jawa barat
Sabtu, 21 Agustus 2021 21:20 WIB
Penulis:MAR
JAKARTA (Floresku.com) – Persoalan human trafficking di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih mengkhawatirkan sehingga semua pihak diminta untuk terlibat dan mencari solusi serius.
Kecemasan itu terungkap dalam Webinar Pra-Musyawah Besar (Mubes) Serikat Pemuda Indonesia NTT, Sabtu (21/8/2021), dengan tema: Kupas Tuntas Kasus Human Trafficking yang Mengeksploitasi Manusia Sebagai Komoditas.
Hadir sebagai pembicara adalah Sylvia Peku Djawang, Kepala Dinas Koperasi, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Melkiades Laka Lena (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI), Antonius Wibowo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Servulus Bobo Riti (Direktur S2P2 Kawasan Amerika dan Pasifik, BP2MI), Gabriel Goa Sola (Ketua Dewan Pembinana Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Dunia), Berta Hangge (Kanit Wassidik Ditrskrimun Polda NTt) dan Rafail Wulangitan (Asisten Dputi Bidang Pelindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO).
Menurut Sylvia, terdapat 445 pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT meninggal dunia saat bekerja di luar negeri dalam kurun waktu 2013—2019.
"Sebagian besar meninggal dunia adalah yang bekerja tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku," kata dia.
Menurut dia, kasus pengiriman tenaga kerja yang dilakukan tidak sesuai engan prosedur dari NTT sangat marak sebelum pemerintah melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada tahun 2018—2019.
Ia menyebutkan sekitar 93 persen atau 420 orang tenaga kerja asal provinsi berbasis kepulauan ini yang bekerja di Malaysia meninggal dunia. Para pekerja yang meninggal dunia itu, kata Sylvia, tidak mengantongi dokumen bekerja yang legal.
Para pekerja yang meninggal dunia itu, kata Sylvia, tidak mengantongi dokumen bekerja yang legal. Sementara itu, 25 pekerja migran lainnya yang meninggal dunia terjadi di luar negara Malaysia. "Banyak tenaga kerja asal NTT itu bekerja tidak sesuai dengan prosedur dan dokumen yang dimiliki ada yang dipalsukan oleh para perekrut," ujarnya.
Dikatakan pula bahwa selain tenaga kerja yang dikirim tidak sesuai dengan prosedur, mereka juga belum memiliki keterampilan bekerja yang memadai. Ia mendorong semua pihak di provinsi ini untuk mengikuti prosedur yang berlaku apabila ingin bekerja di luar negeri sehingga mendapat perlindungan hukum apabila terjadi persoalan yang menimpa mereka.
Tiga Solusi
Terkait peningkatan jumlah human traficking di NTT, Servulus membenarkan hal itu dan meminta agar segera dicarikan solusi yang serius . “Semuanya ini terkait dengan capacity building kita di NTT yang masih lemah,” ujarnya.
Karena itu, Servullus menawarkan tiga solusi berikut. Pertama, kredit untuk rakyat (KUR) yang disalurkan oleh Bank Pemerintahan Daerah (BPD) harus menyentuh desa-desa migran dengan berbagai program yang produktif.
Kedua, karena ini persoalan extra ordinary, dia juga berharap Pemda NTT juga meresponnya secara luar biasa melalui kebijakan politik dan politik anggaran.
“Seberapa serius kita membangun BLK. Sekadar contoh, BLK di kampung saya di Sumba masih amburadul dan kadang-kadang masih ada kambing yang masuk dalam ruang BLK,” ujarnya.
Ketiga, reorentasi pengiriman tenaga kerja yang selama ini secara tradsional masih berpusat ke Malaysia. Menurut dia, kepergian tenaga kerja ke negara tetangga itu merupakan tradisi sejak 1939 saat negara ini belum merdeka dan warga Adonara merantau ke Malaysia.
“Pengiriman tenaga kerja kera ke Malaysia masih berlaku sampai saat ini. Pengiriman tenaga kerja seperti ni masih mengandalkan jaringan secara tradisional.”
Padahal, lanjutnya, banyak negara lain yang juga kondusfi bagi tenaga kerja dari NTT seperti Hongkong, Taiwan, Jepang, Kanada dan Singapura. “Kita harus manfaatkan peluang ini dengan mempersiapkan tenaga kerja kita secara baik,” tegasnya.
Terkait perdagangan manusia di NTT, Gabriel Gola menyoroti sejumlah mafia yang menjadi otak pengiriman dan perekrutan secara illegal. “Mereka ini harus diditindak secara serius karena selama ini kita hanya menyentuh perusahaan-perusahaan yang mengirim, tapi para mafia ini masih aman,” tegasnya.
setahun yang lalu