Nagekeo
Rabu, 11 Oktober 2023 06:40 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
MBAY (Floresku.com) -Setiap suku atau klan di Flores, termasuk di wilayah Nagekeo, memiliki cerita berbeda mengenai asal-usul nenek-moyang mereka. Masyarakat tradisional di daerah Nage di Flores Tengah memiliki sebuah legenda menarik, yang oleh sejumlah peneliti diduga berkaitan dengan kehidupan manusia purba di wilayahFlores Tengah dan Barat.
Legenda itu mengisahkan kehidupan sejenis manusia bertubuh pendek, yang disebut Ebu Gogo.
Perihal Ebu Gogo, sebuah artikel dijurnal ilmiah New Scientist (Vol. 186, No. 2504) memberikan penjelasan sebagai berikut. Dalam Bahasa Nage, Ebu Gogo adalah sebutan bagi “nenek yang makan apa saja” (“nenek pelahap”).
Nama itu terdiri dari dua kata, yaitu Ebu artinya “nenek” dan Gogo artinya “dia yang makan apa saja”.
Ebu Gogo itu adalah makhluk yang memiliki postur badan cukup pendek dengan tinggi sekitarsatu meter, mirip dengan ukurantubuh ‘manusia negrito’yang ditemukan Dr. Theodurus Verhovendi Cekungan Soa, dan Homo Floresiensis, yang fosilnya di temukan di Liang Bua.
Selain bertubuh pendek, Ebu Gogo berbulu lebat di sekujur tubuhnya. Ia digambarkan berperut buncit dengan daun telinga yang menonjol.
Wanita Ebu Gogo dewasa memiliki payudara dengan ukuran yang tidak biasa: panjang dan menggantung, sehingga dia dapat melemparkannya ke punggung melampaui bahunyasendiri.
Dikatakan, Ebu Gogo berjalan dengan cara agak canggung. Ebu Gogo sering “bergumam” dalam apa yang dianggap sebagai bahasa yang tak dimengerti oleh warga Nage.
Namun, penduduk Nage mengatakan bahwa Ebu Gogo, seperti burung beo, dapat mengulangi apa yang dikatakankepada mereka.
Ebu Gogo hidup di dalam gua dan hanya keluar ketika mencari makanan. Atribut fantastis lain dari Ebu Gogo adalah kebiasaannya untuk menelan secara utuhmakanan yang disantapnya.
Mereka melahap apa saja, termasuk daging mentah, buah, sayuran, anjing, anak babi, dan sesekali bayi manusia.
Orang Nage membedakan Ebu Gogo dari “roh” (nitu). Ebu Gogo tidak seperti Nitu yang memiliki daya supernatural’ sehinggamenghilang seketika, berubah bentuk, berubah menjadi hewan, dan seterusnya (Forth 2005 :15).
Berdasarkan cerita orang Nage, Dr. Gregory Forth (2008) menulis buku perihal Ebu Gogo dengan judul, Images of the Wildmanin Southeast Asia: An Anthropological Perspective.
Ringkasan narasi mengenai Ebu Gogo yang ditulis Forth (2008) seperti berikut ini.“Ebu Gogo seperti manusia, mereka berdiri tegak dan tidak punya ekor, namun badan mereka berbulu dan wajah mereka mirip kera atau orang utan, dengan gigi taring yang besar. Yang perempuan punya buah dada yang panjang - begitu panjang sehingga buah dada mereka bisa dibentangkan di bahu sehingga anaknya bisa menyusu dari balik punggung ibunya.
Tubuh Ebu Gogo dewasa hanya setinggi satu meter, tetapi mereka sangat kuat dan bisa berlari sangat kencang sehingga manusia tidak akan bisa mengejar dan menangkap mereka.
Orang Nage di Flores Tengah menceritakan, sekitar 300 tahun yang lalu (bdk. monstropedia.org), ada sekitar 50 orang Ebu Gogo hidup di gua Lia ‘Ua, satu kilometer dari Kampung Ua.
Gua itu sangat besar dan punya lorong masuk hingga satu kilometer panjangnya menuju pintu keluar bagian timur.
Ebu Gogo tidak mengenal alat-alat atau perkakas dan senjata, juga tidak mengenalapi.
Mereka menyantap makanan yang didapati tanpa memasak lebih dahulu.
Mereka juga tidak pernah mandi sehingga aroma bau badan sangat tidak sedap. Manusia bisa mendeteksi kehadiran mereka lewat bau badan tersebut.
Ebu Gogo juga sering mencuri makanan dari kebun dan gubuk orang ‘Ua. Kadang- kadang mereka muncul di tempat pesta di Kampung ‘Ua dan permukiman-permukiman kecil di sekitar.
Orang-orang di kampung lalu memberi makanan untuk kelompok Ebu Gogo ini, mereka lalu melahap semuanya.
Mereka rakus, tetapi tidak mau bercocok tanam. Ebu Gogo juga sering menyolong bekal nelayan dan hasil tangkapan mereka di perahu.
Saat menghadiri pesta, Ebu Gogo sering mempertunjukkan sejenis tarian dengan formasi melingkar.
Mereka bisa bicara, tetapi menggunakan bahasa yang berbeda dengan yang dituturkan oleh orang Nage sehingga sulit dimengerti.
Suatu saat, seorang Ebu Gogo perempuan ditangkap saat mencuri di wilayah salah satu leluhur Ua bernama Huma Leli. Sebelummemulai aksi pencurian, dia meninggalkan bayinya di gubuk milik Huma.
Ketika Huma pulang ke gubuknya, dia menemukan bayi itu. Huma lalu menikammati bayi Ebu Gogo itu dengan pelepahpohon moke.
Kemudian, ibu dari bayi itu pun datang untuk mengambil bayinya, tetapi kaget karena digonggong anjing.
Ebu Gogo sangat takut dengan anjing. Mereka juga takut pada sisir yang terbuat dari bambu. Ebu Gogo perempuan itu lalu berteriak histeris karena mengira bahwa anjing tersebut telah membunuhbayinya. Ia lalu melarikan diri sambil membawabayinya yang telah mati itu ke dalam gua.
Kesal karena Ebu Gogo selalu melakukan aksi pencurian bahan makanan, orang ‘Ua kemudian memutuskan untuk membasmi Ebu Gogo. Suatu ketika, setelah Ebu Gogo menghadiri sebuah pesta, kaum lelaki ’Ua pergi ke mulut gua dan menunggu
hingga seluruh Ebu Gogo kembali ke gua mereka. Kemudian para lelaki ’Ua itu segera menutup pintu keluar bagian timur dan melempar sekitar 500 koli (setara dengan 2,5-ton) ijuk ke dalam gua Lia ‘Ua.
Mereka bilangkepada Ebu Gogo bahwa ijuk-ijuktersebut dapat digunakan untuk alas tidur. Karena bodohnya, Ebu Gogo menyambut gembira pemberian tersebut. Mereka segera mengambilnya dan membungkusi diri dengan ijuk-ijuk tersebut.
SetelahEbu Gogo membungkusi diri dengan ijuk, orang ‘Ua lalu melemparpuntung berapi ke arah Ebu Gogo. Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat di dalam gua tersebut.
Seluruh Ebu Gogo yang ada di dalam gua mati terpanggang. Yang selamat hanya sepasang Ebu Gogo karenasaat itu mereka sedang berada di luar gua, mencari makanan.
Sepasang Ebu Gogo tersebut melarikandiri ke gunung ‘Ua, di wilayah Tana Wolo.
SetelahEbu Gogo dibasmikan, segerombolan besar belatungkeluar dari gua Lia ‘Ua dan merayap berjejer sepanjang setengah kilometer dari mulut gua. Namun, akhirnyasemua belatung tersebutmati tersengat panas matahari.”
Forth menduga legenda tersebut terkait dengan ras manusia purba yang pernah mendiami wilayah Nagekeo dan sekitarnya.
Namun, apakah legendatersebut menggambarkan keberadaan nenek moyang pribumi Nagekeo? Itu sebuah pertanyaan yang sulit dijawab.*** (Sil/Sumber: Maxi A. Perajaka, Buku Pesona Tenun dan Budaya Nagekeo (2023)). ***
3 bulan yang lalu