Senin, 08 Februari 2021 14:05 WIB
Penulis:MAR
Editor:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka*
WARLOKA, nama ini semestinya tidak lagi ‘asing’, karena dalam beberapa tahun belakangan ini sering dikunjungi wisatawan asing, dan para awak media, baik nasional maupun lokal. Bahkan, sejak 1950, Warloka juga sudah menarik perhatian para misionaris SVD berkebangsaan Belanda yang berminat besar pada penelitian arkelogis.
Setelah mendengar cerita dari mulut ke mulut dari warga lokal, mengenai tumpukan batu purba yang aneh, pada Agustus 1950, Pater Dr. Th. Verhoeven, SVD, Pater Wilhelmus van Bekkum, SVD dan Pater Mommersteeg, SVD mendatangi Warloka.
Setelah berjalan kaki dari Labuan Bajo sekitar 4,5 jam lamnaya, mereka pun tiba di sebuah bekas kampung, bekas bandar-niaga purba, bernama Warloka. Warga lokal menyebutnya Werloka atau Berloka.. Di situ terdapat banyak sisa-sisa megalith yang merupakan ciri-ciri dari kebudayaan manusia zaman batu besar (megalitikum).
Setahun berikutnya, tepatnya pada Juli 1951, SVD menugaskan Pater Mommersteg untuk memimpin ekspedisi kedua. Setelah melakukan penulusuran dan penggalian, tim ini berhasil menemukan sejumlah peralatan batu, tengkorak dan tulang-tulang manusia yang kemudian diketahui sebagai manusia Proto Negrito (tinggal di gua-gua, makan buah-buahan, akar-akaran dan hasil buruan).
Kampung dagang barter dan TPA, isyarat kemunduran peradaban
Beberapa tahun belakangan ini, media, baik lokal maupun nasional, kembali menyoroti Warloka. Mereka umumnya merasa tertarik dengan keunikan pasar tradisonal Waroloka yang masih mempraktikan sitem barter, di mana penduduk dari wilayah pedalaman bertukar hasil pertanian mereka dengan penduduk pesisir yang menyediakan hasil laut, dan barang-barang kebutuhan yang datang dari luar kampung.
Ada beberapa awak media, yang justru tertarik dengan warisan megalitik, berupa dolmen, menhir atau balok sejumlah balok batu panjang, mirip beton berukuran 2 hingga empat meter.
Pada Minggu (30/8/2020), Warloka menjadi headline media lokal, karena tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang terbakar sepanjang lwbih dari lima jam, entah disengaja atau tidak.
Ditilik dari sudut sejarah, keunikan Warloka kini sebagai pasar barter, sejatinya bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Pasar barter, sebagai wujud pasar paling tradisional adalah bukti ‘kemunduran peradaban yang drastis dan memprihatinkan’ di Warloka.
Kemunduran bahkan terasa kian memprihatinkan, ketika pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Manggarai menjadikan salah satu wilayah seluas 5ha, tak jauh dari kampung Warloka sebagai TPA.
Memang dalam beberapa tahun belakangan Pemda Kabupaten Manggarai Barat sangat gencar membagun industri pariwisatanya. Untuk mendukung pariwisata, pada 2017, Kabupaten Manggarai Barat mendapat bantuan dana Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR sebesar Rp 13 Miliar untuk membangun TPA.
Entah apa pertimbangan utamanya, Warloka dipilih menjadi lokasi TPA ini desain sistem sanitary landfill atau sistem pengelolaan sampah dengan cara membuang sampah di lokasi cekung, memadatkan dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Namun sejak beroperasi pada 2019, operasi TPA Waroloka, seperti kebanyakan TPA di Indonesia, justru menggunakan sistem open dumping. Artinya, sampah dibuang begitu saja di TPA sehingga menggunung dan rawan longsor.
Pusat niaga internasional
Berdasarkan informasi dan temuan ekpesdisi tim SVD, pada 1979 sebuah tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Museum Nasional melakukan peninjauan di Warloka. Waktu itu tim berhasil mengumpulkan keramik yang berasal dari Cina (dinasti Sung - Ming) abad ke - 10—17; Vietnam (Annam) abad ke - 14—15; dan Thailand abad ke - 14-15 (Abu Ridho 1979).
Dua tahun berikutnya, sebuah tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, dan Balai Arkeologi Denpasar, Bali melakukan ekspedisi ke Warloka lagi. Tim tersebut terdiri dari Drs. Hasan Muarif Ambary (Ketua Tim); Dra. M.Th. Naniek H. (Anggota); Rokhus Due Awe B.A. (Anggota); Dra. Ayu Kusumawati (Anggota); I Nyoman Mudera (Anggota); dan Dewa Gede Rai Jaya B.A (Anggota).
Mereka melakukan penelitian di situs tersebut dari 11 April sampai dengan 5 Mei 1981. Penelitian dilaksanakan dengan dua cara, yaitu survei dan ekskavasi. Dari penelitian itu, tim menemukan sejumlah artefak yang memiliki ciri-ciri yang dapat dimasukkan dalam masa tradisi berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut (epipaleolitik-mesolitik).
Tim ini juga menemukan bangunan menhir atau batu tegak dibuat dari batuan vulkanik yang dikenal dengan nama diorit, berhidang datar enam atau lima, tinggi dari permukaan tanah kurang lebih 1.5 - 2.5 meter, sedangkan lebar bidang datar tidak sama, yaitu berkisar antara 4 — 15 cm. Bangunan dolmen atau meja batu dibuat dari batu gamping. Pada bidang datarnya terlihat semacam lukisan (relief timbul) berupa fauna (?), yang menyerupai binatang reptil biawak dan ular (?)
Selain itu terdapat dolmen polos (tanpa hiasan). Secara keseluruhan tipe alat batu paleolitik yang dikumpulkan, dapat digolongkan dalam kelompok Tradisi Pacitan, seperti juga artefak batu paleolitik yang dikumpulkan dari Liang Bua.
Lebih dari itu, tim ekspedisi 1981 menemukan gerabah (pasu, periuk, pot bunga dan gacuk) yang terdiri atas 81 buah pecahan, sedangkan dari hasil ekskavasi sebanyak 242 buah pecahan. Juga ditemukan keramik (piring, mangkuk, guci, cepuk, tempayan, teko, botol). Melalui analisis asal dan kronologi keramik, diketahui bahw a sebagian besar keramik yan g ditemuka n berasal dari aba d ke—14—1 7 (Cina, Vietnam, dan Siam/Thailand), walaupu n ditemuka n keramik yang berasal bai k dari aba d sebelumny a maupun sesudahnya. Berdasarkan kualifikasi tersebut, diduga bahwa awal kehadiran keramik pada situs ini setidaknya mulai pada abad ke-10.
Gambar Piring Porcelin Cina dari Dinasti Ming dan Dinasti Han, Koleksi Museum Bikon Blewut Ledalero, Flores.
Tabel: Hasil Analisis Tim Expedisi 1981 atas Fragmen Keramik di Situs Warloka
Sumber: M.Th. Naniek H. Hasan Muarif Ambary Rokhus Due Awe, “Laporan Penelitian Arkeologi Warloka, Kabupaten Manggarai, Flores, Np. 30,” (1984:hal.17).
Bertolak dari bergagai tradisis lisan orang Manggarai dan data arkelogis sebagaimana disebutkan di atas, Dami Ndandu. Toda, sastrawan kelahiran Pongkor, lewat bukunya “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999) menandaskan bahwa Warloka adalah pusat perdagangan inernasional. Puncak keramaian niaga di Warloka diperkirakan mulai terjadi pada abad ke-13, pada jaman kejayaan Majapahit, terus berlangsung hingga pada abad ke-14.
Marybeth Erb (1999:66) “The Manggaraians: A Guide to Traditional Lifestyles” bahkan menduga nama ‘Waraloka’ adalah pelesetan dari ‘Wuruk Loka’.yang berasal dari nama Hayam Wuruk, raja Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389.
Kedudukan Warloka berangsur-angsur merosot, ketika Solor dan Timor menjadi pusat niaga baru yang ramai dikunjungi para saudagar Guajarat, Cina, Jawa (Majapahit), Portugis, dan kemudian Belanda. Sekitar 1630, Warloka memang sempat disinggahi saudagar Portugis, Diogo Varilla, dalam pelayarannya dari Kota Jogo (di Nagekeo bagian utara), menuju Tonggo (Nagekeo selatan) dan kemudian ke pulau Ende.
Tampaknya kegiatan perniagaan di Warloka benar-benar redup semenjak Perjanjian Bungaya (dalam bahasa Belanda: Bongaaisch Contract). Ini adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa (Goa) yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.
Meski disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Kesultanan Gowa dari VOC dan pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa), dan sejumlah pelabuhan lain di wilayah sekitarnya, termasuk pelabuahn Warloka.
Menurut perjanjian tersebut, hanya VOC yang boleh bebas berdagang di Makassar dan wilayah sekitarnya. Para saudagar "Moor" (orang Muslim dari Gujarat), Tiongkok, Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh VOC.
Perjanjian itu menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai utara Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di Makassar. Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap dan diperlakukan sebagaimana musuh.
Tidak boleh juga, tandas perjanjian itu, ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
Perjanjian Bongaya berdampak langsung pada Flores (Manggarai). Orang Bima yang berada dibawa kendali Gowa, merasa terancam ketika Belanda menaklukkan Gowa. Oleh karena itu, tak sedikit dari mereka yang mengungsi ke kepulauan Komodo, Manggarai, hingga ke wilayah Tonggo dan Ende bagian tengah, Flores. Kedatangan orang Bima membuat penduduk asli Flores di daerah pesisir terdesak ke wilayah pedalaman. Penduduk lokal yang semula bermukim di Waroka berpindah ke pedalaman hingga ke Todo Pongkor.
Hal ini selarasn dengan hasil penelusuran literatur Dami N. Toda. Toda menemukan bahwa Kraeng Manshur Nera Beang Bombang Palapa yang mendirikan Kerajaan Todo, pada awalnya mendarat dan bermukim di Warloka ketika tiba pertama kali di bumi Manggarai.
Semenjak ditinggal para saudagar internasional yang terceberai oleh dominasi VOC, dan ketika wilayah Manggarai (termasuk Warloka) semakin dibanjiri oleh pengungsi dari Bima yang terdesak ketika Gowa kalah dari VOC, penduduk asli Warloka terdesak ke pedalaman. Mereka tak punya akses lagi ke barang niaga yang datang dari luar.
Kemudian, ketika para pengungsi Bima ‘mendominasi’ daerah pesisir (Warloka), orang Warloka yang di pedalaman tak punya pilihan, selain melakukan ‘barter’ dengan mereka. Demikianlah, ‘pusat niaga internasional’ berubah menjadi ‘pasar barter’ tradisional, sebagaimana kita jumpai sekarang. ***