Tuhan
Sabtu, 17 Februari 2024 13:52 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Pater Gregor Nule, SVD*
Bacaan:Kej 9:8-15; 1Ptr 3:18-22; Mrk 1:12-15)
Ilustrasi.
Suatu hari Minggu seorang pemuda mengikuti perayaan ekaristi di sebuah gereja di kota di mana ia sedang belajar. Ia memilih duduk di bangku paling belakang. Sepanjang misa dia lebih banyak tertunduk, diam dan merenung. Dia juga tidak menerima komuni kudus.
Setelah lagu penutup dan hampir semua umat telah meninggalkan gereja pastor Anton mendekati pemuda itu dan menyalami dia.
Pastor Anton bertanya, “Masih mau berdoa di sini? Kelihatan khusuk sekali doanya”. Pemuda itu menjawab, “Ya romo. Hati saya terasa tidak tenang karena masa lalu saya yang kelam, penuh kebobrokan dan masalah rumit. Saya merasa agak nyaman berada di sini. Tapi, saya tidak yakin Tuhan bisa mengampuni saya”.
Pastor Anton dengan penuh belaskasih memandang wajah pemuda itu dan berkata, “Urusan mengampuni dosa dan salah bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan sendiri. Yang harus kita miliki adalah komitmen dan kemauan untuk bertobat dan melakukan kehendak Allah”.
Dengan wajah tersenyum pemuda itu berkata, “Terima kasih romo. Saya ingin mengawali komitmen saya dengan mengaku dosa, membenahi diri dan memulai hidup baru”.
Refleksi
Kitab Kejadian menceritakan tentang kekecewaan Allah melihat bumi yang rusak sebagai akibat ulah laku manusia. Maka Allah berniat mengakhiri hidup segala makhluk dengan mendatangkan air bah, yaitu banjir atau badai yang sangat besar yang memporakporandakan bumi sehingga mematikan semua makluk di dalamnya termasuk manusia, binatang, hewan piaraan, burung-burung dan tumbuh-tumbuhan.
Hanya Nuh, isteri dan anak-anaknya serta sejumlah hewan piaraan dan burung-burung yang ada di dalam bahtera yang selamat.
Mengapa Nuh beserta keluarga dan milik kepunyaannya selamat? Alasannya adalah karena Allah berkenan kepada Nuh, yang adalah orang benar dan tidak bercela.
Allah sungguh baik dan adil dalam segala tindakanNya: menegur dan menghukum kejahatan, sebaliknya, menyelamatkan dan memberi kesempatan hidup kepada orang yang setia dan taat. Allah juga sungguh maharahim.
Karena itu, kisah air bah tidak berakhir dengan kehancuran dan kebinasaan segala-segalanya. Tetapi, justeru ditutup dengan berkat dan perjanjian yang membuahkan harapan baru bagi manusia dan alam semesta serta segala generasi turun-temurun.
Setelah redanya air bah, Tuhan bersabda kepada Nuh dan keluarganya, “Maka Kuadakan perjanjian dengan kamu, bahwa sejak kini segala yang hidup takkan dilenyapkan oleh air bah lagi dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi”, (Kej 9:11).
Janji Allah ini sungguh istimewa karena ditujukan kepada mereka yang selamat, manusia, binatang-binatang dan makluk hidup lain. Janji Allah ini berlaku turun-temurun, dan tidak pernah akan ada lagi bencana atau musibah dashyat yang serupa. Air bah yang memusnahkan semua tidak pernah terjadi lagi di muka bumi ini.
Janji Allah ini sungguh memberi harapan dan mmeneguhkan hati. Janji ini pun sangat penting karena menjadi jaminan lestarinya hidup segala makhluk, karena Allah sendirilah yang menjanjikan maka Ia pasti akan menjamin pemenuhan janjiNya.
Petrus dalam bacaan kedua mewartakan tentang kepenuhan harapan manusia akan keselamatan dan hidup yang sejati di dalam diri Yesus Kristus. Yesus telah mati satu kali untuk orang-orang tidak benar dan untuk dosa manusia yang banyak itu. Dan, Yesus membawa semua orang kepada Allah.
Yesus dibangkitkan untuk mewartakan Injil kepada roh-roh dalam penjara, yakni mereka yang najis dan penuh dosa. Allah menyelamatkan mereka dan Yesus mencuci bersih semua di dalam air pembaptisan sehingga mereka dapat hidup sebagai anak-anak yang berkenan kepada Allah dan menjadi manusia baru karena kuasa dan belaskasihan Allah.
Ajakan Yesus hari ini untuk bertobat dan percaya kepada Injil merupakan jalan tepat untuk bangkit dari keterpurukan hati dan hidup, lalu berusaha membangun kembali hubungan yang harmonis dengan Allah, sesama dan dengan seluruh alam ciptaan.
Air bah telah menjadi hukuman yang memusnahkan seluruh bangsa manusia serta alam dan segala isinya karena mahusia tidak taat pada kehendak Allah.
Memang Allah telah berjanji tidak akan mengulangi peristiwa air bah. Tetapi jika kita tetap saja ingkar janji dan berdosa atau jika kita tetap tidak mau insyaf dan bertobat maka Allah akan memberikan peringatan-peringatan.
Allah itu maharahim dan penuh belaskasihan, tetapi sekaligus maha adil. Maka ajakan untuk terus-menerus insyaf dan bertobat sangat urgen di masa prapaskah ini.
Karena itu, bertobat tidak berarti kita berjalan pulang ke masa lalu dengan rasa cemas dan putus asa lantaran dosa, kesalahan dan kejahatan yang telah kita lakukan.
Bertobat berarti melihat ke depan dengan penuh harapan bahwa kita akan menjadi jauh lebih baik kalau kita sungguh-sungguh mau tinggalkan yang lama dan memulai yang baru.
Bertobat juga tidak berarti kita hanya cenderung melihat kegagalan-kegagalan yang sudah terjadi yang justeru mematikan semangat dan inisiatif kita untuk tetap hidup sebagai anak-anak Allah.
Bertobat secara benar berarti mengarahkan perhatian penuh iman ke tempat yang mahatinggi, yakni kepada Allah penuh belaskasihan, yang membenci dosa dan kejahatan, tetapi sangat mencintai manusia pendosa yang mau bertobat dan ingin berdamai kembali, baik dengan Allah sendiri, sesama maupun alam sekitar.
Ini berarti kita mengakui dan mengimani kerahiman dan kebesaran kasih Allah. Maka satu hal penting yang perlu kita ingat yakni bahwa urusan pengampunan dosa adalah urusan Allah sendiri. Sedangkan, dari kita hanya diminta komitmen dan kemauan untuk bertobat dan tekad untuk membaharui diri terus-menerus.
Amen.
Tuhan Yesus memberkati kita selalu.
* P. Gregorius Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari Kewapante. ***