Mencintai
Sabtu, 02 September 2023 17:55 WIB
Penulis:redaksi
(Minggu Biasa XXIIA: Yer 20:7-9; Rom 12:1-2; Mt 16:21-27)
Sherly, seorang gadis dari keluarga kaya di Amerika Serikat yang merasa bingung bagaimana harus menghabiskan uang sakunnya setiap bulan. Ia punya mobil, pakaian mewah, dan perhiasan-perhiasan mahal. Ia sering berfoya-foya dengan banyak sahabatnya. Tetapi, ia selalu merasa kesepian dan hatinya tidak tenang.
Pada suatu hari ia jalan-jalan sebagai turis ke Afrika. Entah bagaimana dan apa yang terjadi, ia putuskan untuk menetap di Afrika dan bekerja di sebuah Panti Asuhan, yang menampung anak-anak yatim-piatu, miskin dan terlantar.
Orang tuanya terus-menerus meminta agar ia kembali. Tetapi, ia tetap pada niat dan keputusannya yakni menetap di Afrika dan bekerja di Panti Asuhan itu. Akhirnya ayahnya mengancam bahwa seluruh warisannya akan diberikan kepada orang lain jika ia berkeras kepala dan tidak mau pulang.
Tetapi, Sherly menjawab, “Boleh saja. Aku sudah tidak butuhkan semuanya itu”. Karena sikap dan tindakan yang demikian maka hubungan dengan orang tuanya putus.
Suatu hari ia dikunjungi oleh seorang sahabat lama, anak hartawan lain. Ia bertanya, “Sherly, engkau dapat apa di sini?”. Ia menunjuk anak-anak miskin di Panti Asuhan dan arca Yesus Tersalib di dadanya, lalu berkata, “Saya sudah dapat ini dan mereka semua”.
Pengakuan iman Petrus dan para murid lainnya kepada Yesus sebagai Mesias, Putera Allah yang hidup, menjadi titik tolak bagi Yesus untuk melanjutkan pendampingan dan pendidikan iman serta membangun kesadaran para murid agar senantiasa setia pada Tuhan dan kehendakNya.
Untuk maksud itu, Yesus mengungkapkan rencanaNya ke Yerusalem guna menanggung banyak penderitaan, ditolak oleh para tua-tua, didera dan mati di salib. Tetapi Ia bangkit dari alam maut pada hari ketiga.
Yesus mengajar para muridNya untuk memahami salib dalam arti yang benar dan luhur. Salib bukanlah kutukan dan hukuman, melainkan jalan untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa, kejahatan dan kuasa maut. Salib menjadi jembatan kepada kemuliaan Yesus dan pintu masuk kerajaan surga bagi semua orang yang percaya.
Dengan cara demikian, Yesus memperkenalkan diri sebagai hamba Allah yang harus menderita, dan sekaligus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Ia menjadi pemenuhan janji Allah kepada bangsa Israel akan datangnya Mesias, Juruselamat dunia.
Tetapi, para murid tidak memahami rencana Allah itu. Mereka belum sanggup melihat kehendak Allah di balik penolakan, penderitaan dan kematian Yesus di salib. Maka Petrus menolak rencana Yesus ke Yerusalem. Ia berkata, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu. Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau”, (Mt 16:22).
Berhadapan dengan reaksi negatif ini, Yesus mengingatkan Petrus dan teman-temannya akan hakekat dan tuntutan sebagai murid. Yesus berkata, “Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku. Sebab siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku akan memperolehnya”, Mt 16:24-25).
Melalui kata-kata ini Yesus mau menyadarkan para murid dan kita sekalian bahwa memikul salib adalah sebuah keharusan, dan bukan sekedar sebuah pilihan, mau atau tidak mau, dan juga bukan sebuah nasib malang yang harus ditanggung tanpa makna.
Pengalamn serupa terjadi dalam hidup dan karya Yeremia. Ia merasa ditangkap dan diutus oleh Tuhan untuk mewartakan Sabda Tuhan. Tetapi, pewartaan Yeremia ditolak, pribadinya dicemooh dan diperlakukan secara tidak wajar, bahkan jiwanya berulang kali terancam maut.
Ia juga merasa Allah seolah-olah meninggalkan dia. Meski demikian ia tetap setia dan bertahan. Akibatnya ia berhasil mentobatkan bangsa Israel. Sebab memang tidak ada jalan lain menuju kemuliaan dan kebahagiaan sejati tanpa penderitaan dan pengorbanan diri.
Selain itu, santu Paulus mengingatkan orang – orang Roma agar menata hidup dengan baik sehingga menjadi persembahan yang berkenan kepada Tuhan dan berguna bagi orang lain. Seseorang tidak pantas memberikan yang buruk, yang kotor, yang tidak berguna dan tidak berkenan sebagai persembahan kepada Allah dan sesama.
Sebagai orang kristen kita dipanggil untuk menjalani peristiwa sehari-hari sebagai ungkapan kesetiaan kepada kehendak Allah. Nabi Yeremia, Yesus, rasul-rasul serta para murid lainnya sepanjang sejarah mengalami penolakan, penganiayaan, penderitaan dan bahkan pembunuhan, namun mereka tetap setia pada Allah dan tidak pernah meninggalkan tugas perutusannya. Kita pun hendaknya tetap bertekun dan setia pada iman dan komitmen kita setiap hari.
Karena itu, kita belajar dari gadis kaya yang rela meninggalkan kemewahan dan kenyamanan hidup bersama orang tuanya karena telah melihat dan menemukan Allah di balik penderitaan dan situasi sulit yang dialami oleh anak-anak miskin di Afrika. Kita belajar untuk coba lupa diri dan lupakan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok agar dapat memberikan sesuatu yang terbaik untuk Tuhan, sesama dan demi kebaikan bersama.
Mungkin sering kita mudah mengeluh, marah-marah dan cepat melarikan diri dari persoalan-persoalan hidup. Atau kita mudah membela diri lalu mempersalahkan orang lain, dan bahkan persalahkan Tuhan sendiri.
Di atas segala-galanya, Yesus meminta kita supaya rela berkorban demi kebahagiaan dan keselamatan orang banyak, sebagaimana Yesus sendiri telah mengorbankan segalanya, bahkan rela mati di salib demi keselamatan semua umat manusia. Amen.
Kewapante, Minggu, 03 September 2023
P. Gregorius Nule, SVD