Doa
Sabtu, 20 Juli 2024 13:28 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: P. Gregorius Nule, SVD
MEREKA HIDUP SEPERTI DOMBA YANG TIDAK MEMPUNYAI GEMABALA
(Minggu Biasa XVI B: Yer 23, 1- 6; Ef 2, 13 -18; Mrk 6, 30- 34)
MUNGKIN banyak dari antara kita sudah pernah melihat dan mengenal domba. Domba adalah salah satu hewan peliharaan yang sangat jinak dan penurut.
Domba sangat bergantung pada tuntunan sang gembala. Domba butuhkan gembala yang membawanya ke padang rumput hijau dan sumber air segar. Jika tersesat, ia tidak bisa balik ke kandang dan hilang.
Domba juga tidak bisa melarikan diri, apalagi membela diri terhadap serangan binatang buas atau pencuri. Seekor domba hanya bisa hidup aman dan tenang dalam tangan gembalanya.
Kitab Suci banyak kali menggunakan domba untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah.
Pertama, Allah ditampilkan sebagai Gembala yang baik, sedangkan manusia adalah domba-domba. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, para pemimpin hendaknya menjalankan peran sebagai gembala-gembala di hadapan rakyatnya.
Nabi Yeremia diutus untuk mengingatkan bangsa Israel dan mengkritik sikap dan perilaku para pemimpin, raja dan imam, yang telah menjauhkan diri dari jalan Tuhan, lebih fokus dengan urusan duniawi lalu lupa akan Allah dan perintah-perintah-Nya.
Akibatnya mereka tidak lagi menjadi gembala yang baik bagi bangsa Israel, khususnya di tengah kemalangan menjadi hamba di tanah pembuangan Babilonia. Bangsa Israel diterlantarkan dan hidup seolah-olah tak bergembala.
Yeremia juga memberi harapan dan keteguhan hati kepada bangsa Israel yang hdup laksana domba tersesat, tak bergembala. Yeremia meyakinkan bangsa Israel bahwa Allah akan memberikan mereka gembala yang sejati dan membawa mereka kembali ke tanah Kanaan, yang bebas dan sejahtera, (Yer 23, 5-6).
Injil hari ini menampilkan Yesus sebagai Gembala baik yang setia menuntun orang-orang yang datang kepada-Nya dengan pengajaran dan pewartaan Khabar Gembira serta membebaskan mereka dari kelemahan, penyakit, serta kuasa roh jahat dan maut.
Yesus juga mengutus para murid dengan kuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa. Mereka mengajar, mewartakan Injil, menyembuhkan orang sakit dan mengusir roh-roh jahat.
Para murid menjalankan tugas kegembalaan itu dengan baik dan berhasil karena mereka setia pada perintah atau amanat perutusan Yesus.
Ketika Yesus berniat untuk beristirahat bersama para murid-Nya di tempat yang sunyi, ternyata di luar dugaan, banyak orang mendahului Yesus dan murid-murid-Nya ke tempat tujuan mereka.
Melihat kerinduan dan kehausan untuk mendengarkan Yesus, maka Yesus membatalkan niat-Nya untuk beristirahat, lalu Ia mengajar mereka tentang banyak hal. Yesus lihat usaha keras untuk mencari Yesus itu laksana kehausan dan kerinduan domba yang tak bergembala, (Mrk 6, 34).
Tanpa Yesus mereka tidak memiliki ketenangan dan kepastian hidup. Sebagai pengikut Kristus, kita hayati iman dan perutusan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat.
Mungkin kita menjumpai orang-orang yang hidup laksana domba tak bergembala, yang mencari Tuhan dan rindu bersatu dengan-Nya. Mungkin ada juga hidup sendiri, terisolasi dari sentuhan dan sapaan sesama.
Kita mesti merasa prihatin dan terpanggil menjadi gembala bagi orang lain. Kita mesti merasa bertanggungjawab untuk kebaikan dan keselamatan orang lain di sekitar kita.
Untuk itu, kita terlebih dahulu mesti punya waktu untuk ada bersama dengan Tuhan. Kita masuk dalam keheningan dan bersatu dengan Tuhan dalam doa. Kita menimba kekuatan dari Tuhan. Kita mendapatkan keberanian, kebijaksanaan dan kemampuan untuk mengajar, membimbing dan menghantar orang lain kepada Yesus.
Sebagai gembala, kita juga mesti berusaha memberikan kesaksian iman lewat pengajaran iman, pewartaan Injil dan teladan hidup yang baik dan benar. Kita mesti punya keberanian menolak dan katakan “tidak” terhadap yang jahat dan giat memperbanyak perbuatan-perbuatan baik.
Kita mesti meyakinkan orang lain bahwa tanpa Yesus mereka tidak memiliki ketenangan dan kepastian hidup. Sebab Yesus adalah damai kita. Maka bersatu dengan Yesus manusia dapat memulihkan kembali hubungan dengan Allah dan juga dengan sesama manusia lain.
Santo Paulus berkata, Yesuslah “damai kita yang telah mempersatukan kedua belah pihak dan yang telah merobohkan tembok pemisah, yaitu permusuhan”, (Ef 2, 14).
Oleh karena itu, kita yang mengasihi Kristus harus saling mengasihi. Setiap orang yang mengasihi Kristus mesti menjadi saudara bagi orang lain. Kita hidup dalam damai dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan sesama.
Dengan demikian, tidak ada lagi orang lain dan asing; orang yang jauh menjadi dekat dan hidup dalam persekutuan sebagai keluarga umat Allah. Semoga!
Kewapante, Minggu, 21 Juli 2024. ***