Memulihkan 'Cacat Belajar' di Sekolah Kita

Sabtu, 01 Mei 2021 00:04 WIB

Penulis:redaksi

guru2.JPG
Ilustrasi: Gambar siluet kekerasan oleh guru di sekolah (sosok.grid.id)

Oleh Marselinus Sina*

UPAYA belajar memang tak selalu mudah dan berlajalan mulus. Ada saja rintangan atau hambatan yang  terjadi. Hambatan bisa datang dari dua arah,  dari dalam diri siswa sendiri maupunan dari luar. 

Contoh hambatan internal adalah kelelahan, keterampilan mendengarkan yang buruk, kurangnya minat pada apa yang disampaikan guru dan teman belajar, ketidakpercayaan pada guru, ketakutan dan rasa percaya diri yang kurang, dan pengalaman buruk masa lalu. Sedangkan, contoh hambatan dari luar bisa berupa orang yang kurang memotivasi, sikap dan cara mengajar guru yang tidak menyenangkan, kondisi ruang belajar yang tidak nyaman, dan fasilitas belajar seperti buku-buku dan alat yang tidak memadai. 

Apabila berbagai hambatan di atas dapat diatasi, maka besar kemungkinan siswa meraih prestasi belajar yang baik.  Keberhasilan  dalam belajar tentu saja merupakan  harapan setiap siswa.  Namun, perlu disadari keberhasilan dalam belajar, bukan merupakan dambaan siswa saja, melainkan juga harapan dari orang tua, guru dan masyarakat. 

‘Cacat Belajar’ di Sekolah 

Idealnya semua pihak perlu terlibat dalam membantu  keberhasilan belajar siswa di sekolah. Orangtua dan keluarga adalah pihak  utama yang ditunggu keterlibatannya. Karena, selain memiliki ikatan bathin yang lebih kuat, anak menghabiskan banyak waktu berada besama orangtua dan anggota keluarganya lain. 

Pihak yang juga  sangat menentukan keberhasilan belajar siswa adalah guru di sekolah. Sebab para guru diamanatkan untuk untuk mendidik dan mengajar agar siswa bisa bertumbuh secara intelektual, matang secara emosional dan memiliki karakter yang positif.

Sayangnya, semua pihak belum memainkan peran secara optimal. Para orangtua dan anggota keluarga  belum menjalankan fungsi pendampingan secara baik. Para guru belum berperan secara positif. Hal itu menjadi lebih parah karena  sekolah–sekolah tertentu masih menerapkan pendidikan  yang cenderung menerapkan sistem pendidikan feodalistik,  yang melangsungkan proses pembelajaran secara kaku, bahkan cenderung menindas sehingga siswa tak lagi bebasan berpikir dan berekspresi.  Dengan begitu ruang kelas dan sekolah tak ubahnya seperti sebuah penjara bagi siswa. 

Masih ada banyak guru di banyak sekolah-yang suka  menggurui, dan memperlakukan para siswanya sendiri seperti  penumpang gelap atau  orang asing di ruang kelas. Bahkan, tak sedikit guru yang memandang para siswanya sendiri seperti makhluk liar yang perlu “dijinakan

Ya, masih banyak sekolah kita yang terus mewarisi metode pembelajaran masa lalu: dengan model komunikasi satu arah, menggurui, mendikte bahkan dengan model pendekatan yang bersifat feodal dan menindas. Akibatnya tak sedikit siswa di banyak sekolah yang mengalami suatu kondisi yang saya sebut sebagai ‘cacat belajar’. Yaitu, suatu kondisi di mana para siswa  di sekolah bersikap ibarat ‘orang cacat jiwa’  yang sama sekali tidak menyadarinya kalau dirinya  sedang tertindas dalam urusan belajar. Mereka tentu tidak cacat serara  fisik, melainkan ‘cacat akal budi’ atau “cacat pola berpikir.”

Warisan sejarah

Menilik sejarah, keyakinan dan praktek pembelajaran yang melumpuhkan ‘kemerdekaan’ memang pernah terjadi di Eropa berabad – abad lalu, dan menjadi bentuk pembelajaran yang diterapkan di Indonesia sejak abad ke – 19 sampai abad ke-21 ini. Warisan sejarah masa lalu itu, yaitu model pembelajaran gaya feodal telah bertumbuh dan berakar sangat dalam di benak para penyelenggara dan pelaku dunia pendidikan,  sehingga dianggap bahkan diterima sebagai sesuatu yang ‘mulia’, dan karena itu sangat  sulit untuk dihilangkan.

Hingga kini hanya sedikit orang yang mempertanyakannya pendekatan gaya feodal itu. Bahkan sedikit sekali yang mengambil tindakan untuk menanggulanginya. 

Patut disyukuri, salah satu dari yang sedikit orang yang peduli atas masalah tersebut adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Sejak diangkat menjadi Menteri, dia langsung mencanangkan gerakan  ‘Merdeka Belajar’ -suatu gerakan untuk memberangus model pembelajaran yang bersifat feodal dan menindas kebebeasan berpikir para siswa di sekolah.

Tak dapat disangkal, salah satu cara terbaik untuk menyembuhkan ‘cacat belajar’ adalah menjalankan semangat  ‘Merdeka Belajar’ itu. Hal itu dapat dimulai dengan membebaskan diri kita dari kebiasaan, keyakinan dan praktek pendidikan model lama yang kaku, kemudian mulai mengembangkan pendekatan baru yaitu model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. 

Enam strategi

Untuk mengembangkan model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, sekolah dan para guru dapat melakukan beberapa cara atau strategi sebagai berikut.

Pertama, mengembalikan kegembiraan dalam belajar. Dave Meier, melalui teorinya,          “ Accelerated Learning" (2000) mengemukakan bahwa setiap orang, agar  baik anak – anak maupun orang dewasa,  dapat melakukan kegiatan belajar paling baik dalam lingkungan yang ditandai dengan adanya minat dan kebahagiaan pribadi, dan bukan dalam lingkungan yang ditandai dengan intimidasi, kebosanan, stress, hal yang tidak relevan, atau kesakitan”. Kegembiraan yang dimaksud tidak ada hubungan dengan kesenangan yang sembrono atau hura – hura yang dangkal, melainkan kedamaian yang mendalam dan tenang, serta adanya perasaan saling terkait, utuh, dan terlibat penuh dalam proses pembelajara. Sebab rasa gembira itu adalah inti seluruh pembelajaran yang menyenangkan.

Kedua, belajar yang baik itu bersifat sosial. Jika orang saling membantu untuk belajar, pembelajaran akan meningkat pesat. Suatu telaah di Stanford University C.H.M.Levine    “Cost and Cost – Effectiveness of Computer- Assisted Instructions” ( 2001) menemukan bahwa “bimbingan belajar oleh kawan itu empat kali lebih efektif untuk meningkatkan prestasi dibidang matematika dan membaca, jika dibandingkan dengan jumlah murid dalam kelas dikurangi atau waktu pengajaran di perpanjang, jauh lebih efektif dibandingkan dengan instruksi individual dengan komputer atau pun smartphone. 

Alasannya kebanyakan orang belajar lebih baik secara bersama – sama daripada sendiri – sendiri seperti di masa pandemi virus corona 2019 ini. Untuk meningkatkan pembelajaran disekolah ajaklah siswa – siswi untu bekerja sama secara berpasangan dalam tim kecil atau kelompok besar. itu akan memberi pengaruh cepat dan besar pada proses pembelajaran di sekolah, sebab cara belajar yang paling baik adalah yang memiliki dasar sosial kuat”. Belajar berpusat aktifitas sering lebih berhasil daripada belajar berpusat pada presentasi.

Ketiga, berkonsentrasi pada tujuan bukan sarana. Berangkat dari model pendidikan selama ini, beberapa sekolah tidak lebih dari rumah tahanan untuk menampung kaum muda. Lembaga hukuman tempat anak – anak dipaksa mengisi waktu beberapa tahun yang telah ditentukan oleh pemeritah. Hasilnya banyak siswa yang alpa, pura – pura sakit, bolos sekolah, bahkan putus sekolah.

Dalam proses pembelajaran tidak ada hanya satu cara terbaik, melainkan ada banyak cara,  banyak jalan. Kepatuhan kita pada pemikiran tunggal harus digantikan dengan pemikiran baik yang ini, maupun yang itu. Dengan berkonsntrasi ke tujuan dan  bukan sarana kita mesti meninggalkan kecenderungan pada pendekatan belajar ‘satu ukuran untuk semua’. Tapi  kita harus mulai dengan pendekatan baru yaitu ‘belajar harus sesuai dengan kemampuan siswa sendiri’.  Kita mesti meyakini bahwa dalam proses pendidkkan,  yang paling penting bukanlah metode melainkan hasilnya: bahwa siswa menjadi manusia yang bebas dan kreatif berpikir dan bertindak.

Keempat, adalah memberi perhatian yang sungguh-sunguh pada cara belajar. Cara belajar terbaik bukanlah mendengarkan penjelasan guru atau memandang layar komputer/handphone. Belajar yang terbaik adalah dengan mengalami, dengan melakukan pekerjaan itu sendiri. 

Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran di sekolah bukan mengajari siswa – siswi bagaimana menyimpan informasi atau memberi tanggapan secara mekanis pada rangsangan luar saja, melainkan mengajari peserta didik cara berpikir, mengarahkan informasi dan menciptakan makna serta nilai suatu pengalaman. 

Paulo Freire dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed” (2000), mengatakan bahwa “pendidikan harus mengemukakan masalah kepada orang untuk dipecahkan, bukannya memberi jawaban yang tepat untuk diingat. Belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi,bukan mengumpulkan informasi secara pasif melainkan menciptakan pengetahuan secara aktif”.

Kelima, menciptakan program belajar yang menyatukan tubuh dan pikiran. Pikiran dan tubuh bukanlah dua hal terpisah, melainkan satu kesatuan yang terpadu dan tak terpisahkan. Sesungguhnya pikiran itu tidak terbatas pada otak saja, tetapi disebarkan keseluruh tubuh. 

Candice Pert dalam bukunya “The Molecules of Emotion” (2002), menunjukan bahwa “molekulpun berpikir, punya ingatan, dan punya kehidupan emosional sendiri. Ketika mereka bergerak keseluruh tubuh/pikiran dan berintergasi dengannya. Dalam pengertian yang nyata pikiran adalah tubuh dan tubuh adalah pikiran. Jika tubuh tidak bergerak maka otakpun tidak beranjak”. 

Bayangkan apa artinya, jika kita memaksakan siswa- siswi untuk duduk diam dan rmendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, berarti guru telah menghalangi kemampuan berpikir dan belajar mereka sepenuhnya. Mari kita ciptakan pembelajaran disekolah dengan mendorong tubuh dan pikiran bekerja bersama – sama secara aktif. Menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk berfungsi secara maksimal, sebaliknya melibatkan tubuh dalam belajar cenderung membangkitkan kecerdasan.

Keenam,  pendekatan belajar berdasarkan pengalaman daripada kata – kata semata, baik diruang kelas maupun di internet. Dalam teori Accelarated Learning, Dave Meier (2000) mengedepankan bahwa “program belajar berdasarkan pengalaman bukan berdasar presentasi dan materi”. 

Kita menyadari sekarang buku tersebar begitu luas setelah Johanes Guttenberg menciptakan mesin cetak, pada tahun 1440. Buku mempunyai pengaruh besar dan kekal pada pendidikan di bumi ini. 

Sebelum ditemukan mesin cetak, mayoritas penduduk dibumi ini masih buta huruf. Kala itu pembelajaran didorong oleh pengalaman konkret, tradisi lisan, kontak tatap muka, kehidupan kelompok, cerita, dan symbol serta upaya untuk menyelami konteks kehidupan secara menyeluruh. 

Buku memang sarana yang bagus untuk belajar. Buku telah menggantikan pengalaman konkret, orang tidak lagi menyelami konteks kehidupan dunia nyata. Ketika kita merancang materi pembelajaran yang masuk kedalam pikiran kita adalah “ kata”. Kata dalam rencana pembelajaran, kata dalam presentasi Power Point, kata di layar komputer atau smartphone. Media cetak telah menekankan kata daripada gambar,menekankan konsep abstrak daripada pengalaman konkret dalam belajar, serta mendukung individualisme daripada kerja sama dalam belajar.  Ada pepatah yang berbunyi demikian, “Jika Anda mencari informasi bacalah kata – kata, jika Anda memerlukan pemahaman, milikilah pengalaman”.

Hemat saya,  ke enam pendekatan di atas embantu guru dan peserta didik, agar dapat mengurangi dan menghindari ‘cacat belajar’ sekaligus mengembangan spisit ‘Merdeka Belajar’.  Oleh karena pertama dari setiap guru dan program belajar ialah membuat para siswa tergugah, terbuka, dan siap untuk belajar. Proses pembelajaran yang paling baik adalah jika para siswa diperlakukan sebagai kreator, bukan konsumen. Jadi, sumpah suci bagi guru di sekolah adalah  “dilarang menyuap” para siswanya sendiri!***

*Marselinus Sina adalah Guru SMAK. St. Petrus Ende, Ketua MGMP Bahasa Inggris SMA/MA Kabupaten Ende- Flores.