gereja
Minggu, 26 Oktober 2025 15:53 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi

FLORES dan Nusa Tenggara Timur terkenal dengan kekayaan tenunnya: songke, ikat, dan semi ikat.
Namun, ada satu hal menarik—bahkan agak janggal bagi yang baru mengenalnya.
Dalam busana adat pria, di antara kain-kain tenun nan elok itu, terselip sehelai kain batik atau daster yang justru ditempatkan di bagian tubuh paling strategis: kepala.
Kain itu disebut Sapu, Lesu, atau Lesu Widin Tulin, tergantung daerahnya. Sementara sebagian suku lain, seperti di Ngada, menolak tradisi batik ini.
Mengapa perbedaan itu muncul, dan bagaimana batik bisa sampai ke Flores?
Ternyata, tak semua warisan sejarah hadir dalam bentuk candi atau prasasti.
Flores, jejak masa lampau justru terjalin lembut dalam kain dan cara berpakaian. Lipatan kain batik di kepala para pria adalah kisah diam tentang pertemuan dua dunia—kebudayaan Jawa kuno, khususnya Majapahit, dan budaya Flores yang terbuka namun kukuh menjaga identitasnya.
Sejak abad ke-14, Majapahit menjalin hubungan politik dan perdagangan hingga ke Solor, Ende, dan Sumba, sebagaimana disebut dalam Nagarakretagama (Krom, 1931; Zoetmulder, 1974).
Jalur perdagangan itulah yang memperkenalkan batik dan motif-motif Jawa ke masyarakat Flores, bukan sekadar sebagai barang dagangan, tetapi sebagai simbol status, kehormatan, dan spiritualitas baru.
Di Manggarai, ikat kepala batik dikenal sebagai Sapu atau Sesek Sapu. Ia dikenakan bersama kemeja putih dan sarung songke pada upacara adat seperti penti (syukuran panen) atau perayaan misa Katolik.
Sapu menjadi lambang kesucian niat dan kesiapan moral pria dewasa yang akan tampil di hadapan komunitas. Ia juga melambangkan kendali diri: kepala yang tertutup berarti pikiran yang tertib.
Di Nagekeo, penutup kepala batik disebut Lesu. Dipadukan dengan kemeja putih dan kain tenun Luka/Ragi Bay atau Duka Tonggo, Lesu menandai tanda kedewasaan dan tanggung jawab sosial.
Dalam pesta adat pria yang mengenakan Lesu dianggap siap berbicara dan berunding atas nama keluarga besar.
Lesu juga sering dilepaskan dan diserahkan sebagai tanda hormat kepada tamu kehormatan—sebuah simbol diplomasi budaya yang halus.
Di Ende-Lio, Lesu dipakai dengan baju ketiak putih dan kain Ragi Sura bermotif garis vertikal (Sura) atau horizontal (Sura Rembe/Mbao).
Lesu di sini melambangkan perpaduan antara kekuatan dan ketenangan, mencerminkan karakter masyarakat Ende yang dikenal religius dan disiplin.
Ketika dikenakakan dalam konteks liturgi Katolik, Lesu menjadi semacam “mahkota sederhana” yang dipakai pada pesta-pesta gerejawi, menunjukkan kesetaraan antara adat dan iman.
Di Sikka, versi khasnya disebut Lesu Widin Tulin, diikat dengan pola unik hingga ujungnya menjuntai di sisi wajah menyerupai telinga kambing.
Busana ini dipadukan dengan baju ketiak atau kemeja putih dan sarung Lipa (Ragi) bergaris biru melintang.
Dalam masyarakat Sikka, Lesu Widin Tulin melambangkan kewibawaan dan kebijaksanaan seorang pria dewasa, serta menjadi bagian penting dari penampilan dalam upacara adat woga dan pesta Katolik.
Lesu yang menjuntai dianggap sebagai simbol kerendahan hati, bahwa kebijaksanaan sejati datang dari telinga yang mau mendengar.
Sementara itu, masyarakat Ngada mempertahankan gaya khasnya sendiri. Mereka tidak mengenakan batik, melainkan tenunan lokal: Boku, lilitan kain berbentuk kerucut, dilengkapi Mari Ngia—kain berhias yang menahan Boku di kepala seperti mahkota.
Dalam sistem simbolik mereka, Boku dan Mari Ngia menandakan kedekatan dengan leluhur dan gunung suci, sehingga tidak tergantikan oleh kain batik dari luar.
Para peneliti seperti Arndt (1961) dan Forth (2001) mencatat, masyarakat Flores memiliki kemampuan luar biasa dalam mengasimilasi unsur luar ke dalam simbol budaya sendiri.
Budayawan hebat asal Manggarai, Dami N. Toda (1999) bahkan menegaskan bahwa keterbukaan itu tidak pernah mengikis akar lokal, tetapi memperkaya ekspresi budaya.
Maka, Sapu, Lesu, dan Lesu Widin Tulin bukan sekadar hiasan kepala, melainkan penanda kehormatan, kedewasaan, dan kearifan lokal—jejak lembut dari pertemuan dua dunia besar: Majapahit dan Flores (Pudentia, 2015). (Maxi Ali Perajaka). ***
5 bulan yang lalu