Presiden Jokowi
Selasa, 26 September 2023 16:50 WIB
Penulis:redaksi
JAKARTA (Floresku.com) - Pada 24 September kemarin, segenap kaum tani dan gerakan rakyat memperingati Hari Tani Nasional (HTN), momentum penting yang menandai 63 tahun kelahiran Undang-Undang 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Sebuah UU payung yang memandu arah politik-hukum-sosial-budaya agraria negara kita, yang mencita-citakan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia atas sumber agraria; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hari ini (26/09), sebagai puncak peringatan HTN, 3.000 massa Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Mahasiswa, Miskin Kota dan Aktivis kembali turun ke jalan untuk mengingatkan para pemegang kekuasaan bahwa Indonesia berada dalam status Darurat Agraria.
Situasi ini berlangsung akibat kejahatan Negara demi investasi kelas kakap berbasis agraria.
Letusan konflik agraria struktural yang berujung pada penggusuran dan penangkapan para pejuang hak atas tanah pada tanggal 07 September 2023 lalu di Rempang-Batam adalah cermin wajah buruk agraria kita.
Sebelumnya kasus proyek strategis nasional (PSN) seluas lebih dari 30 ribu hektar di Nagari Air Bangis-Sumatera Barat, dimana pemerintah hendak membangun kawasan kilang minyak, yang ditolak masyarakat karena mengancam tanah mereka.
Penggusuran petani di Desa Gurila-Kota Pematang Siantar oleh PTPN III menyisakan masalah tanpa jaminan kepastian hak atas tanah bagi petani.
Desa Batulawang-Cianjur yang berkonflik dengan eks-HGU swasta PT.MPM, secara tiba-tiba dipatok oleh Badan Bank Tanah yang sudah bersepakat dengan PT. PMP mengakuisisi tanah masyarakat.
Menurut KNPA, ada kepentingan Densus 88 di dalam pematokan tanah warga oleh Bank Tanah. Begitu pun di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, dimana Konstrad masuk ke desa dan tanah pertanian untuk mengembangakan program ketahanan pangan lewat MOU-nya dengan pihak PTPN VIII.
Perkebunan plat merah ini seperti mencari celah menggusur petani dengan cara menghadap-hadapkan petani dengan tentara.
Parahnya, ungkap KNPA lagi, dalam berbagai proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian demi investasi, banyak yang dilakukan dengan cara-cara: menggusur dan merampas tanah masyarakat; represif dan intimidatif disertai mobilisasi aparat; diskriminasi dan stigmatisasi terhadap hak masyarakat terdampak dan terhadap warga yang menolak; penuh manipulasi tentang partisipasi dan konsultasi masyarakat; minus transparasi proses dan akuntabiltas publik.
KNPA menilai selama dua periode Pemerintahan Jokowi (2015-2022), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terjadi 2.701 letusan konflik agraria yang terjadi di seluruh provinsi. Letusan konflik tersebut disertai dengan kasus kekerasan dan kriminalisasi, akibatnya 69 tewas, 38 tertembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi hingga divonis, karena mempertahankan tanahnya dan sumber kehidupannya. Pada periode yang sama, AMAN mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat.
Tingginya letusan dan korban konflik serta kekerasan agraria merupakan bukti tidak bekerjanya operasi Reforma Agraria yang dijanjikan di wilayah-wilayah konflik agraria untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak atas tanah dan hak hidup warga berbasis agraria.
Itulah sekelumit kecil, letusan konflik agraria yang mencerminkan terjadinya perampasan tanah oleh negara.
Sebuah legacy buruk agraria mengingat sejak masa pencalonan pada 2014 hingga kepemimpinannya sekarang, Jokowi telah menjanjikan kepada Rakyat Indonesia akan menjalankan Reforma Agraria seluas 9 (sembilan) juta hektar (ha) kepada petani dan rakyat kecil.
Namun 9 juta ha tanah untuk rakyat tidak kunjung terealisasi, sebab tidak diarahkan untuk mengurai ketimpangan, konflik agraia dan kemiskinan.
Sebaliknya, justru 5,8 juta ha tanah Petani, Nelayan, Masyarakat Adat dan Perempuan di pedesaan dirampas dan diserahkan penguasaannya kepada kelompok pengusaha.
Kondisi serupa juga terjadi pada lingkungan, krisis ekologis semakin parah. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa operasional bisnis ekstraktif dan ambisi pemerintah dalam pembangunan telah menyebabkan bencana ekologis sebanyak 27.660 kejadian pada tahun 2015-2022. Salah satu bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022.
BNPB mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia.
Bencana tersebut terjadi sebagai hasil akumulasi dari berbagai pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok korporasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR RI, 16 Agustus 2023 lalu, menunjukkan tidak bergesernya paradigma pembangunan nasional.
Pada intinya tetap mempertegas bahwa satu dekade rezim ini hanya memprioritaskan agenda investasi dan pembangunan, tanpa sedikitpun memperhatikan agenda kerakyatan.
Dalam pidatonya Presiden Jokowi juga meminta rakyat untuk mengedepankan moralitas, sementara persekongkolan jahat antara pemerintah, partai politik dan swasta yang amoral seperti perampasan tanah dan sumber agraria lain, korupsi agraria, persekonkolan mafia tanah, mafia pangan, mafia tambang dan mafia pengadilan demi kepentingan investasi oligarki dibiarkan berjalan.
Selama hampir satu dekade pemerintahan Jokowi, dari target 9 juta hektar pemerintah hanya melegalisasi dan medistribusikan tanah seluas 1,67 juta hektar.
Redistribusi tanah yang dilakukan jauh lebih rendah dari capaian legalisasi aset yang merupakan proses sertifikasi tanah biasa.
Legalisasi dan distribusi tanah yang dilakukan pun berada di area-area non-konflik agraria, bukan pula ditujukan untuk mengkoreksi ketimpangan penguasaan tanah.
Lebih fatal lagi, Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan tidak berani dan gagal membebaskan desa-desa, tanah pertanian, perkampungan serta wilayah adat dari klaim-klaim Negara oleh PTPN, Perhutani, Asset Pemda, HTI, tanah register
Koreksi terhadap klaim negara atas hutan yang salah kaprah untuk diredistribusikan kepada rakyat yang berhak juga gagal total. Dari janji 4,1 juta ha RA yang berasal dari klaim hutan negara, hanya terealisasi 351.367 ha atau hanya 8,57 %, itu pun hanya berupa pemukiman saja, sementara kebun-kebun dan tanah pertanian masyarakat tidak kunjung dimerdekaan dari klaim Negara.
Capaian yang terlampau minimalis tersebut seharusnya tidak terjadi, jika saja usulan-usulan obyek dan subyek Reforma Agraria yang diusulkan rakyat dari bawah (bottom-up process) dan telah diperjuangkan selama berpuluh tahun, seperti Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) betul-betul dikerjalan oleh pemerintah.
Tuntutan LPRA seluas 1,7 juta ha dari KPA bersama Anggota Organisasi Rakyat sejak 2016 tidak mendapat perhatian serius Presiden Jokowi dari sisi eksekusinya.
Dua periode berkuasa, tidak ada usaha Presiden untuk memimpin operasi Reforma Agraria secara nasional, menangani sumbatan birokrasi dan ego-sektoral, hambatan hukum, termasuk memastikan para Menteri dan Kepala Lembaga kabinetnya melaporkan dan menjalankan Reforma Agraria secara tuntas.
Misalnya, dari 780 LPRA yang diusulkan Petani dan Masyarakat Adat Anggota KPA, baru 20 LPRA yang bisa dituntaskan konfliknya dan diredistribusikan kepada petani. Itu pun harus terus-menerus didesakkan rakyat dengan berbagai cara.
Dari 20 LPRA tersebut, hanya konsesi perkebunan swasta expired yang diselesaikan, terlalu kecil redistribusi dari klaim asset pemprov dan HTI.
Sementara untuk LPRA terkait PTPN, Perhutani, mayoritas HTI atau klaim kawasan hutan dan konservasi capaiannya NOL HEKTAR, alias mendapat Rapor Merah.
Petunjuk kegagalan Reforma Agraria dapat dilihat pula dari semakin luasnya konsesi dan pengadaan tanah untuk investasi dan badan usaha besar.
Contohnya sektor sawit, dalam dua periode Jokowi kebun sawit meluas hingga 6,05 juta ha, dimana pada 2014 sawit seluas 10,75 juta Ha dan menjadi 16,38 juta Ha pada 2022 (Kementan, 2022). Kemudian sektor lainnya seperti tambang dan hutan seluas 3,1 juta ha yang beropeasi secara ilegal justru dilegalkan.
Akibat ekspansi bisnis lapar tanah di atas petani gurem bertambah 1,56 juta keluarga selama sembilan tahun terakhir, hal ini diperparah dengan cepatnya konversi sawah yang mencapai 1 juta ha atau sekitar 108.333 ha sawah per tahunnya (BPS, 2014-2018).
Selain jumlah petani gurem yang semakin banyak akibat gagalnya RA, saat ini ada 3,4 juta pemuda desa tidak memiliki pekerjaan (BPS, 2022), padahal bertriliun-triliun APBN digelontorkan untuk ratusan program pertanian di desa-desa.
Di tengah masalah agraria tersebut, kondisi ekonomi petani kian memburuk sebab pemerintah enggan menyerap hasil produksi mereka, dan memilih untuk membanjiri pasar nasional dengan komoditas pangan impor seperti impor gula mencapai 30,6 juta ton, garam 16,1 juta ton, bahkan untuk beras saja yang ditanam oleh mayoritas petani kita pemerintah tetap mengimpor sebanyak 7,53 juta ton sejak Jokowi menjabat (BPS, 2014-2022).
Tidak berhenti sampai disitu, kegagalan Presiden menuntaskan konflik agraria berdampak langsung pada kelompok perempuan di pedesaan.
KPA mencatat sedikitnya sebanyak 97 perempuan dianiaya, 51 perempuan dikriminalisasi, 1 (satu) perempuan tertembak, dan 2 (dua) perempuan tewas dalam mempertahankan tanah dan sumber ekonominya (Catahu KPA 2017-2022).
Selain menjadi korban konflik, akibat tidak adanya redistribusi tanah pertanian bagi perempuan, memaksa mereka mengadu nasib menjadi buruh migran.
Dalam sembilan tahun terakhir sedikitnya 1,4 juta Perempuan menjadi buruh di luar negeri (BP2MI, 2014-2022), karena tidak ada tanah yang dapat mereka manfaatkan demi menghidupi keluarganya.
Artinya pembangunan pertanian gagal menyerap surplus kependudukan dan tenaga kerja produktif di pedesaan,
Bukti nyata kegagalan Jokowi juga dapat terlihat jelas dari korupsi agraria yang semakin parah. Selama pemerintahannya, telah membiarkan bisnis sawit ilegal seluas 14,7 juta ha tetap beroperasi tanpa memiliki HGU (Menko Marves, 2023).
Namun tidak hanya membiarkan bisnis ilegal, melainkan hendak mengampuni korupsi agraria para taipan sawit, tambang dan hutan seluas 3,37 juta ha si seluruh Indonesia (LHK, 2023).
Selain bukti pemerintahan Jokowi pro terhadap korupsi agraria, tindakan politik presiden di atas menandakan pemerintah benar-benar tidak memiliki kontrol atas kebijakan agraria nasional, sekaligus menutup rapat-rapat informasi dan data HGU bermasalah.
Dari ranah kebijakan, petunjuk kegagalan Reforma Agraria dapat dilihat pula dari produk-produk UU dan regulasi turunannya yang begitu liberal dan lebih berorientasi kepada kepentingan pemilik modal (kapitalistik).
Dalam kurun waktu 2014-2023, begitu banyak kebijakan yang bersifat anti-Reforma Agraria telah diterbitkan, menyebabkan krisis agraria yang semakin mendalam dan parah di berbagai sektor.
Mulai dari sektor perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, bisnis properti, pertambangan, proyek pesisir-pulau kecil, fasilitas militer, sampai sektor agribisnis/pertanian korporasi menyebabkan ribuan konflik agraria dan penggusuran masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
Menjelang akhir masa pemerintahan pertamanya, Jokowi mempercepat pengesahan kebijakan agraria yang ultraliberal seperti Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Lebih lanjut pada periode pemerintahan kedua, Jokowi menggunakan alasan krisis pandemi dan ancaman krisis ekonomi, pangan, dan berbagai krisis lainnya pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja (CK) dan UU Ibu Kota Negara (IKN).
Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) adalah wujud nyata dan terbaru penyelewengan penyelenggara Negara secara kolektif, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif terhadap konstitusionalisme agraria, yang telah susah payah dibangun para pendiri-pemikir bangsa.
UUCK mendorong satu tatanan ekonomi dan politik neoliberal yang berorientasi kuat memfasilitasi para pemilik modal, menghasilkan kemudahan-kemudahan berbisnis melalui cara-cara perampasan tanah rakyat atas nama proyek-proyek pembangunan dan investasi.
Undang-Undang Cipta Kerja ini menempatkan rakyat utamanya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan di pedesaan dan masyarakat miskin di perkotaan sebatas obyek pembangunan.
Tidak ada posisi dan peran strategis rakyat di dalam proses-proses pengambilan keputusan seperti perumusan UU dan persetujuan rencana serta model pembangunan.
Melalui UUCK dan ragam regulasi turunannya, perampasan tanah dengan dalih percepatan pembangunan infrastruktur, proyek strategis nasional (PSN), pengadaan tanah untuk IKN, kemudahan penerbitan izin tambang, hutan, perkebunan, impor pangan, pengadaan tanah sebagai aset Bank Tanah, upah murah, rendahnya pengawasan dan sanksi terhadap tindak pidana korporasi oleh pemerintah semakin menjadi-jadi.
Lihatlah konflik agraria Rempang dan kasus-kasus lainnya akibat kebijakan kejahatan investasi. Model pembangunan melalui kebijakan PSN yang bersifat lapar tanah dan telah diperkuat UUCK adalah warisan buruk agraria di Hari Tani Nasional.
Selain kasus Rempang, KPA mencatat sepanjang tahun 2020-2023 telah terjadi 73 letusan konflik akibat PSN yang terjadi di sektor infrastruktur, properti, pertanian pesisir dan tambang, seperti kasus:
Rekam jejak PSN penyebab konflik agraria dan penggusuran wilayah masyarakat; Tol Padang-Pekanbaru, proyek KEK di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang, Penambangan Wadas untuk PSN Bendungan Bener, Movieland MNC di Lido Sukabumi, Food Estate di Humbang Hasundutan, Bendungan Lolak di Bolang Mongondow-Sulut, dan Proyek Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat.
Selanjutnya, Waduk Lambo di NTT, Tol Serang-Panimbang, PLTU Muna, Proyek cetak sawah baru di Pulang Pisau-Kalimantan, Waduk Sepaku Semoi infrastruktur pendukung IKN di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis-Sumatera Barat, Proyek Tambang Pasir Royal Boskalis di Makasar, serta penggusuran hutan Bowosie oleh Badan Otorita Labuan Bajo untuk pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang KSPN Komodo.
Bukan itu saja, UU lainnya seperti UU KPK, UU KUHP, dll yang justru mengancam keberlangsungan hidup bangsa terus dikeluarkan. Sebaliknya, aturan dan kebijakan yang fundamental bagi perlindungan masyarakat dan telah lama didesakan seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan versi masyarakat/RUU Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan Revisi Perpres Reforma Agraria, sama sekali tidak diperhatikan Pemerintah dan DPR.
Selain kebijakan yang dikontrol pemodal, fenomena pengabaian hukum oleh Presiden dan jajaran menteri kian kental. Bukti nyatanya adalah Pemerintah yang enggan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/2021. Presiden tidak merasa dirinya perlu tunduk pada hukum, justru memperlihatkan hukum adalah Presiden itu sendiri.
Lebih lanjut penghianatan UUCK terhadap Konstitusi dan UUPA adalah pembentukan badan baru bernama Badan Bank Tanah (BT), yang dibangun dengan kewenangan yang begitu luas dan ultra-liberal.
Padahal, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengklaim BT hanya bertugas sebagai land-manager. Kenyataannya, kewenangannya mencakup perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan hingga praktik transaksional atas tanah dengan pihak ketiga (investor).
Melengkapi kewenangan BT, rumusan Hak Pengelolaan (HPL) oleh UUCK menjadi pintu masuk badan untuk mengklaim sepihak, mengumpulkan, menguasai, mengalihkan hak dan mengontrol tanah sebagai sumber kekayaannya untuk kelompok-kelompok investor.
Rumusan HPL dalam UUCK menghidupkan lagi penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN), seolah Negara pemilik tanah. Parahnya UUCK melalui BT telah menyelewengkan pelaksanaan Reforma Agraria menjadi proses pengadaan tanah, sama halnya dengan pengadaan tanah bagi bagi kelompok investor dan badan usaha raksasa.
Kebijakan agraria Pemerintahan Jokowi bermuara pada kebijakan yang mengancam kedaulatan rakyat atas agraria dan kekayaan alam.
Kebijakan hilirisasi yang menjadi ambisi Pemerintah tidak ubahnya merupakan bentuk dukungan penuh terhadap industrialisasi oleh segelintir elit, di saat rakyat Indonesia harus menghadapi ketimpangan/ketidakadilan, konflik agraria, kemiskinan dan krisis pangan.
Terjadinya krisis pangan merupakan alarm kegagalan pelaksanaan Reforma Agraria, sebab mewujudkan bangsa kita untuk berdaulat pangan adalah tujuan Reforma Agraria.
Selama kurun waktu 2015-2023 terdapat 93 orang di Papua yang meninggal karena kelaparan (Kompas & BBC, 2023).
Terakhir, di tengah krisis agraria struktural dan ekonomi yang berlangsung, pemerintah melalui proyek ambisius ratusan triliun plus dana-dana utangan terus melakukan percepatan pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Pemerintah membentuk Badan Otorita IKN yang diberikan kewenangan begitu luas dan kuat untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, hingga melakukan pengadaan, penguasaan, pemberian hak dan kewenangan transaksi sewa-menyewa dan jual-beli tanah di bawah otoritas mereka.
Tanah seluas 250 ribu hektar lebih dan wilayah perairan seluas 125 ribu hektar dan bisnis-bisnis pengembangannya menjadi teritorial kewenangannya. Otorita IKN tak ubahnya semacam Kolonial Belanda dengan sistem tanah partikelirnya.
Di ujung waktu kekuasaan, Pemerintah bersama-sama DPR secara diam-diam kembali mendorong Revisi UU IKN untuk memastikan proses-proses pengadaan tanah dan pemberian HAT (HGU/HGB) kepada investor dengan jaminan dua siklus penguasaan tanah selama 190 tahun HGU dan 180 tahun HGB. Kebijakan ini lagi-lagi menghianati Konstitusi dan UUPA, lebih jahat dari UU Agraria Kolonial 1870. (SP). ***
3 bulan yang lalu
setahun yang lalu
setahun yang lalu