Tahun 2021
Rabu, 05 Juli 2023 07:30 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Petrus Selestinus*
KETUA Majelis Hakim Fahzal Hendri dalam persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Terdakwa Johny G. Plate, dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyediaan Menara BTS 4G Kominfo, yaitu menegur Terdakwa Johny G. Plate dan Penasehat Hukumnya (PH) dengan pernyataan bahwa "jangan anggap Pengadilan Alat Politik", merupakan pelanggaran terhadap Hak Ingkar Terdakwa.
Sikap Ketua Majelis Hakim terhadap Terdakwa Johny G. Plate dan Penasehat Hukumnya (PH) dengan pernyataan bahwa "jangan anggap Pengadilan sebagai Alat Politik, jelas melanggar Hak Ingkar Terdakwa Johny G. Plate yang dijamin oleh pasal 52 KUHAP dan oleh pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di sini nampak Ketua Majelis Hakim sudah mengambilalih hak dan wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena setelah Terdakwa Johny G. Plate dan PHnya membacakan eksepsi, maka kewenangan untuk mengomentari Eksepsi Terdakwa dan PH berada di tangan JPU, bukan porsi Ketua Majelis Hakim.
Ketua Majelis Hakim seharusnya setelah Eksepsi Terdakwa dan PH dibacakan, bola itu dilempar ke JPU dengan memberikan kesempatan kepada JPU untuk memberikan tanggapan, bukan malah Ketua Majelis Hakim lalu membuat komentar yang menyudutkan Terdakwa dan PHnya, secara tidak etis.
ATURAN MAIN YANG BAKU
Ini adalah aturan main dalam Hukum Acara yang sudah baku dan menjadi asas dalam hukum Acara Pidana. Karena itu wajib ditaati, tidak saja oleh Hakim tetapi juga oleh semua pihak yang terlibat dalam beracara di sidang Pengadilan Pidana.
Jika saja belum apa-apa Ketua Majelis Hakim sudah membatasi hak-hak terdakwa, tanpa dasar hukum, maka pandangan Terdakwa dan PHnya bahwa Pengadilan menjadi alat politik menjadi tak terbantahkan, karena di sini Hakim tidak menunjukan netralitasnya, melainkan telah melakukan tindakan sewenang-wenang yang dapat dikategorikan sebagai telah mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinannya mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Padahal di dalam pasal 52 KUHP dan 158 KUHAP, ditegaskan tentang Hak Ingkar Terdakwa dan larangan di mana Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Kecenderungan sikap Ketua Majelis Hakim dengan membatasi hak ingkar Terdakwa dan PH merupakan sinyal dari Ketua Majelis Hakim yang memberi pesan di mana Pengadilan menjadi alat politik, sebagaimana didalilkan oleh Terdakwa dan PHnya.
Padahal di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilalu Hakim terdapat larangan yaitu :
"Hakim dilarang bersikap mengeluarkan perkataan atau tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak (Terdakwa, PH, JPU, Saksi) dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama yaitu berperilaku adil terhadap semua pihak ( Advokat/PH, JPU, Panitera dan Saksi").
JOHNY G PLATE BERHAK MEMBELA DIRI
Tidak pada tempatnya Ketua Majelis Hakim menasihati dan mengomentari Eksepsi Terdakwa Johnny G. Plate dan PHnya terkait materi Eksepsi, atas alasan apapun. Pernyataan Ketua Majelis Hakim menilai uraian materi Eksepsi Terdakwa dan PH yang menyinggung soal politik, tidak boleh dikomentari dalam proses jawab menjawab antara Terdakwa/PH dengan JPU.
Alasannya, karena segala penilaian dan komentar Hakim terhadap seluruh dinamika persidangan akan tiba waktunya bagi Majelis Hakim, ketika Majelis Hakim akan membuat Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan melalui musyawarah Majelis Hakim, itupun sifatnya sangat rahasia.
Ketua Majelis Hakim harus menyadari bahwa materi Surat Dakwaan JPU dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G dengan Terdakwa Johny G. Plate dkk. merupakan persoalan hukum yang timbul akibat produk kebijakan politik negara dalam pembangunan dan penegakan hukum.
Apa lagi proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh kejaksaan terjadi pada saat bersamaan dengan momentum Pemilu di mana spektrum politik antar kubu saat ini terjadi saling gusur dan saling menyudutkan antar kelompok politik yang satu dengan yang lain pada saat ini, suka tidak suka akan mempengaruhi semua kekuasaan lembaga negara termasuk kekuasan Yudikatif menjadi tidak netral.
Karena itu tidak ada salahnya bahkan sangat beralasan hukum, manakala di dalam Nota Keberatan/Eksepsi Terdakwa dan PH terdapat narasi yang bersifat sekedar ingin meneguhkan sikap Hakim agar tidak tergoyahkan oleh sebab apapun juga, terkait kondisi politik yang beririsan, baik yang mendahului, menyertai atau yang akan terjadi, sehingga Terdakwa berhak mendalilkan dalam Nota Keberatan tanpa harus dibatasi secara tidak bertanggung jawab.
Pernyataan Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri di Pengadilan Tipikor pada Selasa, (4/7), (kami kutip) bahwa "di sini untuk Saudara tahu saja bahwa sidang ini tidak terpengaruh dengan apa-apa, Kami tidak ada tendensi politik apa-apa, kami bebas dari masalah politik, Ini jangan Saudara nanti beranggapan Pengadilan ini juga alat politik, tidak," merupakan pernyataan yang seharusnya disampaikan di awal persidangan (sebelum Surat Dakwaan JPU dibacakan), di mana Hakim menggaransi dirinya akan bersikap adil terhadap semua pihak, meskipun sulit dipercaya. ***
*Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara.
3 bulan yang lalu
2 tahun yang lalu