Gunung Lewotobi Laki-laki
Selasa, 08 Juli 2025 13:36 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
MAUMERE (Floresku.com) - Angin laut menghembus tenang di pesisir Pulau Babi, namun kedamaian itu menipu. Laut yang kini tampak jinak pernah menjadi arena kematian yang menelan ribuan jiwa dalam tragedi kelam yang masih membekas dalam memori banyak orang: Tsunami Flores 1992.
Di bawah langit cerah dan debur ombak yang lembut, awal pekan ini, , tim Jejak Petualang TRANS7 bersama jurnalis EnbeIndonesia.com, Paul Yanka, kembali menelusuri jejak bencana itu dalam sebuah program khusus bertajuk “Kilas Balik Tsunami 92: Menyapa Luka yang Belum Pulih.”
Di atas perahu kayu bermesin ganda, tim melaju menuju Pulau Babi—sebuah pulau kecil di utara Maumere yang nyaris lenyap dari peta setelah dihantam gelombang raksasa 33 tahun lalu.
Bagi sebagian orang, pulau ini hanyalah titik kecil di samudra, namun bagi mereka yang pernah hidup dan kehilangan di sini, Pulau Babi adalah rumah, kuburan massal, sekaligus pengingat abadi tentang luka yang tak kunjung sembuh.
Di sela reruntuhan masa lalu yang nyaris terhapus oleh waktu, tim menemui Ibu Habiba, seorang perempuan lanjut usia, penyintas tsunami yang memilih tetap tinggal di dekat lokasi bencana. Langkahnya tertatih, tapi suaranya penuh kekuatan.
"Bapak (suami saya) meninggal, dikubur di sini," ucapnya pelan sambil menunjuk pada sebuah nisan tua, hampir tak terbaca namanya, terkubur oleh tanah dan lumut. Tangannya gemetar, namun matanya tetap menatap nisan itu dengan penuh cinta dan kehilangan yang tak pernah reda.
Ia mengenang hari itu—12 Desember 1992—dengan luka yang masih segar. “Langit mendadak runtuh, laut mendesis seperti marah, lalu datang gelombang besar sekali... semua habis, rumah, keluarga, tanah, semuanya masuk ke dalam lubang...,” katanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar ditelan angin.
Tangisnya tertahan, tapi mata keriputnya tak bisa berbohong: ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan oleh waktu.
Sambil berjalan di sepanjang pesisir pasir putih yang kini sepi, Ibu Habiba menunjukkan lokasi rumahnya dulu. Kini tinggal lautan dan bayangan kenangan.
"Dulu saya rangking terus di sekolah. Mau lanjut SMP, tapi keluarga tak izinkan. Saya menangis waktu itu," ujarnya.
Tangis masa kecil itu, karena harapan yang direnggut, kini berpadu dengan tangis kehilangan masa dewasa yang direnggut oleh bencana. Hari itu, bukan hanya rumah dan nyawa yang hilang, tapi juga masa depan, dan mimpi-mimpi yang tak sempat hidup.
Di sisi lain pulau, Ibu Mariati, warga Desa Nangahale berusia 54 tahun, tampak membelah ikan hasil tangkapannya. Di tengah kesunyian yang menyelimuti Pulau Babi, ia adalah satu dari sedikit orang yang tetap menjadikan laut di sekitar pulau ini sebagai sumber penghidupan.
"Apa lagi yang bisa kami kerjakan? Di sinilah tempat kami cari makan, mancing, pukat ikan," tuturnya sembari menatap laut yang tenang. Ia tak menetap di pulau ini, tetapi bolak-balik antara kampungnya dan Pulau Babi.
"Saya lahir di sini. Setelah tsunami, kami semua diungsikan. Tapi hati saya selalu tertinggal di sini. Ini bukan hanya tempat lahir, tapi juga tempat kami bisa hidup,” ujarnya sambil menyeka keringat setelah mengangkut hasil laut. Ia dan suaminya masih bertani kecil-kecilan, menggembala kambing, dan memanen sayuran untuk bertahan hidup.
Pulau Babi bukan sekadar lanskap geografis; ia adalah ruang kenangan, tempat lahir dan kehilangan yang saling bertabrakan dalam kisah hidup mereka. Bahkan setelah tiga dekade, bencana itu masih terasa dekat, seolah baru kemarin terjadi.
Tak jauh dari permukaan laut yang tenang, misteri besar bencana itu tersembunyi di kedalaman.
Dalam lanjutan ekspedisi, tim Jejak Petualang bersama seorang penyelam profesional yang akrab disapa Om Kumis, melakukan penyelaman di perairan sekitar Pulau Babi.
Tujuannya bukan hanya dokumentasi visual, tapi penelusuran ilmiah terhadap patahan geologis yang diyakini sebagai sumber tsunami tahun 1992.
Penyelaman membawa mereka pada pemandangan bawah laut yang menggetarkan: formasi batu terjal yang membelah dasar laut dengan celah besar yang menganga seperti luka purba.
"Masih sangat jelas terlihat retakan besar di dasar laut. Seolah-olah alam ingin memberi tahu bahwa peristiwa itu bukan sekadar kenangan, tapi pelajaran," ungkap salah satu penyelam dari kru Jejak Petualang.
Retakan itu bukan sekadar geologi. Ia adalah prasasti alami yang menandai kekuatan bumi saat bergolak. Retakan itu membelah bukan hanya bumi, tapi kehidupan, harapan, dan sejarah.
Dari titik itu, gelombang setinggi belasan meter bergerak cepat, menggulung daratan, merobek keluarga, dan menenggelamkan pulau.
Sejumlah ilmuwan mencatat bahwa gempa 7,8 SR yang mengguncang wilayah itu berasal dari patahan Flores Back Arc Thrust.
Patahan inilah yang melahirkan tsunami dalam waktu sangat singkat, nyaris tanpa peringatan. Sebuah bencana alam yang terjadi dalam hitungan menit, namun berdampak sepanjang hidup bagi para korban dan penyint
Kilas balik ini bukan hanya dokumentasi sejarah. Ini adalah usaha menyapa luka, menyentuh kembali trauma yang terlalu lama dibungkam oleh waktu dan diam.
Bagi Paul Yanka, penelusuran jejak tsunami ini adalah bentuk penghormatan terhadap ribuan jiwa yang tak sempat mengucap selamat tinggal kepada anggota keluarga dan kaum kerabat mereka.
Perjalanan ini juga adalah ekspresi penghargaan kepada mereka yang masih bertahan dengan kekuatan yang luar biasa.
Program ini juga menjadi refleksi akan pentingnya edukasi kebencanaan, kesiapsiagaan masyarakat pesisir, dan perlunya menghargai alam—karena ketika alam murka, tak ada teknologi yang mampu menghentikannya.
Pulau Babi, hari ini, adalah pulau sunyi yang hidup dalam bayang-bayang bencana. Tapi di balik sunyi itu, ada denyut kehidupan yang terus berjuang. Ibu Habiba dengan luka yang belum pulih.
Ibu Mariati dengan penghidupan yang tetap dijalani. Dan laut yang tetap menghidupi, sekaligus mengingatkan.
Tsunami 1992 telah merenggut banyak hal. Tapi bagi para penyintas, tragedi itu tak sepenuhnya mematikan harapan. Di antara reruntuhan dan bekas luka bumi, kehidupan tetap tumbuh—pelan-pelan, tapi pasti.
Dan di sinilah makna sejati dari perjalanan ini: bukan hanya untuk mengingat, tetapi untuk belajar dan bangkit. Karena luka yang dikenang bersama, akan lebih mudah disembuhkan bersama. (Paul Yanka/Silvia).