Karena “Allahu ṣ-Ṣamad”—Allah tempat bergantung. Bukan anak. Bukan keluarga. Bahkan bukan masa lalu. Cinta yang sejati itu bertumpu pada Allah, bukan pada peran-peran duniawi yang fana. 

Ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Pergilah nak, jika kau lupa jalan pulang, tidak apa,” maka sesungguhnya di situlah letak puncak cinta: ketika cinta tak lagi butuh dikenali, hanya perlu didoakan.

Maka pertanyaannya kini bukan lagi: “Apakah anakku masih mengingatku?” tetapi berubah menjadi, “Apakah aku sudah cukup mencintainya tanpa berharap dikenang?” Dan barangkali, dari pertanyaan ini, kita bisa mulai menyusun ulang bangunan relasi yang lebih adil antara cinta, harapan, dan keikhlasan.

Apakah kita benar-benar siap melepaskan, tanpa menciptakan narasi-narasi emosional yang mengikat anak dalam rasa bersalah? 

Apakah kita mendidik mereka untuk menjadi manusia merdeka, atau hanya mengarahkan mereka agar suatu hari nanti menjadi sandaran kita di masa tua? Dan lebih dalam lagi: apakah kita benar-benar paham bahwa tidak semua yang kita cintai harus kembali kepada kita. 

Dalam dunia yang rapuh ini, terlalu sering cinta menjelma menjadi bentuk kepemilikan. Kita mencintai bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk mengikat. Kita berdoa bukan untuk memberkahi, tetapi untuk memanipulasi. 

Seolah anak-anak kita adalah investasi spiritual yang mesti memberi dividen emosional dan materi. Padahal, dalam Islam, keberkahan tak selalu hadir dalam bentuk timbal balik; kadang ia justru muncul ketika kita berani menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Memiliki.

Kita hidup di era di mana peran keluarga makin kompleks, tapi justru karena itu, kita harus kembali pada yang paling hakiki: bahwa menjadi orangtua bukan tentang memastikan anak akan kembali, melainkan memastikan bahwa saat ia pergi, ia membawa bekal doa dan keridhaan. Dan jika pun ia tak pernah kembali, itu bukan karena cinta kita gagal, tapi justru karena cinta itu telah paripurna.

Akhirnya, bukankah menjadi orangtua sejati bukan tentang menjadi tujuan, tetapi menjadi jalan? Bukan tempat anak berlabuh, tapi tempat ia belajar berlayar?

Lalu, beranikah kita hari ini berkata: "Pergilah, nak. Tak mengapa jika tak kembali. Aku tak pernah mencintaimu untuk dibalas, hanya untuk merelakanmu menjadi manusia seutuhnya."

*Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis dan penyair kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi, esai dan prosa di berbagai media nasional.  ***