KPA Minta Pemerintahan Prabowo Cabut Kebijakan Food Estate yang Tak Selaras Reformasi Agraria

Rabu, 16 Oktober 2024 15:06 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

dewi.jpg
Dewi Kartika Sekretaris Jenderal, Konsorsium Pembaruan Agraria (Dokpri)

JAKARTA (Floresku.com) - Menyambung rilis sebelumnya terkait 4 (empat) bahaya Food Estate (FE) dan kegagalannya sejak era-Soeharto hingga Jokowi. Pasca ditetapkannya FE di Merauke sebagai PSN yang harus dipercepat eksekuasinya di lapangan menjelang pergantian kekuasaan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kembali menegaskan kepada pemerintahan lama dan baru untuk membatalkan menjadikan Merauke dan tanah-tanah rakyat lainnya sebagai playing fields para elit politik-bisnis dengan mengatasnamakan ketahanan pangan.

Melalui keterangan tertulis yang diterima Floresku.com, Rabu (16/10) sore, Dewi Kartika Sekretaris Jenderal, Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, "Prabowo Subianto, Presiden RI terpilih, sebaiknya segera mencabut kebijakan dan mengganti Food Estate dengan cara konsisten dan konsekuen melaksanakan Reformasi Agraria yang sejati (genuine) demi mencapai keadilan dan kemakmuran bagi kaum tani, sekaligus sebagai jalan bagi perubahan politik pangan kita agar tercipta swasembada dan kedaulatan pangan.

Food Estate adalah legacy buruk pemerintahan Jokowi dan era-era sebelumnya, yang telah terbukti gagal dan merugikan hajat hidup petani dan banyak rakyat kecil. 

Food Estate adalah bom waktu dari Jokowi untuk Prabowo, oleh karena itu politik pertanian dan pangan kita ke depan harus lah diarahkan menuju perubahan fundamental dengan cara-cara, sbb.:

Pertama, Menempatkan kembali petani sebagai soko guru pembangunan dan produsen pangan yang utama bagi bangsa. Pemerintahan Prabowo harus memperkuat petani dan pusat-pusat usaha pertanian, peternakan dan pertambakan yang dimiliki rakyat. 

Sebab pembangunan pertanian dan pemenuhan pangan nasional sudah seharusnya dikembalikan kepada ahlinya, yakni Petani.

Petani sejatinya adalah soko guru pembangunan, produsen pangan yang utama, sesuai sejarah peradaban masyarakat agraris, kekayaan pengetahuan dan pengalamannya, serta keahliannya. Bukan melulu memperkuat korporasi, bukan pula mengerahkan tentara untuk cetak sawah dan berladang. 

Apalagi mendorong korporasi tambang, disulap dan diserahi proyek cetak sawah baru di Merauke dan daerah lainnya.

Haruslah diingat, saat ini di Indonesia, masih memiliki 17 juta petani kecil yang menjalankan usaha pertanian. Jika dirata-rata dengan angka gurem saja (0,5 hektar), maka setidaknya ada 8,5 juta hektar tanah pertanian rakyat yang sangat potensial untuk diperkuat dan dikembangkan menjadi usaha-usaha pertanian yang maju dan modern. 

Usaha rakyat di bidang pertanian haruslah ditopang oleh teknologi tepat guna, pelatihan, permodalan, penyediaan benih, pupuk, infrastruktur dsb. agar kapasitas produksinya meningkat dan mutu pangannya semakin berkualitas.

Angka tersebut belum termasuk petani menengah (di atas 0,5 hektar), buruh tani, penggarap, petambak dan nelayan. Artinya negeri kita sesungguhnya masih berlimpah dari sisi jumlah produsen pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahkan mencapai surplus pangan, jika pemenuhannya kembali diletakan dan ditumpukan kepada petani sebagai soko guru pembangunan ke depan.

Selanjutnya hilirisasi peran perusahaan. Dalam hal ini, kelompok korporasi sebaiknya diletakan di hilir saja (distribusi dan pemasaran pangan) sebagai obtaker hasil panen dan hasil olahan pangan dari koperasi-koperasi petani. 

Peran korporasi juga harus ditempatkan pada fungsi-fungsi sistem pendukung petani dan pertanian rakyat, seperti penyedia pengetahuan dan teknologi tepat guna bagi koperasi petani. Universitas-universitas pertanian dan para ahli terbaik yang dimiliki Indonesia, seharusnya diarahkan untuk memajukan pertanian rakyat, bukan mendukung korporasi pangan semacam food estate, yang merampas tanah Petani dan Masyarakat Adat.

Kedua, Bangun koperasi bukan korporasi pangan. Proyek semacam FE seharusnya wujudnya bukan dalam wujud korporasi pertanian, melainkan koperasi-koperasi produksi pangan yang dimiliki petani, serikat tani dan/atau badan-badan usaha miliki petani.

 Sebagai Langkah awal, uji cobakan dulu di lokasi-lokasi Reforma Agraria dimana petani dan lahannya telah ada.

Pemerintah tidak perlu bersusah payah menggelontorkan dana untuk membuka dan merusak hutan, dan terus mencari-cari “tanah kosong” bagi FE, lalu berkonflik dengan rakyat. Pemerintah mengikat kerjasama saja dengan petani dan serikat petani secara kolektif (bergotong-royong) dalam bentuk koperasi-koperasi milik petani untuk memngembangka pertanian yang maju sebagai penopang kemandirian dan kedaulatan pangan,

Ketiga, Ratusan triliun dana FE dan program ketahanan pangan berbasis korporasi dan militer ini sebaiknya dialihkan untuk membangun, memperkuat dan mengembangkan sentra-sentra usaha pertanian yang dimiliki petani. 

Usaha-usaha pertanian rakyat selama ini terus berupaya tetap survive di tengah pemiskinan structural, terus dihantui ancaman perampasan tanah dan konversi lahan pertanian demi PSN dan proyek-proyek lapar tanah, serta berbagai bentuk diskriminasi hak kepada petani.

Dengan memusatkan dukungan financial dll. kepada usaha-usaha pemenuhan pangan nasional yang bersumber dari pertanian rakyat, maka koperasi petani dan/atau badan usaha milik petani kita tidak hanya mampu berproduksi dengan lebih baik dan maju karena didukung oleh teknologi tepat guna dan termutakhir, serta system pendukung usaha pertanian lainnya mulai dari system permodalan, pengairan, pendidikan dan pemasaran.

Bahkan, transformasi pertanian rakyat ke depan melalui koperasi-koperasi produksi petani tidak hanya mampu memproduksi pangan, tetapi mengolah hasil panen sehingga mendapatkan nilai tambah, bahkan mampu memproduksi pupuk organik sendiri, mengembangkan benih dan bibit unggul, hingga berkembang dan terintegrasi dengan peternakan. 

Jadi bukan sistem food estate yang memaksa petani dan Masyarakat adat menjadi buruh di FE, lalu menggunakan benih dan pupuk kimia yang juga diproduksi dan dikuasai oleh korporasi dan mafia pupuk.

Dengan melaksanakan Reforma Agraria sebagai pengganti Food Estate, nicaya Indonesia ke depan tidak perlu lagi menderita darurat agraria karena Petani dan Masyarakat Adatnya disingkirkan melalui praktek-praktek perampasan tanah dan konversi lahan pertanian. Juga derita nelayan sebab wilayah tangkapnya diambil alih oleh kapal-kapal perikanan raksasa.

Dengan jalan utama Reforma Agraria sebagai politik pangan bangsa, justru negara kita niscaya akan mampu mencapai swasembada pangan, secara mandiri, berdaulat dan bermartabat. Bahkan mampu bersaing sebagai eksportir pangan jika mengganti proyek FE dengan pemenuhan janji Reforma Agraria bagi Petani sesuai mandat Konstitusi dan UUPA 1960.  

Sikap politik KPA ini merupakan lanjutan dari pernyataan sebelumnya yang menyoroti kegagalan Pemerintahan Jokowi  yang gagal menjalankan Program Pertanian Food Estate. (Sandra/SP). ***