Tuhan
Sabtu, 13 Mei 2023 20:06 WIB
Penulis:redaksi
(Minggu Paskah VI A: Kis 8:5-8.14-17; 1Petr 3:15-18; Yoh 14: 15-21)
Ilustrasi:
Pada suatu malam Minggu Edi, seorang bapak berumur 50-an tahun, berdiri di depan sebuah rumah, tempat anaknya bermain judi dan mabuk-mabukan dengan teman-temannya.
Edi mau membujuk anaknya kembali ke rumah karena sudah hampir seminggu ia tidak pulang ke rumah. Ketika Edi sedang menunggu, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki muda dan bertanya: ”Bapak, menunggu siapa di sini?”
Jawab Edi, “Saya menunggu Anton. Saya ingin membawa dia pulang ke rumah”. Tanya orang itu,“Mengapa mesti berkorban menunggu di malam yang dingin seperti ini”?
Jawab Anton, “Saya adalah ayahnya, dan saya merasa bertanggungjawab mengajak anak saya kembali ke rumah. Saya mau dia kembali ke jalan hidup yang baik dan benar. Dia masih terlalu muda. Apalagi malam ini adalah malam Minggu. Dan sebagai orang katolik kita hendaknya siap diri untuk merayakan hari Tuhan”.
Mendengar itu meneteslah air mata laki-laki muda itu, lalu berkata, “Pak Edi adalah seorang ayah yang baik. Saya berharap memiliki ayah seperti bapak”.
Lalu ia masuk ke dalam rumah, dan tiba-tiba suasana rumah itu menjadi sunyi. Tidak terdengar suara apa pun, kecuali bunyi daun pintu yang sedang ditutup. Kemudian pemuda itu keluar bersama Anton dan beberapa orang lainnya.
Pemuda itu berkata, “Anton, karena ayahmu, saya tutup tempat judi ini malam ini juga. Kamu harus bersyukur memiliki ayah seperti ini. Kamu harus pulang ke rumah dan mengikuti nasehat ayahmu, dan jangan coba bermain judi lagi! Ayahmu sudh berkorban menunggumu di malam yang dingin ini”.
Lalu Edy dan anaknya pulang ke rumah, diiringi rasa haru dan sukacita.
Refleksi:
Pengalaman harian menunjukkan bahwa hidup manusia tidak selalu menyenangkan dan aman-mana saja. Tidak luput dari tantangan dan kesulitan. Ada suka dan duka.
Ada keberhasilan atau pun kegagalan. Ada tawaria dan tangisan. Semuanya silih berganti mewarnai jalan hidup ini.
Hal serupa dialmi oleh para rasul dan umat Gereja perdana dalam melaksanakan tugas perutusan. Ketika para rasul mengalami penganiayaan di Yerusalem, Filipus berngkat ke Samaria untuk mewartakan Injil dan mengalami sukses besar di sana.
Banyak orang datang kepadanya, mendengarkan pengajarannya dan percaya kepada Kristus yang bangkit. Orang-orang lumpuh dan timpang disembuhkannya.
Banyak orang yang kerasukan roh jahat menjadi sembuh. Maka sukacita besar terjadi di seluruh Samaria, (bdk. Kis 5:6-8).
Di tengah sukacita karena keberhasilan dalam misi, para murid Tuhan juga mengalami tantangan dan kesulitan. Ada orang yang menfitnah. mengancam dan bahkan menganiaya mereka.
Mereka alami hambatan, penderitaan lpenolakan dan penganiayaan sebagai akibat kesetiaan terhadap misi perutusan.
Meski demikian, mereka tidak mundur. Mereka tidak menyerah. Mereka tidak lari apalagi berhenti melaksanakan tugas pewartaan Injil. Sebab bagi mereka mewartakan Injil dan kebenaran iman adalah hal yang baik dan patut dilaksanakan terus-menerus. Itulah kehendak dan perintah Allah yang mesti ditaati.
Dan, mereka rela menderita karena berbuat baik dan melakukan kehendak Allah. Menderita demi Injil dan iman akan Yesus Kristus menjadi pilihan atau opsi utama para utusan Tuhan.
Keyakinan ini diungkapkan oleh Petrus dalam kotbahnya, “sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat”, (1Petr 3:17).
Bagaimana dengan kita? Bercermin pada pengalaman Edi, dalam ilustrasi di atas, yang rela berkorban untuk Anton, anaknya. Ia mau menanti di luar rumah judi di malam yang dingin, asalkan anaknya mau bertobat dan kembali ke rumah. Ia mau menderita untuk kebaikan anaknya.
Kita pun terkadang alami hal serupa. Kita tidak luput dari penderitaan dan kesusahan. Dan, kita tidak bisa lari daripadanya. Yang penting kita menderita karena berbuat baik.
Kita menderita dan rela berkorban karena apa yang kita lakukan sesuai dengan kehendak dan perintah Allah, yakni untuk kebaikan orang lain dan kemuliaan Allah.
Kalau seorang imam korbankan waktu istirahat siang untuk mengunjungi dan melayani sakramen orang sakit, itu baik. Kalau orang tua bekerja keras tanpa henti di kantor, toko, kios atau bengkel, untuk mendapatkan rezeki secukupnya demi kesejahteraan keluarga dan pendidikan anak-anaknya, itu baik.
Kalau seorang petani rela ekerja keras, menahan panas dan hujan untuk mendapatkan hasil panen secukupnya, itu baik. Kalau seorang guru dan dosen bekerja keras demi kebaikan para peserta didik, kendatipun ia harus korbankan keinginan dan hobi-hobinya, itu baik.
Kalau seorang siswa atau mahasiswa merasa setengah mati belajar supaya bisa lulus dan punya masa depan yang cerah, itu baik. Kalau seorang ibu rumah tangga bekerja keras dan merasa setengah mati mengurus rumah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi keluarga, itu baik.
Menderita demi sesuatu yang baik dan dengan cara yang baik pula, itu sangat terpuji dan sesuai dengan kehendak Allah. Lebih baik kita menderita karena berbuat baik daripada menderita karena berbuat jahat, seperti mencuri, menipu, judi, korupsi, atau bermalas-malasan dan mencari keuntungan dengan mengorbankan orang lain.
Orang yang menderita karena berbuat baik hidup sesuai dengan kehendak Allah dan akan mendapatkan imbalan yang pantas dari Allah.
Yesus bersabda, “Siapa saja yang memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Siapa saja yang mengasihi Aku, ia akan dikasihi Bapa-Ku, Aku pun akan mengasihi dia, dan akan menyatakan Diri-Ku kepadanya”, (Yoh 14:21).
Inilah cita-cita luhur dan tujuan pencarian setiap orang beriman, yakni hidup dalam persatuan intim dengan Alllah selama-lamanya. Amen.
Kewapante, Minggu, 14 Mei 2023/
P. Gregorius Nule, SVD . ***